Akhir-akhir
ini rakyat Indonesia kembali resah lantaran pemerintah akan kenaikan lagi
harga bahan bakar minyak (BBM). Alasannya masih klasik. Subsidi APBN
untuk BBM terlalu memberatkan hingga membebani negara, dan cenderung
tidak menguntungkan dalam jangka panjang.
Karena
dikhawatirkan bisa menyebabkan negara dalam keadaan krisis, maka harga
BBM akan kembali naik! Inilah kuasa bahasa politik yang dilakukan
pemerintah, ‘subsidi’, ‘beban negara’ dan ‘krisis’. Sebenarnya lewat
bahasa ini secara telanjang pemerintah sedang melakukan kamuflase
kebenaran. Pertama, benarkah selama ini pemerintah melakukan subsidi atas
rakyat?
Fakta
empirisnya bahwa rakyatlah yang melakukan subsidi kepada pemerintah
melalui kerja keras yang ditarik pemerintah, baik dalam bentuk pajak
maupun eksploitasi sumber daya alam. Kedua, seolah-olah lewat kata ‘beban
negara’, pemerintah telah berusaha keras bekerja dan rakyat adalah beban.
Padahal
faktanya ‘korupsi tetap merajalela’, biaya perjalanan dinas anggota DPR
dan pejabat semakin besar tanpa hasil signifikan. Gaji bagi birokrat juga
setiap tahun naik, padahal mereka tak melakukan apa-apa. Sementara pada
sisi yang lain, fokus pembiayaan bagi program infrastruktur masih lemah.
Langka dan
mahalnya bawang merah dan bawang putih di pasaran tidak terkontrol.
Anak-anak desa mesti berjalan ratusan kilometer untuk sekolah. Ujian
nasional yang sudah rutin dilaksanakan pemerintah tetap bermasalah.
Sampai pada persoalan impor kebutuhan pokok yang semakin besar, padahal
sumber daya dalam negeri ini melimpah. Semuanya semakin menunjukkan
ketidakbecusan para penyelenggara negara.
Bahasa Politik Dibalik Subsidi
Subsidi
adalah bahasa politik. Sejatinya dana APBN bukan uang pemerintah. Sebagai
pihak yang dipercayakan mengelola negara, pemerintah secara empiris dan
konkret telah gagal membangun kepercayaan rakyat. Dengan semua fakta
ketidakbecusan pemerintah tersebut, masihkah kita percaya bahwa
pencabutan subsidi merupakan langkah solutif menyelamatkan negeri ini?
Pada akhirnya ketika beban APBN berkurang, subsidi dicabut, maka uang
rakyat tersebut tidak mampu dikelola pemerintah.
Tengok saja
realisasi APBN 2012 yang hanya mencapai Rp1.497 triliun dibawah target
anggaran pendapatan dan belanja negara Rp1.548 triliun. Bagi Avram Noam
Chomsky; kadang press release
penguasa lebih kejam dari teror! Itulah faktanya bahwa subsidi
dikomodifikasi sedemikian rupa seolah menjadi jalan terbaik bagi solusi
instan kemalasan pemerintah dalam bekerja.
Pada dasarnya
jika pemerintah mampu meningkatkan pendapatan dalam negeri dan membenahi
berbagai sarana transportasi massal tanpa bahasa subsidi sekalipun,
kenaikan harga BBM tidak akan berpengaruh apa-apa. Saat ini adalah sebuah
kecelakaan besar bagi pemerintah SBY jika berani menaikkan harga BBM.
Di tengah
lemahnya trust public atas
pemerintah, menaikkan harga BBM adalah sebuah proyek bunuh diri. Pada
satu sisi pemerintah membiarkan rakyat bertarung sendirian dan pada sisi
lain para penyelenggara pemerintahan dianggap berpesta pora dari hasil
keringat rakyat. Semakin hari satu persatu para penyelenggara negara
masuk bui Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Membayar Pemalas
Jika
pemerintahan SBY mengaku telah bekerja keras bagi usaha melakukan
kebaikan-kebaikan yang luas terhadap kehidupan rakyat, saya sulit untuk
percaya. Sederhananya silakan datangi kantor-kantor pemerintah atau
kementerian. Di sana Anda dapat melihat sejumlah pegawai negeri sipil
yang sibuk bermain game, menonton gosip artis, lalu duduk seharian penuh
tanpa melakukan apa-apa.
Selain itu,
kunjungi gedung DPR lalu lihat berapa banyak para anggota parlemen
tersebut hadir ketika persidangan dilaksanakan, kalaupun hadir apa yang
mereka lakukan? Sebagian besar mereka tidur atau sibuk memencet gadget.
Apakah pemerintahan seperti itu yang kita sebut telah bekerja keras bagi
rakyat? Lihat berapa uang pajak rakyat yang dikorupsi Gayus?
Sementara
rakyat dibiarkan bertarung sendirian, bekerja untuk sekadar bertahan
hidup. Sementara mereka para pengelola negara selalu merengek meminta
fasilitas sampai kenaikan gaji. Jika sudah seperti ini, masihkah kita
layak percaya pada pemerintah? Pemerintah pemalas, cengeng, dan manja. Di
mana segala sesuatu mesti ditanggung rakyat yang semakin hari semakin
miskin lagi menderita.
Jika bahan
bakar minyak (BBM) benar-benar dinaikkan, berarti sudah waktunya
pemerintah turun. Pasalnya, hampir semua sektor strategis maupun
manajemen pemerintahan terbukti gagal dikelola. Kehidupan demokrasi dan
penguatan hakhak sipil juga sama parahnya. Lihat kasus kekerasan yang
terjadi di Lapas Cebongan, di mana peluru yang dibeli rakyat digunakan
menembak rakyat.
Lihat pula
betapa lucunya ketika aparat TNI dan kepolisian saling bentrok di Polres
Oku. Padahal, para aparat seharusnya malu di hadapan rakyat ketika mereka
dengan semena-mena memakai seragam, senjata yang dibeli dari jerih payah
rakyat, dan dipakai melakukan tindakan kekanak-kanakan.
Bahasa
konstitusi juga tidak lagi diperlukan karena pemerintah sudah melanggar
amanat konstitusi negeri ini sebagaimana yang dituliskan dalam undang-undang
dasar 1945: mencerdaskan kehidupan bangsa serta melindungi segenap tumpah
darah Indonesia! Apakah ini berjalan? Rasanya tidak, jika begitu apakah
pemerintah masih akan berdalih pada hukum formal sistem politik, saat
presiden hanya bisa diganti melalui mekanisme pemilu?
Apakah kita
masih bisa punya waktu menanti pemilu dan pergantian rezim yang setelah
sepuluh tahun berjalan hanya melahirkan pemerintahan korup? Masihkah
penting bicara konstitusi di tengah pemerintah yang inkonstitusional?
Waktunya bangkit melawan atau tunduk tertindas! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar