|
SUARA KARYA, 29 April 2013
Masyarakat saat ini bingung dengan
sikap pemerintah yang terkesan bingung sendiri dengan lontaran kebijakan dua
harga untuk harga BBM. Ternyata, kebijakan itu menimbulkan pro-kontra bahkan
cenderung publik menolak. Padahal, sebelumnya pemerintah tampak sangat percaya
diri untuk menerapkan dua harga BBM. Dari sisi landasan legal, karena UU No 19
Tahun 2012 tentang APBN 2013 membolehkan pemerintah menaikkan harga BBM pada
tahun ini.
Pemerintah mungkin bingung dan
ragu karena secara momentum, kondisi makroekonomi ternyata kurang pas. Pada
awalnya Bank Indonesia (BI) memang memprediksi tingkat inflasi akan bersahabat
hingga April 2013. Tetapi, tidak dinyana, inflasi pada awal tahun ini sudah
sangat tinggi akibat kenaikan harga bahan makanan. Inflasi kumulatif hingga
Maret 2013 telah mencapai 1,7 persen dari 4,9 persen yang ditargetkan
pemerintah.
Pada kesempatan lain, pemerintah
kembali yakin bahwa inilah "waktu tepat" untuk menaikkan harga BBM
setelah pemerintah berkomunikasi dengan dunia usaha. Bagi pengusaha, kenaikan
harga BBM memang tidak akan pernah bermasalah selama dapat mentransformasi
beban kepada pihak lain. Menaikkan harga jual produk adalah langkah yang dapat
dilakukan oleh pengusaha untuk memindahkan beban kepada pembeli.
Persetujuan pengusaha tentu bukan
tanpa syarat. Pengusaha yakin, pemerintah memiliki dana penghematan yang besar
sehingga pengusaha meminta jaminan penggunaan dana itu untuk membangun
infrastruktur. Tentu bagi mereka, lebih baik harga BBM naik meski daya beli
pasar terganggu, tetapi akan ada pembangunan infrastruktur masif yang akan
menurunkan biaya produksi jangka panjang. Proposal itu tetap diajukan meski
dunia usaha masih ingat bahwa kenaikan harga BBM 2005 dan 2008 tidak menjamin
berlangsungnya pembangunan infrastruktur yang lebih baik.
Pemindahan beban lainnya adalah
memindahkan biaya produksi kepada pemerintah, dengan meminta pemerintah
mengurangi biaya yang diatur oleh pemerintah sendiri. Belakangan diketahui,
permintaan pengusaha sudah lebih konkret, yakni "menukar" kenaikan
harga BBM dengan penundaan kenaikan upah minimum regional (UMR).
Sebagaimana diketahui, Presiden
telah mengisyaratkan untuk menerima masukan para pengusaha. Jika deal tersebut
terjadi, maka kenaikan harga BBM, baik satu maupun dua harga, akan menjadi
monster bagi buruh yang akan membebani dari dua sisi, yakni kenaikan dan
penundaan kenaikan UMR. Apabila kemudian buruh membalas dengan lobi besar lewat
demo, maka momentum "waktu" itu menjadi tidak tepat lagi.
Makin membahayakan lagi apabila
kemudian lembaga asing seperti lembaga rating pun ikut-ikutan mendukung alasan
"ketepatan waktu" untuk segera menaikkan harga BBM. Dengan ancaman
investment grade akan terganggu jika subsidi BBM tidak segera dihapus, tentu
menjadi senjata sangat ampuh untuk menekan pemerintah. Padahal, sangat pasti
penyebab ranking daya saing investasi Indonesia bukan karena harga BBM.
Kenaikan harga BBM merupakan
contoh pengelolaan kebijakan publik yang buruk. Seharusnya kebijakan penaikan
harga BBM lebih didasarkan pada pertimbangan dampak daya saing dan daya beli
yang sejalan dengan strategi dan kebijakan pemerintah.
BBM tidak akan berkurang dalam
jangka panjang selama tidak ada penataan ulang dari sisi biaya produksi dan
pasokan maupun permintaan atas BBM bersubsidi. Kenaikan harga BBM pasti akan
menciptakan dampak berat dan menjadi sangat berbahaya apabila "ketepatan waktu penaikan harga
BBM" lebih didasarkan pada lobi para stakeholder. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar