Kebinekaan bangsa saat ini jadi isu nasional yang dominan. Mungkin
hal itu disebabkan sering terjadi benturan fisik dari yang sangat lokal
seperti tawuran siswa dan mahasiswa sampai yang lebih luas seperti
tawuran antardesa dan antarkesatuan.
Banyak komentar bermunculan, dari yang mendasarkan pada persoalan
ekonomi yang bineka hingga yang lebih mengerikan menyangkut mentalitas
anak bangsa yang sakit. Sejumlah saran memang dilontarkan, seperti
perbaikan pendidikan dengan pembaruan kurikulum dan juga yang paling
sederhana seperti anjuran meningkatkan toleransi.
Sebagai anak bangsa, kesadaran saya akan adanya kebinekaan bangsa
baru semenjak mengenal lambang negara, Garuda Pancasila. Terpampang di
kaki garuda semboyan ”Bhinneka Tunggal Ika”. Tanpa ada gereget untuk
memperdalam arti dan maksudnya, saya hanya mengartikan bahwa perbedaan
agama, suku, dan adat dalam bangsa ini harus bisa dipersatukan menjadi
satu bangsa ialah bangsa Indonesia.
Saya pahami istilah-istilahnya secara sederhana yang perbedaan itu
perlu menjadi tunggal ika yang berarti satu. Jadi, istilah ”ika” dipahami
sebagai ”eka”, padahal pemahaman itu sesudah dipikirkan lebih lanjut
tentunya salah. Sebab, istilah ”tunggal” itu sudah berarti satu. Tidak
mungkin kalau pencipta semboyan dalam suatu lambang negara memerlukan dua
kata untuk memberi arti ”satu”.
Arti ”Ika”
Sudah lama sekali saya ingat ada tulisan (entah di mana) tentang
arti istilah ”ika”, tetapi sayang tak sedikit pun teringat di kepala
saya. Hanya barangkali bisa menjadi pegangan saya bahwa istilah ”ika”
yang menjadi manunggalnya kebinekaan anak bangsa ini tidak berarti jelek.
Untuk memperkuat keyakinan ini saya coba mencari arti istilah ”ika”
dari buku-buku koleksi saya. Pertama saya mencari dari kamus bahasa
Latin, tidak saya temukan. Dari kamus bahasa Belanda, Inggris, Jepang—yang
barangkali memengaruhi pencipta lambang Garuda Pancasila mengunduh
istilah ”ika” dari bahasa-bahasa itu mengingat pengaruh zamannya—juga
tidak ada.
Istilah ’ika” saya temukan di Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai
kata-kata ”ikamah”, sedangkan istilah ”ika” saja tidak saya temukan.
Bahkan, saya telusuri dengan menggantikan huruf ”k” dengan huruf mati
lainnya, mulai dari ”iba” sampai dengan ”iza” yang barangkali mendekati
pengertian istilah ”ika”, juga tidak ada.
Istilah ”ikamah” diartikan Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai
seruan terakhir untuk memulai sembahyang. Saya simpulkan, istilah ”ika”
tentu mengandung arti yang baik.
Belum puas sampai di situ, saya cari arti ”mah” dalam kamus itu
yang diberi keterangan dari kata ”maha” dengan contoh ”mahraja” sama
dengan ”maharaja”. Saya kaitkan juga pencarian saya untuk mengerti
istilah ”ika” secara harfiah dengan kata-kata ”mahardika” yang berarti
”berbudi”, ”luhur”. Jadi barangkali ada hubungan arti ”ika” dengan ”budi”
dan ”keluhuran”.
Saya telusuri juga barangkali kata ”ika” merupakan bahasa Jawa Kuno
yang bisa saya temukan dalam buku Het Adatrecht van Nederlandsch-Indie
karangan Prof C van Vollenhoven (1918), tetapi tidak saya temukan istilah
itu. Apa boleh buat, mudah-mudahan ada yang bisa mengungkapkan arti ”ika”
dari sumber lain dan menuliskan di harian Kompas. Redaksi barangkali juga
bisa menemukan, atau siapa tahu yang pernah saya baca puluhan tahun lalu
itu justru tulisan di harian ini.
Memprihatinkan
Terlepas dari pencarian pengertian istilah ”ika”, masalah
kebinekaan bangsa ini kiranya perlu kita renungkan lebih mendalam karena
sudah menjadi keprihatinan luas. Kebinekaan bangsa ini sudah takdir dan
harus bisa diresapi keindahannya.
Sesuatu yang serba mono tidak selalu indah karena tidak terwujud
harmoni. Sebuah lukisan yang merangkai berbagai bentuk dan warna
menimbulkan harmoni yang dapat berupa keindahan yang bisa dinikmati,
bahkan mewujudkan ketenteraman bagi yang dapat merasakan.
Kehidupan pribadi seseorang juga memerlukan kebinekaan. Hari demi
hari kalau diperhatikan terjadi kebinekaan juga dalam kehidupan. Hidup
monoton, kata orang, cepat buat mati. Secara falsafati, sakit pun perlu
disyukuri karena bisa merasakan nikmatnya sehat. Dalam keluarga pun
selalu ada kebinekaan. Karakter masing-masing anggota keluarga tidak
mesti sama.
Kebinekaan itu menimbulkan harmoni yang menenteramkan. Begitu
selanjutnya kebinekaan dalam wilayah RT, RW, kampung, desa,
kota/kabupaten, provinsi, dan akhirnya negara.
Negara kita yang merupakan negara kepulauan terbesar di dunia
terletak memanjang di garis khatulistiwa dari barat ke timur dengan
kebinekaan dalam berbagai hal. Tidak bisa kita hilangkan kebinekaan itu.
Bahkan, kebinekaan harus bisa menjadi kebanggaan kita karena sumber daya
alam dan manusia itu, termasuk kebinekaannya, menjadi kekayaan seluruh
bangsa kita untuk membangun ekonomi biru (kelautan) dan ekonomi hijau
(pertanian) secara berkelanjutan untuk mencapai kesejahteraan rakyat.
Wujudkan Harmoni
Menghidupkan budaya daerah untuk tetap berbineka harus bisa kita
rangkai sehingga mewujudkan keindahan harmoni yang menenteramkan batin
sebagai budaya nasional. Tidak cukup sebatas lahiriah, misalnya, yang
sekarang lagi tren, busana daerah yang menjadi aturan busana karyawan
instansi pemerintah di hari-hari tertentu.
Demikian pula menggairahkan penciptaan kuliner daerah sebatas show
business pada suatu event yang diorganisasi sesaat. Fenomena friksi
antarkelompok sehingga sampai terjadi clash fisik yang menimbulkan korban
tak cukup diatasi dengan sekadar anjuran peningkatan toleransi.
Terjadinya ekses kebinekaan memang bisa dilatarbelakangi berbagai
sebab. Sebenarnya, hal itu bisa
diatasi secara lebih mendasar kalau kita
kembalikan kepada falsafah Pancasila, yang sesudah reformasi sepertinya
meredup akibat barangkali jenuhnya kita dengan usaha menghayatinya pada
era Orde Baru.
Pancasila sebagai karakter bangsa dengan menghayatinya secara
menyeluruh kelima silanya hendaknya kembali perlu kita tanamkan di
masyarakat melalui program pendidikan masyarakat yang tidak bersifat
doktriner atau indoktrinasi. Khusus dalam mengisi kebinekaan, perlu kita
kembali kepada lambang negara, Garuda Pancasila.
Seharusnya kita mencari bagaimana mengisi ”menunggalkan keikaan”
dalam menciptakan keharmonisan dalam kebinekaan kita. Saya kira ini
menjadi PR kita seluruh anak bangsa dari Sabang sampai Merauke. Khusus
bagi saya pribadi, memang masih ada PR untuk mengerti arti ”ika” secara
harfiah dalam konteks lambang negara Garuda Pancasila. Semoga saja ada
yang menolong. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar