|
KORAN TEMPO, 29 April 2013
Lelang jabatan ini sebenarnya adalah suatu jalan untuk
menerapkan kontrak kinerja. Di sini dikomunikasikan harapan-harapan yang
dituntut oleh pemerintah provinsi, apa yang harus dilakukan, serta perilaku apa
yang bisa dan tidak bisa diterima.
Kegelisahan Jokowi atas kinerja pelayanan publik lini depan
yang membuahkan lelang jabatan lurah dan camat telah menarik perhatian kita.
Lelang jabatan bukanlah hal baru dalam manajemen sektor publik. Salah satu
doktrin dalam manajemen publik yang baru yang dikenal dengan New Public Management (NPM) adalah
menginjeksi sistem kompetisi dalam sektor publik agar kinerja birokrasi
meningkat, sehingga pelayanan publik dari segi kualitas dan kuantitas semakin
meningkat.
Ketika menjabat gubernur di Gorontalo, saya menghadapi
persoalan yang cukup pelik, yaitu rendahnya kinerja birokrasi dan sumber daya
yang jauh dari mencukupi, sementara di sisi lain saya ingin agar Gorontalo bisa
dengan cepat mengatasi ketertinggalan. Yang dibutuhkan Gorontalo adalah adanya
pengumpil yang mampu menunjukkan kinerja Gorontalo jauh lebih bagus daripada
sebelumnya, sehingga Gorontalo layak disebut sebagai provinsi baru yang
menjanjikan. Saya membuat terobosan yang kala itu dinilai tidak masuk akal,
yaitu meningkatkan produksi jagung menjadi 1 juta ton, sementara produksi
jagung Gorontalo pada 2001 hanya 81.720 ton. Menurut saya, hal ini bukan proyek
ambisius karena, sebelumnya, saya sudah melakukan studi dan meminta second
opinion kepada pihak yang kompeten. Pada 2009, produksi jagung Gorontalo telah
mencapai hampir 700 ribu ton.
Kapasitas
Dengan program 1 juta ton, saya memulai reformasi birokrasi
dengan berfokus pada peningkatan kapasitas manajemen dan kapasitas sistem
pemerintahan di Provinsi Gorontalo. Pada 2003 inilah saya memperkenalkan lelang
jabatan untuk jabatan eselon II, III, dan IV. Lelang jabatan tersebut adalah
instrumen untuk menumbuhkan kompetisi agar para pegawai berkinerja lebih baik.
Mereka diikat dengan suatu kontrak pencapaian target-target tertentu yang
bermuara pada peningkatan produksi jagung 1 juta ton.
Lelang jabatan ini sebenarnya adalah suatu jalan untuk
menerapkan kontrak kinerja. Di sini dikomunikasikan harapan-harapan yang
dituntut oleh pemerintah provinsi, apa yang harus dilakukan, serta perilaku apa
yang bisa dan tidak bisa diterima. Instrumen untuk mengawasi mereka yang lolos
dari lelang jabatan adalah manajemen kinerja. Gubernur memiliki dokumen rencana
kerja pejabat yang secara terus-menerus dimonitor dan dievaluasi apakah yang
dijanjikan dalam rencana kerja itu dapat diwujudkan.
Perubahan Mindset
Kinerja pejabat membutuhkan kohesi tim dan perilaku yang
mengarah pada pencapaian target kinerja. Sebelum menyelenggarakan lelang
jabatan, saya terlebih dulu mempersiapkan skenario perubahan mindset dan perilaku pegawai. Saya
membentuk forum yang bernama governor
lecture, yang diselenggarakan setiap bulan dan pelatihan tematik untuk
satuan kerja. Tujuannya adalah membentuk kultur birokrasi baru yang lebih
berwatak wirausaha. Dari pelatihan dan governor
lecture ini kemudian dihasilkan kesepakatan nilai-nilai baru birokrasi
wirausaha Gorontalo yang terdiri atas inovasi, teamwork, trustworthiness,
prosperity, dan speed.
Berkembangnya kultur wirausaha di kalangan birokrasi dan keberadaan para public manager (pejabat eselon) yang
terpilih melalui job tender sangat
berperan dalam percepatan pembangunan di Gorontalo.
Terobosan dalam pengembangan kapasitas manajemen dan
kapasitas sistem membawa akibat yang sangat positif, pegawai dan tim mendapat
dukungan yang relevan serta keahlian yang dibutuhkan agar mereka mampu
berkinerja lebih efektif dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya. Tercipta
suatu sistem yang stabil dan produktif serta berkembangnya jejaring kerja sama
intra dan antar-satuan kerja.
Tunjangan Kinerja
Setelah kultur birokrasi wirausaha terbentuk, saya
mengintroduksi tunjangan kinerja. Hal ini berdampak sangat besar bagi
peningkatan moral kerja pegawai. Lelang jabatan, kultur birokrasi wirausaha,
dan tunjangan kinerja ternyata mampu menjadi commitment driver untuk meningkatkan kinerja individu ataupun
organisasi. Pegawai merasa kontribusinya dihargai tidak hanya melalui tunjangan
kinerja, tapi juga oleh pengakuan dari pemerintah provinsi karena secara
periodik disebutkan dalam upacara Korpri: tujuh belasan pegawai berprestasi
bulan ini. Dampaknya, mereka saling bersaing untuk menjadi yang terbaik. Kultur
birokrasi yang diciptakan bersama ternyata mampu menjadi faktor yang memotivasi
pegawai dan kohesi organisasi. Pelatihan-pelatihan tematik yang diselenggarakan
di lingkungan Pemerintah Provinsi Gorontalo sangat membantu berkembangnya
kemampuan dan keahlian baru para pegawai serta menyadarkan mereka untuk
berprestasi.
Dalam mengembangkan kapasitas manajemen para pejabat
eselon, saya berfokus pada dua agenda, yaitu mengembangkan orientasi kinerja
dan orientasi kompetisi. Fokus pengembangan kapasitas terletak pada bagaimana
mengeksploitasi kemampuan diri untuk membangun keunggulan bersaing. Dari sini
pegawai di lingkungan Pemerintah Provinsi Gorontalo menjadi lebih giat dalam
memperbaiki prestasi secara berkesinambungan agar mampu merespons setiap
perubahan dan pembaruan. Mereka akhirnya menjadi lebih inovatif.
Pengembangan sumber daya manusia yang saya lakukan di
Gorontalo sebenarnya merupakan suatu eksperimen untuk memetakan orang-orang
berbakat di lingkungan Pemerintah Provinsi Gorontalo. Mengidentifikasi mereka,
mengetahui apa yang mereka inginkan, dan memfasilitasi kebutuhan agar mereka
bisa berkembang optimum. Hal ini saya perlukan agar visi dan misi Pemerintah
Provinsi Gorontalo itu benar-benar bisa diwujudkan.
Tidak terasa, dalam waktu yang relatif singkat, Gorontalo
dapat melakukan percepatan pembangunan yang signifikan. Secara konsisten,
Pemerintah Provinsi Gorontalo, dari 2001 sampai 2008, mengalokasikan anggaran
untuk belanja publik lebih dari 60 persen. Awalnya, Gorontalo hanyalah "halaman belakang" dari
Provinsi Sulawesi Utara. Tapi, dalam tempo delapan tahun, provinsi tersebut
berhasil meningkatkan kualitas hidup rakyatnya yang ditandai dengan, antara
lain, meningkatnya indeks pembangunan manusia Gorontalo. Sementara pada 2002
indeksnya baru 64,19, pada 2008 sudah meningkat menjadi 68,63. Ini semua tidak
bisa dilepaskan dari pembangunan sumber daya manusia yang terencana dengan
menggunakan pendekatan ilmiah yang telah diuji di berbagai tempat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar