Sejak Undang-Undang Dasar 1945
diamendemen, rakyat Indonesia sepertinya tidak mempunyai perencanaan yang
matang mengenai cara atau tahapan membangun bangsa, tidak terpikir oleh
pemerintah mengenai bagaimana mengelola bangsa yang besar dengan penduduk
hampir 250 juta jiwa.
Pengelolaan sumber daya alam yang luar biasa tidak terkelola dengan baik.
Tidak ada lagi persepsi tentang tujuan bernegara. Masyarakat dibuat
skeptis, memikirkan diri sendiri, dan ini seperti virus yang dengan cepat
menular mulai dari tingkat RT hingga tingkat eksekutif sekalipun. Coba
kita lihat, bupati tidak lagi tunduk kepada gubernur karena bupati merasa
ditunjuk langsung oleh masyarakat dalam pilkada. Tidak ada hierarki
kekuasaan yang tegas sehingga pengelolaan pendapatan asli daerah tidak
direncanakan apalagi dikontrol yang baik. Tidak ada lagi prioritas dalam
pembangunan di masing-masing daerah baik tingkat II maupun tingkat I.
Contoh nyata bisa dilihat dari buruknya jalan kelas II di masing-masing
provinsi, demikian pula buruknya jalan antarprovinsi atau jalan kelas I.
Jalan antara Jakarta dan Cirebon misalnya selalu saja tiap tahun
diperbaiki dan tidak pernah selesai. Jalanan rusak, tapi kendaraan
bertumbuh luar biasa. Moda transportasi umum justru ditinggalkan. Kita
tengok 10 tahun lalu, dulu banyak sekali bus antarkota antarprovinsi
(AKAP) dengan kualitas setara pesawat terbang.
Mereka mengistilahkan bus VVIP dan ada yang super- VVIP, ada yang namanya
Raseko, OBL Safari Dharmaraya, Parahiyangan, Lorena, Karina, dan
sebagainya. Ke mana mereka sekarang, sedikit demi sedikit lenyap tak
berbekas karena biaya perbaikan kendaraan alias biaya operasional lebih
besar dari keuntungan yang didapat dari tiket penumpang. Kerusakan
kendaraan menjadi sangat cepat karena rusaknya jalan antarprovinsi,
sementara waktu tempuh semakin lama. Ada yang salah dari negeri ini, pengelolaan
pajak yang disalurkan dalam bentuk APBN dan APBD banyak yang dijadikan
bancakan alias korupsi berjamaah.
Bayangkan saja yang menjadi tersangka korupsi sebanyak 597 di medio 2012
dan sebagian besar justru para eksekutif pelaksana anggaran. Sektor infrastruktur
menurut data ICW menempati tempat tertinggi dengan 87 Kasus 9 (Fajar,
2012). Ini bukti lemahnya sistem dan pengawasan atas pelaksanaan
anggaran. Tidak ada arahan kebijakan pembangunan yang jelas, tidak ada
SOP bagaimana pengaturan kebijakan pembangunan mikro maupun makro.
Pemerintah daerah terkesan mengatur dirinya sendiri dan tidak
terkoordinasi dengan pemerintah pusat.
Akhirnya hal ini tentu berdampak pada perkembangan bangsa yang sporadis
dan tidak mempunyai arah karena tidak ada kebijakan ekonomi makro yang
terencana, Di tingkat pusat, menggelembungnya subsidi BBM yakni bensin
45, 47 juta barel selama 2012 yang terdiri atas premium 28,34 juta Kl,
minyak tanah 1,20 juta KL, dan solar 15,73 juta KL mengakibatkan tabungan
negara atau devisa negara menjadi sangat menipis. Negara harus menanggung
beban subsidi BBM yang sangat tidak produktif. Bayangkan, subsidi BBM dan
listrik saja besarnya Rp305,9 triliun.
Menteri ESDM seakan tak berdaya pada keadaan ini, kebijakan bingung alias
tidak tegasnya pemerintah terlihat pada penerapan aturan yang terkesan
asal buat. Uji coba aturan yang tidak jelas terlihat seperti aturan
mengenai kendaraan dinas yang dilarang menggunakan BBM bersubsidi.
Rencana mengenai pembatasan penggunaan BBM. Ya, semua hanya rencana tanpa
kajian dan akhirnya tidak bisa diterapkan. Sekarang malah rencana
penerapan dua tarif kenaikan BBM yang berbeda.
Sementara pemerintah masih menggodok rencana kenaikan BBM, di daerah
kelangkaan BBM makin menggila. Pembatasan kuota BBM di beberapa daerah
terpaksa diberlakukan karena langkanya BBM. Semisal di Kalimantan terjadi
pembatasan pembelian BBM dan hanya boleh membeli Rp100.000. Sungguh
ironis, padahal Kalimantan dulunya penghasil minyak, tapi kenyataannya
justru BBM dibatasi. Pemerintah sepertinya takut tidak menjadi populer
bila bahan bakar disesuaikan dengan harga pasaran dunia. Padahal coba
tengok negara tetangga, Singapura, Malaysia, Hong Kong.
Mereka menerapkan harga BBM dunia. Ini artinya subsidi dialihkan kepada
transportasi yang berpihak kepada masyarakat. Tentang subsidi BBM, kalau
kita boleh berandai-andai, dana Rp306 triliun itu dapat untuk bangun rel
berapa panjang. Dari data BPK, alokasi rel ganda hanya Rp10 triliun untuk
membangun rel dari Jakarta ke Surabaya (meneruskan rel ganda dari
Cirebon) dengan jarak 400 KM. Berarti, kalau kita bangun dengan dana
Rp306 triliun, 12.240 km bisa terbangun atau ini sama dengan dua kali
Sabang sampai Merauke yang panjangnya 5.251 km.
Banyak sekali persoalan bangsa karena perubahan yang cepat sehingga
diperlukan acuan bersama terhadap arah tujuan negara. Kita bangsa yang
besar, namun tidak mempunyai arah yang jelas sehingga bangsa yang besar
harus diarahkan dengan benar agar menjadi negara adidaya yang disegani di
wilayah Asia. Kembali lagi, perencanaan yang baik, penentuan skala
prioritas pembangunan sangat diperlukan agar kita kembali menjadi bangsa
yang disegani seperti era Bung Karno dahulu.
Hasil Pemilu 2009 belum mampu menghasilkan pemerintahan, legislatif, dan
partai politik yang tidak koruptif. Pembangunan yang bermuara terhadap
terwujudnya keadilan, kesejahteraan, pemerintahan yang bersih, dan
stabilitas politik serta keamanan nasional juga belum terwujud. Ini
memang suatu konsekuensi perubahan peta politik pada 1999 dari semula hanya
tiga partai berubah menjadi 48 partai. Keberagaman dan perbedaan visi
justru menimbulkan politik Laskar Pelangi dalam pemerintahan. Menteri
lebih membela atau memikirkan kepentingan partainya ketimbang mengikuti
arahan Presiden.
Seharusnya saat menjabat sebagai eksekutif semua menteri dan presiden
harus meletakkan jabatannya di partai, pengaruh partai harus dibuang.
Mereka itu memimpin bangsa Indonesia dan milik masyarakat Indonesia kok
dan bukan perwakilan partai. Karena itu, pemimpin bangsa harus menanggalkan
kepentingan partai, kepentingan golongan demi kepentingan yang lebih
besar yakni kepentingan bangsa. Perencanaan atas ekonomi makro perlu
dipikirkan matang.
Karena itu, di tengah masyarakat, termasuk saya, ada kerinduan akan
perlunya GBHN. Hal ini disadari dari pengalaman yang terjadi sejak Era
Reformasi di mana permasalahan semakin banyak dan semakin membesar karena
realitas kehidupan semakin kompleks. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar