|
TEMPO.CO, 30 April 2013
Hiruk-pikuk eksekusi Susno Duadji (mantan Kepala Badan
Reserse Kriminal Polri) di layar televisi bagaikan drama sinetron yang
ditayangkan pada jam-jam prime time. Kisruh, rumit, kacau, tak
luput pula dipertontonkan akrobat jurus-jurus hukum yang digunakan; dan
diberitakan pula adanya ancaman penembakan. Padahal, kalau kita mau kembali
kepada esensi hukum keadilan, masalahnya menjadi sederhana, jelas, dan mudah.
Polemik bak opera sabun itu bermula dari sudut pandang
mengenai sah-tidaknya putusan Mahkamah Agung (MA) terkait dengan kewajiban
memuat ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal tersebut menyatakan: “Surat putusan
pemidanaan memuat perintah supaya
terdakwa ditahan atau tetap
dalam tahanan atau dibebaskan”.
Perintah penahanan dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP sesungguhnya adalah penahanan dalam konteks pemeriksaan perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) KUHAP. Di sisi lain, putusan Mahkamah Agung adalah putusan akhir, dan tidak ada upaya hukum biasa yang dapat membatalkannya. Putusan MA langsung mempunyai kekuatan hukum tetap dan harus segera dilaksanakan.
Sekalipun ada pengajuan upaya hukum peninjauan kembali
(PK), hal ini tidak dapat menghentikan atau menangguhkan pelaksanaan eksekusi,
sebagaimana dinyatakan oleh Pasal 268 ayat (1) KUHAP. Jadi enggak logis atau
melukai nalar kita yang sehat ketika pemeriksaan sidang sudah selesai, dalam
amar putusan MA yang mempidana terdakwa tetap harus dicantumkan perintah agar
terdakwa ditahan.
Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia Nomor
69/PUU-X/2012 tanggal 22 November 2012 atas permohonan pengujian materiil
Undang-Undang, yakni norma yang diatur dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k dan
ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana ini pun menolak untuk frasa perintah supaya terdakwa ditahan atau
tetap dalam tahanan atau dibebaskan dicantumkan dalam putusan MA. Sungguh sangat
ironis, bahwa terdakwa yang sudah dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana lalu
putusannya tidak dapat dieksekusi hanya karena tidak mencantumkan perintah
supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan, yang
sesungguhnya merupakan substansi ikutan dari adanya putusan yang menyatakan
terdakwa bersalah dan penjatuhan pidana terhadapnya.
MK menilai pengertian “ditahan atau tetap dalam tahanan”
yang diatur dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP tidak bisa ditafsirkan
secara tersendiri, tapi juga harus ditafsirkan dengan melihat ketentuan lainnya
dalam KUHAP. Khususnya ketentuan yang mengatur tentang putusan pengadilan.
Karena itu, sebelum menafsirkan pengertian penahanan dalam Pasal 197 ayat (1)
huruf k KUHAP, ada baiknya melihat terlebih dulu ketentuan Pasal 193 KUHAP.
Pasal tersebut membahas tentang putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana
kepada terdakwa dan berada dalam satu bab dan satu bagian dengan Pasal 197 ayat
(1) huruf k KUHAP, yaitu Bab XVI tentang Pemeriksaan di Sidang Pengadilan,
Bagian Keempat tentang Pembuktian dan Putusan dalam Acara Pemeriksaan Biasa.
Hal senada juga dijelaskan dalam Pasal 242 KUHAP.
Dalam Pasal 193 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP tidak
menjadikan kata atau perintah penahanan menjadi suatu syarat mutlak atau suatu
keharusan, melainkan bersifat pilihan, karena merupakan kewenangan hakim untuk
dilaksanakan atau tidak. Untuk jelasnya, mari kita lihat Pasal 193 ayat (1):
Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana
yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana; (2) a.
Pengadilan dalam menjatuhkan putusan, jika terdakwa tidak ditahan, dapat
memerintahkan supaya terdakwa tersebut ditahan, apabila dipenuhi ketentuan
Pasal 21 dan terdapat alasan cukup untuk itu; b. Dalam hal terdakwa ditahan,
pengadilan dalam menjatuhkan putusannya, dapat menetapkan terdakwa tetap ada
dalam tahanan atau membebaskannya, apabila terdapat alasan yang cukup untuk
itu.
Sedangkan dalam putusan di tingkat banding (pengadilan tinggi) diatur dalam Pasal 242 KUHAP yang dapat dimaknai bahwa, apabila terdakwa tidak ditahan oleh pengadilan tingkat pertama, maka dalam putusan pengadilan banding tidak dilakukan penahanan. Namun, apabila terdakwa dalam tahanan, hakim banding dalam putusannya memerintahkan terdakwa perlu tetap ditahan atau dibebaskan. Jadi tetap saja normanya bersifat pilihan.
Putusan MA merupakan putusan akhir yang bersifat final dan
begitu diputuskan langsung mempunyai kekuatan hukum tetap. Dengan adanya
putusan MA, status terdakwa akan berubah menjadi terpidana, sehingga tidak
diperlukan lagi masa penahanan. Setelah menjadi terpidana, pelaku tindak pidana
tidak lagi menyandang status sebagai tahanan, melainkan statusnya berubah
menjadi narapidana. Pelaku yang telah dinyatakan bersalah berdasarkan putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap tidak lagi menjalani masa penahanan,
melainkan menjalani masa pemidanaan atau penghukuman. Karena itu, bila dalam
putusan MA juga harus memuat perintah penahanan, justru akan mengacaukan status
terpidana, apakah ia tahanan atau narapidana.
Hal ini menjadi bukti bahwa perintah penahanan dalam putusan MA (putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap) tidak perlu ada perintah penahanan. Hal ini berbeda dengan putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan negeri maupun pengadilan tinggi yang begitu diputuskan belum langsung mempunyai kekuatan hukum tetap. Perintah penahanan dalam putusan pengadilan negeri maupun pengadilan tinggi masih tetap diperlukan walaupun putusannya menjatuhkan hukuman mati. Perintah penahanan di sini diperlukan untuk kepentingan pemeriksaan.
Putusan MA ini sejatinya tak perlu lagi kita perdebatkan,
dan saya berharap kita semua dapat menghentikan tontonan yang merusak esensi
hukum. Biarkan jaksa melaksanakan tugasnya sebagaimana yang diamanatkan dalam
Pasal 270 KUHAP. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar