|
KORAN SINDO, 29 April 2013
Fenomena
dalam masyarakat politik Indonesia bagaikan sebuah dagelan. Hal ini dapat
disimak dari maraknya partai politik merekrut para artis sebagai kader untuk
masuk dalam jajaran calon legislator.
Di parlemen pusat, misalnya, pada periode lalu, DPR RI diramaikan oleh kader dari para artis, sebut saja Eko Partio, Mi’ing, Komar, Vena Malinda, Rieke Dyah Pitaloka, dan Anggelina Sondakh. Nama terakhir sedang tersangkut kasus korupsi. Menghadapi Pemilu Legislatif 2014, wajah lama masih menghiasi deretan calon legislator dan parpol sudah “rebutan” calon dari para artis.
Beberapa artis yang sudah merapat ke parpol seperti Krisdayanti ke Partai Hari Nurani Rakyat (Hanura), Angel Lelga yang akan berlabuh ke Partai Persatuan Pembangunan(PPP), serta Raffi Ahmad, sebelum kejadian yang melibatkan dirinya, sudah mendekat ke Partai Amanat Nasional (PAN). Tidak ada yang melarang untuk merekrut para artis masuk parlemen, karena itu hak semua warga negara untuk mencalonkan dan dicalonkan sebagai wakil rakyat.
Namun, gambaran ini mengisyaratkan bahwa betapa sumirnya sistem pengaderan parpol jika hanya mau memetik “buah masak” (karena sudah populer) sebagai calon anggota legislatif. Perilaku pragmatis yang dilakukan parpol adalah sebuah manifestasi kegagalan kaderisasi sebagai salah satu fungsi dari parpol di Indonesia.
Kaderisasi parpol perlu dibedah dan dibandingkan, bahkan perlu dikritik sehingga parpol ke depan bisa memperbaiki dan mengevaluasi diri menjadi lembaga politik yang menggodok dan melahirkan para calon pemimpin negara, melalui sistem pengaderan yang mapan serta melakukan pendidikan politik kepada masyarakat. Dalam sistem politik demokratis perwakilan, keberadaan parpol merupakan condicio sine qua non bagi bekerjanya mesin demokrasi.
Fungsi utama parpol adalah menyerap dan menyalurkan aspirasi dan kepentingan rakyat, melakukan pendidikan politik kepada masyarakat tentang hak dan kewajiban warga negara, melakukan rekrutmen politik secara demokratis sesuai peraturan perundangundangan yang berlaku untuk mengisi jabatan publik di semua tingkatan pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah.
Pelembagaan parpol melibatkan dua aspek penting, yaitu value infusion dan behavioral routinization (Harjanto, 2011). Value infusionadalah suatu proses anggota parpol yang menggeser fokus kepentingan individu ke tujuan besar parpol, sedangkan behavioral routinizationadalah proses di mana aturan atau norma parpol ditanamkan melalui pola tertentu, sehingga terjadi prediktabilitas dan regularitas perilaku dan harapan pada anggota dan pengurus parpol maupun masyarakat.
Menurut Down (1957),parpol dalam kehidupan demokratis adalah sama dengan wiraswasta dalam suatu ekonomi yang memburu laba. Seperti halnya mengusahakan laba, mereka merumuskan politik apa pun yang diyakini akan meraih suara terbanyak. Padahal, yang dibutuhkan dalam pertarungan sebagai anggota legislatif adalah orang yang mampu menjembatani persoalan masyarakat dengan kekuasaan yang diwakili pemerintah.
Kondisi nyata perebutan menjadi legislator terjadi hampir di segala tingkatan parlemen. Parlemen lokal (DPRD) di daerah tak luput dari perhatian publik, mengingat peran lembaga wakil rakyat menjadi amat penting, tidak hanya sebagai saluran komunikasi antara rakyat dan pemerintah, tetapi juga sebagai institusi yang melakukan fungsi pengawasan, yang mampu meneropong dan menjadi wasit bagi permainan politik pemerintah daerah.
Apalagi pada saat menjelang pilkada di beberapa daerah di Sumatera Selatan, para wakil rakyat cenderung mengabaikan tugas pokok dan fungsinya sebagai wakil rakyat di parlemen lokal. Mereka cenderung fokus pada aktivitas partai untuk mengegolkan kader politiknya yang akan maju dalam pertarungan pilkada dan persiapan pemilu legislatif. Hal ini sungguh ironis, perilaku wakil rakyat yang ditunjukkan bukannya memikirkan problem masyarakat, melainkan mengutamakan aktivitas partai.
Karena itu, jelas bahwa tujuan utama menjadi wakil rakyat bukan bekerja untuk rakyat, melainkan lebih mengedepankan kepentingan parpol dan kelompoknya. Fenomena tingkah laku politik anggota parlemen dapat dilihat dari rendahnya kehadiran dalam berbagai rapat yang diselenggarakan DPRD. Sebab, melalui forum rapat (komisi maupun paripurna), biasanya akan dibahas persoalan publik yang mengemuka, apalagi jika persoalan itu dipermasalahkan oleh masyarakat.
Kinerja Dewan seharusnya ditunjukkan melalui upaya pemecahan persoalan publik sehingga menghindari benturan antarmasyarakat yang melakukan aktivitasnya. Lantas siapa yang bertanggung jawab terhadap kondisi ini? Akar masalahnya terletak pada semakin pragmatisnya parpol sebagai lembaga yang mengawal kehidupan negara dalam pengambilan keputusan publik.
Kesan pragmatis terlihat pada tindakan yang melakukan segala cara agar dapat memenangkan pertarungan kekuasaan, baik di tingkat pusat maupun daerah. Partai seakan lupa bahwa fungsi yang sesungguhnya adalah menciptakan dan membentuk sistem pengaderan yang baku sehingga dapat lahir para pemimpin dari segala level, bukan “mengambil kader asal comot” tanpa memandang kualitas dan kemampuan sang kader. Hal ini terlihat dari pola rekrutmen kader yang hanya berorientasi pada materi melalui politik transaksional.
Artinya, siapa ada uang dan materi, maka akan berpeluang jadi calon kader partai dan kemungkinan besar akan terpilih dalam Pemilu. Kondisi ini sangat tidak mendidik dan memberi peluang munculnya kader yang “karbitan” dan menjadikan parpol dan parlemen sebagai sarana untuk meraih materi yang sebesarbesarnya.
Salah satu kasus yang paling nyata adalah banyaknya kader partai yang tersangkut masalah korupsi, di mana beberapa parpol besar telah menempatkan kadernya sebagai tersangka pelaku korupsi. Tentu saja kejadian ini sangat naif dan tercela jika menjadikan parpol dan parlemen sebagai institusi pencari uang.
Kondisi ini telah merugikan negara dan masyarakat serta menimbulkan persoalan serius, seperti masalah kesenjangan sosial yang makin lebar, pelayanan publik yang masih tidak berpihak kepada rakyat kecil, dan masalah kekerasan dan konflik sosial yang terjadi antarmasyarakat maupun antaraparat penegak hukum.
Pragmatisme parpol harus segera diakhiri dengan cara reformasi parpol sebagai sarana komunikasi politik, sebagai kawah candradimuka pengaderan politik, sekaligus berperan sebagai penyeimbang kekuasaan. Selain itu, perlu dibatasi pembiayaan dana kampanye masing-masing calon legislator melalui aturan main yang dapat berwujud dalam Undang-undang Pemilu,
sehingga biaya politik untuk menjadi seorang legislator dapat ditekan dan dapat memberi peluang bagi kader partai terbaik untuk bersaing memperebutkan kursi di parlemen dengan biaya murah. Jika parlemen diisi oleh kader parpol yang bermutu, diharapkan dapat mengubah wajah DPR dan DPRD sebagai lembaga politik yang berpihak pada kepentingan rakyat, sesuai cita-cita demokrasi. ●
Di parlemen pusat, misalnya, pada periode lalu, DPR RI diramaikan oleh kader dari para artis, sebut saja Eko Partio, Mi’ing, Komar, Vena Malinda, Rieke Dyah Pitaloka, dan Anggelina Sondakh. Nama terakhir sedang tersangkut kasus korupsi. Menghadapi Pemilu Legislatif 2014, wajah lama masih menghiasi deretan calon legislator dan parpol sudah “rebutan” calon dari para artis.
Beberapa artis yang sudah merapat ke parpol seperti Krisdayanti ke Partai Hari Nurani Rakyat (Hanura), Angel Lelga yang akan berlabuh ke Partai Persatuan Pembangunan(PPP), serta Raffi Ahmad, sebelum kejadian yang melibatkan dirinya, sudah mendekat ke Partai Amanat Nasional (PAN). Tidak ada yang melarang untuk merekrut para artis masuk parlemen, karena itu hak semua warga negara untuk mencalonkan dan dicalonkan sebagai wakil rakyat.
Namun, gambaran ini mengisyaratkan bahwa betapa sumirnya sistem pengaderan parpol jika hanya mau memetik “buah masak” (karena sudah populer) sebagai calon anggota legislatif. Perilaku pragmatis yang dilakukan parpol adalah sebuah manifestasi kegagalan kaderisasi sebagai salah satu fungsi dari parpol di Indonesia.
Kaderisasi parpol perlu dibedah dan dibandingkan, bahkan perlu dikritik sehingga parpol ke depan bisa memperbaiki dan mengevaluasi diri menjadi lembaga politik yang menggodok dan melahirkan para calon pemimpin negara, melalui sistem pengaderan yang mapan serta melakukan pendidikan politik kepada masyarakat. Dalam sistem politik demokratis perwakilan, keberadaan parpol merupakan condicio sine qua non bagi bekerjanya mesin demokrasi.
Fungsi utama parpol adalah menyerap dan menyalurkan aspirasi dan kepentingan rakyat, melakukan pendidikan politik kepada masyarakat tentang hak dan kewajiban warga negara, melakukan rekrutmen politik secara demokratis sesuai peraturan perundangundangan yang berlaku untuk mengisi jabatan publik di semua tingkatan pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah.
Pelembagaan parpol melibatkan dua aspek penting, yaitu value infusion dan behavioral routinization (Harjanto, 2011). Value infusionadalah suatu proses anggota parpol yang menggeser fokus kepentingan individu ke tujuan besar parpol, sedangkan behavioral routinizationadalah proses di mana aturan atau norma parpol ditanamkan melalui pola tertentu, sehingga terjadi prediktabilitas dan regularitas perilaku dan harapan pada anggota dan pengurus parpol maupun masyarakat.
Menurut Down (1957),parpol dalam kehidupan demokratis adalah sama dengan wiraswasta dalam suatu ekonomi yang memburu laba. Seperti halnya mengusahakan laba, mereka merumuskan politik apa pun yang diyakini akan meraih suara terbanyak. Padahal, yang dibutuhkan dalam pertarungan sebagai anggota legislatif adalah orang yang mampu menjembatani persoalan masyarakat dengan kekuasaan yang diwakili pemerintah.
Kondisi nyata perebutan menjadi legislator terjadi hampir di segala tingkatan parlemen. Parlemen lokal (DPRD) di daerah tak luput dari perhatian publik, mengingat peran lembaga wakil rakyat menjadi amat penting, tidak hanya sebagai saluran komunikasi antara rakyat dan pemerintah, tetapi juga sebagai institusi yang melakukan fungsi pengawasan, yang mampu meneropong dan menjadi wasit bagi permainan politik pemerintah daerah.
Apalagi pada saat menjelang pilkada di beberapa daerah di Sumatera Selatan, para wakil rakyat cenderung mengabaikan tugas pokok dan fungsinya sebagai wakil rakyat di parlemen lokal. Mereka cenderung fokus pada aktivitas partai untuk mengegolkan kader politiknya yang akan maju dalam pertarungan pilkada dan persiapan pemilu legislatif. Hal ini sungguh ironis, perilaku wakil rakyat yang ditunjukkan bukannya memikirkan problem masyarakat, melainkan mengutamakan aktivitas partai.
Karena itu, jelas bahwa tujuan utama menjadi wakil rakyat bukan bekerja untuk rakyat, melainkan lebih mengedepankan kepentingan parpol dan kelompoknya. Fenomena tingkah laku politik anggota parlemen dapat dilihat dari rendahnya kehadiran dalam berbagai rapat yang diselenggarakan DPRD. Sebab, melalui forum rapat (komisi maupun paripurna), biasanya akan dibahas persoalan publik yang mengemuka, apalagi jika persoalan itu dipermasalahkan oleh masyarakat.
Kinerja Dewan seharusnya ditunjukkan melalui upaya pemecahan persoalan publik sehingga menghindari benturan antarmasyarakat yang melakukan aktivitasnya. Lantas siapa yang bertanggung jawab terhadap kondisi ini? Akar masalahnya terletak pada semakin pragmatisnya parpol sebagai lembaga yang mengawal kehidupan negara dalam pengambilan keputusan publik.
Kesan pragmatis terlihat pada tindakan yang melakukan segala cara agar dapat memenangkan pertarungan kekuasaan, baik di tingkat pusat maupun daerah. Partai seakan lupa bahwa fungsi yang sesungguhnya adalah menciptakan dan membentuk sistem pengaderan yang baku sehingga dapat lahir para pemimpin dari segala level, bukan “mengambil kader asal comot” tanpa memandang kualitas dan kemampuan sang kader. Hal ini terlihat dari pola rekrutmen kader yang hanya berorientasi pada materi melalui politik transaksional.
Artinya, siapa ada uang dan materi, maka akan berpeluang jadi calon kader partai dan kemungkinan besar akan terpilih dalam Pemilu. Kondisi ini sangat tidak mendidik dan memberi peluang munculnya kader yang “karbitan” dan menjadikan parpol dan parlemen sebagai sarana untuk meraih materi yang sebesarbesarnya.
Salah satu kasus yang paling nyata adalah banyaknya kader partai yang tersangkut masalah korupsi, di mana beberapa parpol besar telah menempatkan kadernya sebagai tersangka pelaku korupsi. Tentu saja kejadian ini sangat naif dan tercela jika menjadikan parpol dan parlemen sebagai institusi pencari uang.
Kondisi ini telah merugikan negara dan masyarakat serta menimbulkan persoalan serius, seperti masalah kesenjangan sosial yang makin lebar, pelayanan publik yang masih tidak berpihak kepada rakyat kecil, dan masalah kekerasan dan konflik sosial yang terjadi antarmasyarakat maupun antaraparat penegak hukum.
Pragmatisme parpol harus segera diakhiri dengan cara reformasi parpol sebagai sarana komunikasi politik, sebagai kawah candradimuka pengaderan politik, sekaligus berperan sebagai penyeimbang kekuasaan. Selain itu, perlu dibatasi pembiayaan dana kampanye masing-masing calon legislator melalui aturan main yang dapat berwujud dalam Undang-undang Pemilu,
sehingga biaya politik untuk menjadi seorang legislator dapat ditekan dan dapat memberi peluang bagi kader partai terbaik untuk bersaing memperebutkan kursi di parlemen dengan biaya murah. Jika parlemen diisi oleh kader parpol yang bermutu, diharapkan dapat mengubah wajah DPR dan DPRD sebagai lembaga politik yang berpihak pada kepentingan rakyat, sesuai cita-cita demokrasi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar