|
MEDIA INDONESIA, 27 April 2013
Pemberantasan korupsi wajib didukung segenap elemen
masyarakat karena mengancam masa depan bangsa. Namun, bukan berarti kita dapat
begitu saja memberikan kewenangan seluas-luasnya kepada para aparat penegak
hukum. Pengawasan publik
harus selalu ditegakkan karena ingat pepatah kuno yang menyebutkan power tends to corrupt.
Dari
beberapa kasus yang sedang bergulir, yang menarik untuk dicermati ialah tuduhan
Kejaksaan Agung (Kejagung) terhadap kerja sama yang dilakukan antara Indosat
dan anak perusahaan mereka, Indosat Mega Media (IM2). Motivasi Kejagung dalam
menggelar perkara itu memang patut dipertanyakan semua kalangan. Apabila kita
mencoba menguraikan masalah dengan menggunakan kacamata hukum yang dipakai
Kejagung, dapat kita simpulkan bahwa dakwaan yang diajukan tidak memiliki dasar
logika hukum yang kuat.
Pertama,
Kejagung menganggap telah terjadi pelanggaran karena IM2 telah menggunakan
frekuensi 2,1 GHz, yang merupakan milik Indosat, tanpa melalui proses lelang.
Menurut Kejagung, hal itu berten tangan dengan Pasal 2 ayat 2 Peraturan Menteri
Komunikasi dan Informatika No 7 Tahun 2006.
Tuduhan
Kejagung bahwa IM2 tidak boleh menggunakan jaringan yang dimiliki Indosat
adalah keliru dan salah kaprah. Perlu digarisbawahi bahwa Indosat merupakan
sebuah penyelenggara jaringan, sedangkan IM2 adalah sebuah perusahaan
penyelenggara jasa. Keduanya memiliki peran yang berbeda di dalam industri
telekomunikasi.
Indosat sebagai penyelenggara jaringan memang harus
mengikuti lelang yang diadakan pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan
Informatika (Kemenkominfo) untuk mendapatkan izin penggunaan frekuensi.
Sementara itu, sebagai penyelenggara jasa, IM2 memang tidak boleh memiliki
jaringan. Oleh karenanya perusahaan-perusahaan penyelenggara jasa melakukan
perjanjian komersial dengan para penyelenggara jaringan sehingga mereka dapat
memberikan pelayanan kepada publik. Di sini dapat dilihat bahwa Kejagung tidak
dapat membedakan definisi sederhana tentang penyelenggara jaringan dan
penyelenggara jasa, serta bagaimana kedua jenis penyelenggaraan telekomunikasi
tersebut berinteraksi satu sama lain.
Karena
pelanggaran peraturan menteri itu, menurut Kejagung, terjadi potensi kerugian
negara sebesar Rp1,3 triliun. Itu merupakan sebuah logika hukum yang tidak
tepat.
Seperti
yang diungkapkan salah satu saksi ahli di dalam persidangan, yaitu Rachmat
Widayana selaku direktur operasi sumber daya di Kemenkominfo, terdapat tiga
macam PNBP (pendapatan negara bukan pajak) dalam telekomunikasi, yaitu BHP
(biaya hak penyelenggaraan) telekomunikasi, BHP (biaya hak penggunaan)
frekuensi, dan kontribusi universal service obligation (USO). Setiap
penyelenggara telekomunikasi, baik penyelenggara jaringan maupun penyelenggara
jasa, wajib membayar BHP telekomunikasi dan kontribusi USO, tetapi hanya penyelenggara
jaringan yang menggunakan frekuensi yang wajib membayar BHP frekuensi.
Seperti
diungkapkan Kemenkominfo, selama ini Indosat selalu membayar semua kewajiban
PNBP, yaitu BHP frekuensi, BHP telekomunikasi, dan kontribusi USO. Adapun IM2
juga sudah membayar biaya BHP frekuensi dan kontribusi USO. Oleh karena itu,
juga dapat disimpulkan bahwa kerja sama yang dilakukan antara Indosat dan IM2
tidak menimbulkan potensi kerugian negara.
Membingungkan
Apabila
nantinya keputusan menyatakan Indosat dan IM2 bersalah, nasib layanan internet
di Indonesia akan terancam punah. Ada lebih dari 280 penyelenggara jasa
internet (ISP) yang beroperasi di Indonesia. Tiap-tiap perusahaan tersebut
menjalankan kerja sama yang sama dengan bentuk kerja sama antara Indosat dan
IM2. Semua ISP tersebut juga tidak membayar BHP frekuensi kepada Kemenkominfo.
Seperti
juga yang telah dijelaskan beberapa saksi dalam persidangan, penyelenggara
jaringan memang diperbolehkan menyewakan sebagian kapasitas jaringan yang
mereka miliki kepada pihak lain, dalam hal ini para penyelenggara jasa melalui
perjanjian B to B atau business to business.
Saksi
lain dari Kemenkominfo, yaitu Titon Dutono, menyampaikan dalam sidang bahwa
pemerintah justru mendorong para penyelenggara jaringan untuk dapat
mendistribusikan kapasitas jaringan yang mereka miliki kepada pihak penyedia
jasa sehingga kebutuhan masyarakat akan layanan telekomunikasi dapat terpenuhi.
Tidak
berhenti di situ, menurut Kejagung, kerja sama antara Indosat dan IM2 juga me
langgar Pasal 25 ayat 1 Peraturan Pemerintah No 53 Tahun 2000 yang menyata kan
penyelenggara jaringan tidak boleh mengalihkan alokasi frekuensi yang sudah
didapat kepada pihak lain. Dasar hukum yang digunakan Kejagung itu juga tidak
tepat kanyataannya tidak ada rena pada kenyataannya tidak ada alokasi frekuensi
yang dialihkan Indosat. Apa yang dilakukan Indosat ialah menyewakan kapasitas
jaringan yang mereka miliki kepada pihak lain, sebuah kegiatan komersial yang
sudah jamak dilakukan di industri telekomunikasi.
Dengan
dakwaan yang tidak memiliki landasan hukum kuat itu, tidak mengherankan apabila
banyak pihak bertanya-tanya apa sebenarnya motif di balik ngototnya Kejagung
dalam mengangkat kasus tersebut. Pertanyaan itu layak diangkat karena Kejagung
tetap saja bergeming walau sudah ada keputusan dari Pengadilan Tata Usaha
Negara (PTUN) yang memutuskan untuk menangguhkan hasil audit BPKP yang
menghitung kerugian negara dari kerja sama penggunaan frekuensi antara Indosat
dan IM2. PTUN menyatakan audit tersebut tidak sesuai dengan prosedur karena
hanya bersumber dari permintaan Kejagung tanpa meminta dan memeriksa
bukti-bukti dari pihak Indosat dan IM2.
Tidak
hanya putusan PTUN, pernyataan Kemenkominfo selaku regulator industri
telekomunikasi seharusnya dijadikan sebagai acuan oleh Kejagung untuk kasus
itu. Berkali-kali Kemenkominfo menyatakan tidak ada pelanggaran yang dilakukan
di dalam kerja sama tersebut yang dikuatkan dengan surat dari Kemenkominfo ke
Kejagung pada akhir tahun lalu. Isi surat itu menyatakan perjanjian kerja sama
antara Indosat dan IM2 telah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku.
Andaikata
setiap penyelenggara telekomunikasi, termasuk jasa, harus memiliki frekuensi
sendirisendiri untuk menyediakan layanan kepada publik, apakah sumber alam
langka frekuensi radio tidak tambah diperebutkan?
Saat
ini saja para penyelenggara telekomunikasi besar ataupun kecil berebut alokasi
dan izin dari pemerintah. Bahkan karena banyaknya penyelenggara telekomunikasi
di Indonesia, mestinya lebarnya pita frekuensi (frequency bandwidth) yang diperlukan penyelenggara untuk
layanan-layanan 3G tidak mencukupi. Seharusnya alokasi pita lebih lebar seperti
di negara-negara maju agar lebih ekonomis karena makin banyak pelanggan yang
bisa dimuat dalam pita tersebut dan biaya akan turun.
Para
pemangku kepentingan, khususnya para pemegang kebijakan negara, wajib tahu
bahwa yang menggunakan pita frekuensi itu banyak layanan, selain telekomunikasi
untuk umum, juga penyiaran, navigasi perhubungan (darat, laut, udara), meteorologi
(pemantauan bencana, cuaca), radio astronomi, pemetaan bumi, dan sebagainya.
Indonesia
harus berjuang baik untuk mempertahankan pita-pita frekuensi dan orbit
satelitnya ataupun ikut mendukung pita baru untuk teknologi baru demi
kepentingan nasional.
Akhir kata, yang lebih mendasar ialah keharusan dari para pemangku kepentingan, dalam hal ini termasuk lembaga-lembaga dan aparat negara, khususnya Kejagung, untuk memahami arti dari penerbitan suatu UU beserta peraturan pelaksanaannya. Apa latar belakang, falsafah, tujuan, dan sasaran dari pembuatan UU. Tanpa memahaminya, akan terjadi debat kusir yang mengherankan sekaligus memalukan saat ini, yang mengabaikan manfaat dan pengelolaan pita spektrum frekuensi yang merupakan sumber alam langka, sampai harus masuk ke pengadilan. Luar biasa, itu mungkin merupakan satu-satunya perkara di dunia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar