|
SINAR HARAPAN, 27 April 2013
Bila kita
bicara tentang FIR Singapura (di mana sebagian wilayah udaranya merupakan
wilayah udara kedaulatan RI), jawaban standar yang muncul adalah wilayah udara
FIR itu bukan soal kedaulatan, tetapi masalah “Aviation Safety”.
Itu biasa,
banyak kok negara-negara di Eropa yang wilayah kedaulatannya juga diatur negara
lainnya. Di kita juga, ada wilayah kedaulatan Australia di sektor Christmas
Island yang pengaturannya berada di bawah otoritas penerbangan RI. Jadi, biasa
dan tidak apa-apa karena sekali lagi itu kan masalah safety.
Kita
sendiri belum beres mengurus wilayah udara di Soekarno-Hatta, jadi ngapain
ngurusin FIR Singapura? Paling kalau diserahkan, kita tidak bisa mengurusnya,
karena kita tidak punya SDM berkualitas dan juga tidak punya cukup dana untuk
membeli peralatan pendukung pengaturan lalu lintas udara, seperti radar.
Terluas
Banyak
yang tidak menyadari bahwa RI adalah negara terbesar dan terluas di kawasan
ASEAN; bahwa RI terletak pada lokasi yang sangat strategis terutama dalam
konteks perhubungan udara di kawasan ASEAN.
Dari
sisi ini saja, tentunya sangat tidak pantas bila pengaturan wilayah udara
kedaulatan RI diserahkan kepada satu negara kecil di kawasan perbatasan yang
sangat padat dalam konteks niaga dengan banyak negara lain di sekelilingnya.
Ini
lebih dari sekadar mengandung makna komersial dan komoditas semata. Ini masalah
kehormatan sebagai bangsa, masalah nasionalisme, masalah harga diri bangsa,
masalah patriotisme, masalah kebanggaan sebagai bangsa besar, masalah
kepedulian terhadap kebanggaan sebagai bangsa bahari. Ingat, kita adalah negara
kepulauan terbesar di seantero jagat. Kita bukanlah Eropa. Ini adalah masalah
dignity. Masalah kesadaran berbangsa. Kesadaran akan sikap bermartabat sebagai satu
nation.
Kebanggaan
saya sebgai orang Indonesia. Belum lagi bila kita sudah memasuki pembahasan
tentang kecintaan terhadap negara dan bangsa yang otomatis membuat setiap warga
negaranya memiliki tugas melekat untuk mempertahankan eksistensi Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Tidak
bisa disangkal oleh siapa pun dan oleh teori manapun tentang sistem pertahanan
negara yang bisa mengatakan bahwa kawasan Selat Malaka bukan kawasan perbatasan
kritis yang bernilai sangat strategis/critical border yang harus menjadi bagian
utama perhatian RI dalam menggelar sistem pertahanannya.
Ingat,
lebih dari 60 persen perang yang terjadi di sepanjang sejarah dunia, penyebab
utamanya adalah border dispute atau sengketa perbatasan. Jadi, sangatlah naif,
bila kemudian ada yang berkata dengan enteng bahwa itu hanya soal biasa dan itu
hanyalah soal aviation safety.
Jangan
coba-coba mengatakan FIR Singapura sebagai hal biasa. Apalagi dengan menyebut
kita pun diberi hak mengatur wilayah udara kedaulatan Australia, yaitu di
kawasan udara sekitar Christmas Island.
Ini
menyesatkan! Christmas Island hanya
sebuah pulau sangat kecil milik koloni Inggris dan dikelola Singapura yang
kemudian diserahkan/dibeli oleh Australia. Terletak di selatan Samudera Hindia,
lebih kurang hanya berjarak 970 km di selatan Jakarta, jauh sekali dari
Australia. Ia berjarak 2.600 km dari Australia.
Christmas
Island adalah sebuah pulau yang penduduknya hanya 2.000 orang, luasnya hanya
135 km persegi dengan garis dalam pulau yang paling panjang hanyalah 19 km, lebih
pendek dari jarak Harmoni ke Blok M. Itu artinya sangat sulit untuk mengatakan
kawasan tersebut sebagai critical border. Apalagi kalau kita bicara tentang air traffic yang pengelolaannya
diserahkan kepada otoritas penerbangan Indonesia.
Data
mutakhir dari kepadatan lalu lintas penerbangan di Christmas Island menunjukkan hanya ada empat penerbangan dalam satu
minggu, menggunakan Virgin Australian
Airlines ke Christmas Island yang berangkat dari Perth dan satu penerbangan
carter yang kadang-kadang tidak terselenggara karena tidak cukup penumpang,
yang diselenggarakan salah satu travel biro kecil di Malaysia.
Jadi,
menyamakan kawasan kedaulatan udara Australia yang dikelola otoritas
penerbangan Indonesia dengan kawasan Selat Malaka bagian wilayah kedaulatan
Indonesia yang dikelola otoritas penerbangan Singapura, adalah benar-benar
laksana membandingkan bumi dengan langit. Sekali lagi sungguh naif.
Berikutnya
lagi ada juga argumen yang mengatakan bahwa kita mengurus kawasan udara di
Soekarno-Hatta saja tidak becus, ngapain lagi repot-repot mau ambil alih FIR
Singapura?
Ada
satu analogi yang mungkin bisa menjelaskan tentang hal ini. Bila di dalam
sebuah rumah, kita sebagai pemilik rumah berhadapan dengan kesulitan dalam
mengelola ruang di dalam rumah kita sendiri, apakah kemudian kita akan
membiarkan sebagian pekarangan kita ditanami pohon singkong oleh tetangga rumah
sebelah yang rumahnya pun jauh lebih kecil dari rumah kita?
Kenyataannya,
jangankan pekarangan, apalagi dengan tetangga rumah sebelah yang rumahnya
kecil, daun pohon saja yang melintas pagar rumah kita, itu sudah menjadi alasan
kuat untuk menegur sang tetangga.
SDM
dan Dana
Berikutnya
lagi soal argumen tak cukup punya dana dan SDM berkualitas. Sebagai pemilik
wilayah udara, walau saat ini wilayah tersebut tengah berada di bawah
pengelolaan negara lain, kita seharusnya berhak menempatkan SDM kita di negara
pengelola. Negara pengelola selayaknya juga merekrut tenaga SDM kita sebagai
SDM yang berkualitas standar internasional untuk membantu mereka dalam
pelaksanaan tugas berkait dengan kepentingan negara pemilik wilayah udara
tersebut.
Paling
tidak dengan menempatkan SDM kita di sana, minimal kepentingan operasi
penerbangan di wilayah kedaulatan kita sendiri dapat berlangsung lebih mudah. Sang
pemilik wilayah sangat berhak memperoleh prioritas dalam perizinan terbang yang
cakupannya memang berada di wilayah sendiri.
Di
wilayah sendiri yang secara kebetulan kini tengah berada di bawah kewenangan
otoritas penerbangan sipil negara lain. Di sisi lain banyak juga penerbangan
yang berlangsung di wilayah tersebut yang tidak seharusnya diketahui secara
detail misi penerbangannya oleh negara tetangga.
Lebih-lebih
kepentingan dari misi penerbangan tertentu kadang justru terhambat karena tidak
diketahuinya dengan benar oleh pihak pengelola. Hal ini akan jauh lebih
menyelesaikan masalah bila ada perwakilan SDM kita di sana. Dengan pola seperti
ini, secara bertahap, kita akan memperoleh SDM berkualitas yang dalam satu
waktu nanti bertugas di wilayah yang padat tersebut.
Soal
dukungan dana dalam konteks pemenuhan peralatan pengatur lalu lintas udara,
dapat dengan mudah dicarikan jalan keluarnya. Fee dari jasa pelayanan lalu
lintas udara di atas wilayah kedaulatan kita seyogianya menjadi hak kita,
paling tidak dalam persentase tertentu. Biaya itulah yang dapat digunakan
sebagai “kredit” mencicil dalam proses pengadaan peralatan modern pengatur lalu
lintas udara. Minimal, dalam konteks ini dapat dengan mudah dilakukan kerja
sama yang sifatnya “saling menguntungkan”.
Jadi,
alasan tidak memiliki SDM dan biaya dalam hubungannya dengan upaya
pengambilalihan FIR Singapura sama sekali tidak bisa diterima akal sehat.
Dalam
perkembangannya, penerbangan sipil sudah demikian pesat. Peristiwa 9/11 di
tahun 2001 memberikan sinyal yang sangat kuat tentang bagaimana penerbangan
sipil sudah harus berada dalam pengawasan yang ketat, menyangkut keamanan satu
negara.
Sekarang
ini sudah waktunya memikirkan satu bentuk civil military air traffic flow
management system, di mana pengelolaan lalu lintas udara sipil yang sangat
padat sudah seharusnya menjadi bagian terpadu dari pengaturan lalu lintas
penerbangan secara keseluruhan termasuk penerbangan militer.
Beberapa
negara telah melaksanakan hal ini, tidak saja ditujukan untuk keamanan terbang,
tetapi juga dalam kerangka pengamanan negara dalam arti luas.
Kita
harus segera berusaha membenahi masalah FIR ini. Masalah ini tidak cukup
diserahkan kepada Kementerian Perhubungan, tetapi juga dan terutama
bersama-sama Kementerian Pertahanan, Kementerian Luar Negeri, dan Kementerian
Dalam Negeri. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar