|
SUARA MERDEKA, 27 April 2013
"Kita menunggu realisasi janji Kapolri yang menyatakan siap
membantu jaksa mengeksekusi Susno"
Berkait dengan kericuhan
eksekusi Komjen (Purn) Susno Duadji, mantan Kabareskrim Mabes Polri, satu hal
yang tak bisa ditampik adalah ketidaksejalanan jiwa orang-orang yang menurut
mantan hakim agung Bismar Siregar --digelari predikat ”wakil Tuhan”-- tidak
berjalan sesuai dengan sifat-sifat ketuhanan meskipun tiap putusan selalu mengatasnamakan
Zat Yang Agung itu.
Peradilan yang semestinya
menjadi pemutus sengketa malah tak ubahnya ajang silat lidah para pakar. Hal
mudah menjadi sukar karena melalui corak kontinental sebuah putusan kasasi
sangat singkat namun masih dihinggapi sifat malas menuliskan putusan tegas.
Saya tidak hendak bersuuzan
tapi itu biasanya terjadi lantaran dua hal. Pertama; kertas untuk menulis
kalimat putusan begitu licin lantaran lembarnya berwarna merah, atau bantalan
palu sang pengadil berlapiskan lembar kertas merah sehingga meskipun palu
dipukulkan kuat tidak bakal terdengar bunyi.
Bila ”wakil Tuhan” itu
mencermati sistem hukum di Indonesia sesuai asas kontinental, semestinya
tidak muncul putusan yang tidak berkelamin. Sesuai asas legalistik semua harus
tertulis, dan ketika sebuah persoalan, termasuk diktum, tidak tertulis akan
dianggap tak berlaku meskipun masih debatable. Terlebih dalam KUHAP persoalan
hukuman dan penahanan termasuk sesuatu yang tak boleh ditinggalkan.
Itulah sebabnya, meskipun MK
telah menegaskan bahwa jika ada putusan seperti dialami Susno, berlaku
putusan pengadilan tingkat di bawahnya, kontroversi tetap terjadi, sebagaimana
dipertontonkan Susno. Hal ini, lantaran putusan MK berlawanan dengan asas
kontinental yang berlaku di Indonesia, yakni aturan harus tertulis dan ketika
tidak tertulis akan dianggap wacana semata.
Dari sisi keadilan, apa yang
dilakukan Susno bisa dikatakan akrobat guna menyiasati hukum, dan itu memang
jurus terpidana untuk berkelit. Sebagai mantan Kabareskrim, ditambah dibemperi
Prof Yusril Ihza Mahendra, mantan menkumham yang sedikitnya sudah kali keenam
mengalahkan pemerintah, Susno tentu sangat paham kelemahan putusan Mahkamah
Agung (MA).
Celah itu makin lebar
terbuka ketika lembaga tempat berkumpul ”wakil Tuhan” tersebut hanya mencantumkan
hukuman denda. Tentu selain celah itu sudah lebar dengan bisunya para hakim
terkait apakah Susno perlu ditahan atau tidak, dan seterusnya. Bagi Susno
itulah putusan final sehingga ia merasa bebas dari ancaman kurungan. Realitasnya,
seperti yang kita lihat pada 24 April 2013, Susno mbalela, dan Polri tampak
jelas ikut menghambat proses eksekusi.
Dengan kata lain, meskipun
menurut MK pengertian dihukum berarti pemenjaraan, majelis hakim yang menangani
kasasi Susno telah melakukan kelalaian. Lalai karena mereka tidak taat
asas legalitas. Yang terpenting, perlu menegaskan bahwa para hakim tersebut
tidak amanah terhadap tanggung jawabnya, yang semestinya bisa menjadi pemutus,
bukan menciptakan kontroversi.
Juga layak menyematkan predikat
pemalas kepada mereka, mengingat dari kacamata agama kita bisa mendapat
gambaran bahwa jiwa dan pikiran mereka sudah diliputi sifat hubbun dunya (cinta
dunia). Akibatnya, mereka malas meskipun hanya menulis putusan yang cukup dalam
beberapa lembar. Bisa kita bayangkan bila mereka harus menulis putusan seperti
pada sistem Anglo Saxon, yang selain merujuk pada referensi karya pendekar
hukum, harus menuliskan analisis mendalam.
Kita bisa melihat putusan
Mahkamah Agung Amerika Serikat berkait dengan sengketa pilpres antara Al Gore
melawan George Bush, yang setebal lebih dari 500 halaman. Bandingkan pula
dengan disertasi doktor pada umumnya yang setebal 250-400 halaman.
Integritas Hakim
Putusan MA AS itu pun
menyertakan analisis sangat mendalam, disertai pendapat para ahli hukum kenamaan.
Itu sebabnya, putusan MA di negara yang menganut hukum Anglo Saxon bisa menjadi
binding precedent jurisprudence,
artinya menjadi hukum bagai peradilan sesudahnya, lantaran selain jadi penggali
hukum, peradilan juga memanfaatkan fungsi diskresi demi rasa keadilan.
Berkaitan hal itu, jika
dibandingkan dengan negara penganut Anglo Saxon yang para hakim harus berjihad
demi keadilan, dan itu mereka buktikan lewat analisis tajam yang ditulis dalam
berlembar-lembar putusan, ”wakil Tuhan” di MA negara kita semestinya harus
malu. Mereka seharusnya tidak malas menuliskan sesuatu supaya tidak terjadi
ricuh seperti kasus Susno.
Hal itu bisa terwujud bila
mereka mencermati bahwa keadilan digantungkan pada integritas para hakim
sebagaimana Zat Tuhan, bukan seperti yang sering dipelesetkan sebagian
masyarakat, yaitu ”hubungi aku jika ingin memang” lantaran banyak oknum
berperilaku tercela menjadi hakim.
Saya berharap kemalasan
hakim pemutus kasus Susno adalah kali terakhir. Saya juga berharap mengingat
negeri ini menganut asas legalistik formal, jangan berdalih hakim bisa memutus
seperti pada kasus Susno, karena sesuai asas tersebut yang menjadi
pegangan adalah yang ada dalam putusan. Memang sudah menjadi jurus terpidana
untuk berkelit dari pemidanaan sehingga mereka menempuh lewat semua dalih. Itulah
sebabnya hakim harus berjalan dengan sifat-sifat asali Tuhan, bukan
menggadaikan nama-Nya pada tiap mengucap awal amar putusan. Terlepas dari
kontroversi itu, Susno harus dipenjara. Jika tetap mbalela, Presiden SBY harus
kembali turun tangan seperti dalam kasus simulator SIM. Kita juga menunggu
janji Kapolri Jenderal Timur Pradopo (SM, 26/4/13, yang setelah bertemu Jaksa
Agung Basrief Arief, menyatakan siap membantu jaksa mengeksekusi Susno. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar