|
JAWA POS, 29 April 2013
Batik Indonesia kian moncer. Potensi
bisnisnya terus meningkat, terutama sejak UNESCO mengakuinya sebagai karya
bangsa yang termasuk dalam daftar representasi warisan budaya manusia yang tak
berwujud (Representative List of the
Intangible Cultural Heritage of Humanity) pada 2009 di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab.
Batik
sudah merupakan hak cipta resmi bangsa Indonesia yang terdiri atas beragam
corak, bahan, dan warna sesuai dengan nilai-nilai budaya setiap daerah
produsennya. Batik sudah menjadi kreasi yang unik sekaligus kebanggaan
nasional. Karena itu, demi
menjaga kualitas dan kelestarian batik, pemerintah lewat Kementerian Perindustrian
telah menyiapkan sebuah sistem sertifikasi batik yang disebut Batikmark (Jawa
Pos, 24/4).
Dalam rangka sertifikasi batik, pemerintah sudah menerbitkan Peraturan
Menteri Perindustrian Nomor 74/2007 tentang Penggunaan Batikmark. Ini
dikonkretkan lewat Peraturan Dirjen Industri Kecil dan Menengah (IKM) Nomor 71
Tahun 2009 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Batikmark. Sertifikasi ini
bertujuan untuk memastikan jenis batik dan alat pembeda batik buatan Indonesia,
sebagai global home of
batik, dengan batik buatan negara lain.
Batik yang sudah disertifikasi Batikmark akan diberi label atau logo
sesuai dengan jenisnya. Biaya sertifikasinya cukup Rp 1,7 juta. Pelabelan batik
hanya dimaksudkan untuk memperkuat merek-merek batik yang sudah ada di
masyarakat secara kolektif-nasional. Dengan kata lain, dalam rangka
perlindungan produsen, merek dagang batik tetap diakui sebagai pembeda antara
produk batik yang satu dan produk batik lainnya. Menurut pasal 1 angka 2 UU
Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek (UU Merek), merek dagang adalah merek yang
digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang
secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang
sejenis lainnya.
Persoalannya, apakah produsen batik yang belum mendaftarkan merek
batiknya boleh mengajukan sertifikasi supaya batiknya bisa diekspor? UU Merek
memang mengatur bahwa produsen wajib mendaftarkan merek dagangnya ke Direktorat
Jenderal Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI) untuk mendapatkan perlindungan
hukum. Dan, dalam pendaftaran merek berlaku asas first to file atau siapa yang terlebih dahulu
mendaftarkan sebuah merek, maka dialah yang berhak.
Namun, dalam proses sertifikasi, pendaftaran merek sebaiknya tidak
dijadikan sebagai syarat karena banyak merek batik di masyarakat yang belum
terdaftar. Kebijakan Dirjen IKM justru diharapkan bisa memperkuat kedudukan
hukum merek dagang batik yang belum terdaftar. Selanjutnya, dalam menunjang
penjualan batik ke negara lain, pemerintah sebaiknya cukup menekankan merek
sesuai dengan logo dalam sertifikat, bukan lagi pada merek ciptaan produsen.
Sebab, pengakuan UNESCO tadi telah menempatkan pemerintah sebagai subjek utama
dalam melindungi dan memasarkan batik nasional di pasar internasional.
Di tengah rencana pemerintah membuat Batikmark, Lion Air Group melakukan sebuah
langkah yang cukup menarik. Maskapai barunya diberi nama Batik Air dan ditandai
corak batik pada warna cat di bagian ekor pesawatnya. Ini strategi bisnis untuk
menarik konsumen. Namun, dalam bisnis penerbangan, bukan hanya Batik Air yang
menggunakan merek dagang dari nama yang sudah milik umum. PT Garuda Indonesia,
misalnya, memakai nama lambang negara RI (garuda) sebagai merek maskapainya.
Hanya, maskapai Garuda merupakan BUMN, sedangkan Batik Air murni swasta.
Undang-undang memang tidak melarang penggunaan nama lambang negara atau
istilah-istilah yang sudah milik umum menjadi merek dagang. Namun, pasal 5 UU
Merek menyatakan merek tidak dapat didaftar apabila telah menjadi milik umum.
Artinya, merek Batik Air tidak bisa didaftarkan sebagai merek dagang dalam
bisnis jasa penerbangan.
Andaikata ada maskapai lain yang memakai merek yang sama dan corak batik
yang lebih menarik di badan pesawatnya, Batik Air tidak bisa mempersoalkan- nya.
Selain itu, istilah dan corak batik yang digunakan maskapai di badan pesawat
bukanlah dalam rangka memasarkan produk barang/jasa yang sejenis dengan batik.
Namun, setiap perusahaan yang menggunakan istilah atau lambang milik umum
dalam kegiatan bisnis diharapkan bisa menjaga citra bisnisnya, terutama di
dunia internasional. Sebab, jika maskapai Batik Air, misalnya, merusak citranya
sendiri, itu berarti bisa merusak citra batik pula.
Jadi, secara hukum Batik Air memang tidak melanggar UU Merek karena siapa
pun bisa menggunakan istilah batik dengan segala ragam coraknya dalam kegiatan
usaha. Justru langkah Batik Air memberi contoh bahwa beragam cara bisa
dilakukan untuk mengangkat dan mempromosikan batik sebagai produk kebanggaan
nasional. Cara lain bisa dengan, misalnya, promosi batik lewat corak warna pada
produk gelas air minum, alat tulis, wall
paper, dan sebagainya.
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar