Siklus lima tahunan
penyelenggaraan pemilu selalu ramai diulas oleh banyak kalangan. Hal ini
karena hasil pemilu akan menentukan nasib bangsa dan negara ke depan.
Pemilu 2014 dapat dikatakan sudah di ambang pintu. Makin dekat
pelaksanaan pemilu, makin banyak orang stres dan berdebar-debar. Mereka
setidaknya dapat dibagi dalam tiga kelompok.
Yang
pertama, orang-orang partai, terutama partai yang kini melorot tajam
popularitas dan tingkat keterpilihannya. Mereka ketakutan jumlah pemilih
tidak memenuhi target, dan yang lebih menakutkan lagi jika sampai tidak
lolos parliamentary threshold.
Dari perspektif itulah, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang seharusnya
fokus mengurus negara tidak sungkan bersedia menjabat Ketua Umum Partai
Demokrat. Tujuannya, partai yang sedang terpuruk itu dapat pulih kembali.
Memang, menjadi hak setiap orang untuk menggantungkan harapan.
Kelompok
kedua, orang-orang yang berambisi menjadi wakil rakyat. Mereka khawatir
tidak mendapat dukungan dari konstituen karena kualitasnya dianggap tidak
memadai untuk menyandang gelar "yang terhormat". Apalagi, jika rekam
jejaknya tidak mulus.
Yang
ketiga, orang-orang yang berniat menjadi presiden. Undang-undang
mengatur, siapa pun yang akan maju menjadi capres harus diusung oleh
partai politik. Oleh karena itu, para capres harus mampu menggerakkan
mesin partai yang menjadi kendaraannya, melalui program-program yang
membumi, konkret, mudah dicerna oleh rakyat, dan memihak kepada
kepentingan rakyat. Pencitraan sudah dianggap membosankan.
Lalu,
di mana peranan rakyat? Di negara yang menjunjung asas demokrasi seperti
Indonesia, rakyat sejatinya sangat berkuasa. Sayangnya, kekuasaan rakyat
sering dikebiri oleh elite politik. Caranya melalui politik uang. Yang
resmi, misalnya, bantuan langsung tunai (BLT).
Yang
tidak resmi melalui serangan fajar dengan membagikan uang atau sekantong
sembako di hari-hari dekat pencoblosan. Tapi, rakyat Indonesia tampaknya
makin melek politik. Taktik partai politik akan selalu diwaspadai.
Rakyat
tidak mau lagi diperdaya dengan berbagai iming-iming dan slogan yang
menipu. Rakyat menghendaki pemilu yang bermutu, jujur, adil, dan bersih.
Masyarakat telanjur menilai Pemilu 2009 tidak menghasilkan rasa puas bagi
sebagian besar rakyat. Pemerintah banyak dikritik karena kelemahan
kinerjanya.
Walau
dikatakan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,3 persen, tetapi yang terjadi,
tingkat hidup rakyat masih sulit. Banyak menteri bekerja jauh dari
harapan. Kebijakan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi tak kunjung
menenteramkan rakyat. Harga kebutuhan pokok sehari-hari melangit dan yang
baru saja terjadi adalah amburadul-nya ujian nasional. Presiden pantas
kecewa.
Di
sidang kabinet, Presiden sering menunjukkan amarah kepada para
pembantunya. Tetapi, Presiden selalu ragu untuk mengganti pembantunya,
bahkan yang sudah kelewatan sekalipun. Dengan Presiden keasyikan mengurus
partai, makin berkurang waktunya untuk mengontrol kinerja pembantunya.
Jangan sampai terjadi salah urus berkepanjangan terhadap negeri ini.
Harapan
perubahan kini ditumpukan pada hasil Pemilu 2014. Rakyat tidak ingin
salah memilih pemimpin. Itulah sebabnya Pemilu 2014 menjadi sangat
mendebarkan.
Ada
tiga harapan besar yang ditunggu oleh rakyat. Pertama, terpilihnya wakil
rakyat yang cerdas, berkualitas dan jujur. Kedua, presiden terpilih harus
sosok yang tegas, berani, amanah, dan bisa memimpin menuju Indonesia yang
sejahtera. Ketiga, presiden terpilih harus menyusun kabinetnya dari
orang-orang yang kompeten, profesional, menghayati tugasnya dan
menomorsatukan kepentingan rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar