Anak-anak yang gagal dan
sekolah yang gagal adalah sebuah indikasi dari adanya sistem yang salah,
bukan otak yang salah" (Eric Jensen, penulis Brain Based Lerning
tahun 2008). Bandingkan dengan peribahasa, 'Buruk muka cermin dibelah'.
Jika
saat ini Ujian Nasional (UN) dipersoalkan dan terjadi persoalan dalam
pelaksanaan UN perlu dipertanyakan apa persoalan hakiki UN tersebut.
Persoalan UN bukan terletak pada ada atau tidak adanya UN. Sebab itu,
tidak perlu diperdebatkan sehingga menimbulkan pro kontra. Justru jauh
lebih penting dituntaskan adalah fenomena di balik ada atau tidak adanya
UN.
Bagaimanapun,
penyelenggaraan UN terbukti berjasa mengungkap "borok-borok"
yang ada di dalamnya, baik dalam hal persiapan, pelaksanaan, maupun hasil
UN. Kelihatannya ada kekeliruan mindset ketika ada pihak yang menganggap
UN merampas hak-hak guru dalam melakukan evaluasi terhadap peserta
didiknya. Padahal, UN sama sekali tidak merampas hak guru. Di dalam
sebuah sistem, evaluasi perlu dilakukan secara internal dan eksternal,
ada kalanya dilakukan secara simultan.
Evaluasi eksternal diperlukan
untuk melakukan verifikasi terhadap proses dan validitas evaluasi
internal.
Nah,
antara ujian yang dilakukan oleh guru dan UN semestinya saling
menguatkan. Ujian adalah salah satu tahapan dalam proses evaluasi yang
bertujuan untuk mendapatkan data yang valid. Jika ada anak yang gagal
ujian, baik UN maupun non UN, persoalannya hanya dua.
Pertama,
anak yang bersangkutan tidak menguasai kompetensi dasar yang diuji. Kedua,
alat ujinya tidak valid. Solusinya ada pada dua hal itu. Jadi, bukan
dengan meniadakan salah satunya, karena meniadakan salah satunya akan
mengurangi tingkat validitas keseluruhan proses evaluasi.
Terkait
hal itu, setiap guru menetapkan batas kriteria ketuntasan minimal (KKM)
sebelum pembelajaran dimulai di awal tahun. Penetapan kriteria ini
didasarkan atas kajian tentang kemampuan dasar awal siswa (intake),
kompleksitas materi dan kompetensi, serta daya dukung (profesionalisme
guru dan sarana prasarana yang tersedia). Ketiga hal ini menentukan
tinggi rendahnya ketuntasan minimal masing-masing mata pelajaran.
Kisaran
ketuntasan minimal yang ditetapkan guru antara 60-80 persen, bergantung
pada kondisi sekolahnya, dan bahkan sekolah-sekolah unggulan menetapkan
di atas itu. Artinya, guru menetapkan target pencapaian pembelajaran
minimum adalah 60 persen dari 100 persen kompetensi yang diajarkan. Jika
persentase itu betul-betul murni hasil pencapaian kompetensi, maka semua
anak lulus UN karena batasan UN berada di bawah itu, yaitu 55 persen.
Artinya, ketika siswa naik kelas, mereka tuntas menguasai kompetensi, ia
akan lulus UN. Jika ada anak yang gagal UN, penyebabnya dua.
Pertama,
pencapaian ketuntasan minimum hanya kamuflase, atau hanya tuntas angka,
bukan tuntas komepetensi karena kalau tuntas kompetensi sangat kecil
kemungkinan anak gagal UN karena kompeten berbeda dengan hafal. Bila anak
kompeten, diuji oleh siapa pun, kapan pun, dan di mana pun pasti dia
bisa, jika hanya hafal, bisa jadi gagal karena gugup pada saat ujian.
Kedua,
alat uji UN yang tidak valid. Jika anak gagal karena alat uji tidak
valid, namanya penzaliman, ini dapat disebut merampas hak anak. Sampai
saat ini belum ada satu pun lembaga independen mengkhususkan diri untuk
meneliti validitas alat uji UN ini. Artinya, sejauh ini tidak ada yang
mempersoalkan validitas UN. Padahal, validitas alat uji jauh lebih
penting daripada mempersoalkan keberadaannya, jika terbukti alat yang
digunakan tidak valid, alasan ini sangat kuat untuk menganulir hasil UN.
Ketika ada siswa yang belum mencapai KKM, guru akan melakukan remedial.
Persoalnya adalah, guru sering kali keliru memaknai remedial dan KKM.
Remedial pada umumnya dipahami sebagai perbaikan nilai padahal bukan
perbaikan nilai, tapi perbaikan kompetensi.
Sebagai
contoh, saat tes menulis karangan, anak mendapat angka 40, artinya anak
belum tuntas
karena di bawah KKM (60 persen). Jika alat tes yang
digunakan oleh guru itu valid, mengacu kepada indikator yang terukur,
mestinya guru tahu sejak awal apa permasalahan yang dihadapi tersebut.
Misalnya, ternyata anak yang bersangkutan belum mahir merangkai kata
menjadi kalimat, dan tentunya untuk merangkai kalimat menjadi suatu
paragraf akan bermasalah.
Ketika
guru paham dengan kondisi anak ini, maka remedialnya adalah memberikan
latihan atau bimbingan sehingga anak menjadi mahir dalam menyusun kata
menjadi kalimat yang bermakna, dan seterusnya dia mahir menyusun kalimat
menjadi paragraf yang padu. Berikutnya setelah remedial, untuk memastikan
apakah anak sudah tuntas atau belum, anak yang bersangkutan dapat diuji
kembali. Jika proses ini dilakukan sejak awal pembelajaran dimulai,
berarti guru fokus pada pencapaian kompetensi. Akhirnya, kompetensi anak
akan terus meningkat, dan beban kerja guru akan terus berkurang sejalan
dengan meningkatnya penguasaan kompetensi anak. Dengan cara itu, semua
anak akan tuntas, dan tidak ada lagi anak yang tingal kelas. Tentunya,
tidak akan ada anak yang tidak lulus UN, karena semua anak tuntas dan
ketuntatasan paling rendah 60 persen, di atas batas 55 persen untuk
kelulusan UN.
Bila
ini terjadi, anak, orangtua, guru, kepala sekolah, kepala dinas, kepala
daerah tidak perlu lagi mencemaskan UN. Tidak ada yang merasa terancam
mutasi setelah hasil UN diumumkan. Inilah makna pembelajaran dalam
kurikulum berbasis kompetensi.
Orang
yang takut UN adalah orang yang meragukan kemampuannya. Jika yang menolak
UN itu orang dewasa, seperti guru, para ahli, pejabat, itu artinya mereka
menyangsikan hasil pekerjaannya sendiri selama ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar