Hari-hari ini di Tanah Air kita, Densus 88, sebuah divisi khusus dalam
naungan Kepolisian RI, disorot tajam. Malah banyak yang mendesak agar
divisi itu dibubarkan meskipun jasanya dalam menjamin rasa aman tidak
terkira.
Divisi khusus antiteror ini dinilai berkelebihan dalam menjalankan
fungsi. Sejumlah kasus yang ditanganinya dan menimbulkan efek samping
membuatnya digugat, bahkan semua bakti yang ia persembahkan untuk Ibu
Pertiwi seolah-olah diabaikan begitu saja.
Saya tetap mengagumi, bahkan justru mendambakan satuan khusus ini
kian ditingkatkan. Saya tidak menutup mata atas sejumlah ekses yang
timbul dari pendekatan operasi yang dijalankannya, tetapi manfaat yang
diperoleh tiap warga negara atas kehadirannya harus diberi tempat
tersendiri yang positif.
Pernah ada masa ketika kita saling mencurigai dan dicekam rasa takut.
Tinggal di rumah juga lebih mencekam lagi karena setiap saat bom datang
menjemput ajal kita tanpa kita diberi kesempatan menyampaikan sepatah dua
patah kata kepada anak-anak kita yang tercinta.
Pernah ada era ketika kita terselubungi rasa takut untuk datang ke
kantor, bahkan enggan datang di rumah Tuhan untuk menjalankan ibadah.
Semua itu kita takuti karena faktanya bom bisa meluluhlantakkan siapa
saja, di mana saja, dan kapan saja. Hingga kini pun, rasa waswas dan
serba takut itu masih tersisa.
Berkat Densus 88
Ini fakta empiris, bukan novel fiksi atau film ala Hollywood. Dr
Azhari dan Noordin M Top, dua pentolan teror, pernah selalu membayangi
kita dan menimbulkan mimpi buruk setiap kita tidur. Keduanya telah pergi
dan mimpi buruk itu pelan-pelan mulai tidak mengganggu tidur kita lagi.
Mereka pergi berkat Densus 88. Rasa ketakutan kita perlahan-lahan mulai
surut. Itu karena Densus 88. Segala ekses yang ditimbulkannya, itulah
yang harus diperbaiki.
Ketika kecil di kampung, saya menyaksikan seorang imam masjid
digelandang ke publik karena menilep sumbangan masjid. Imam yang dihukum,
bukan masjid yang dirobohkan. Sejumlah pastor diberi sanksi karena
mencabuli anak-anak. Bukan gereja yang diruntuhkan.
Satuan khusus negara ini memiliki pasukan yang hidup di luar
takaran normal manusia biasa. Sekali meninggalkan rumah, anak dan istri
tidak boleh tahu ke mana ayah dan suami pergi, dan kapan balik.
Berbulan-bulan hidup dalam penyaruan dengan berbagai konsekuensi.
Berbulan-bulan hidup dalam alienasi kehidupan normal dengan sejumlah
harga yang harus dibayar. Mereka acap kali diceraikan istri pada saat
sedang menjalankan tugas negara, mengamankan negeri dan menjamin rasa
aman untuk tiap warga. Itulah potret anggota pasukan Densus 88.
Bagi saya, Densus 88 telah menunaikan tugas negara, menjalankan
misi keamanan dengan cara memburu dan membongkar jaringan teroris di
negeri ini. Densus 88 telah mewakili negara melindungi tiap warga negara.
Bila Densus 88 kita bubarkan, dengan mudah dinujum tiap warga negara akan
mempersenjatai diri dengan cara apa pun demi menjaga dan membela diri.
Demi keselamatan diri, cara apa pun dipakai, termasuk kekerasan
tanpa tepian dan ukuran. Hukum rimba akan berlangsung. Thomas Hobbes
membuktikan kebenaran pikirannya bahwa hidup itu ibarat ikan di laut,
yang besar melahap yang kecil. Bila ini terjadi, negeri ini memiliki
rakyat yang sekaligus menjadi raja sebab semuanya akan menitahkan dan
menasbihkan diri sebagai pemegang lisensi kekerasan demi menyelamatkan
diri.
Postulat Max Weber
Akan terjadi persaingan mempersenjatai diri dan membangun otot
masing-masing yang pada gilirannya akan terjadi tabrakan satu dengan
lainnya. Ramboisme bakal sulit terhindari. Premanisme akan memahkotai
kehidupan kita. Dalam konteks inilah, seyogianya kita tempatkan Densus
88. Ia merepresentasi negara menggunakan kekerasan agar individu tidak
memberi dirinya lisensi tersendiri yang bakal melahirkan kekacauan. Max
Weber memostulatkan, hanyalah negara yang memiliki legitimasi menggunakan
kekerasan.
Densus 88 meneror para penebar teror. Itulah konsekuensi dari
perbuatan mereka. Seseorang yang sedang membawa senjata api saja tanpa
izin adalah pelanggaran di negeri ini. Apalagi, jika ia menggunakan
senjata itu untuk membunuh dan pembunuhan yang dilakukan itu bersifat
masif dan indiskriminatif. Tidak ada satu pun bentuk masyarakat di dunia
ini sekarang yang bisa membenarkan tindakan sepihak dari seseorang atau
sekelompok orang, termasuk di negara yang menggunakan agama sebagai dasar
negara.
Ketika di rumah kita ada kondangan, semua sanak famili berkumpul,
termasuk anak, ponakan, nenek, dan kakek kita. Tiba-tiba seekor macan
datang dengan mulut menganga sembari mengaum. Kita semua pasti dengan
refleks yang tinggi berusaha membunuh sang macan. Kita tak akan pernah
berpikir mencari tahu dari mana asalnya, mengapa ia masuk rumah, dan
jenis macan apa gerangan ia. Macan, ya, macan, mengancam seiisi rumah.
Macan harus dienyahkan.
Setelah macan dienyahkan, barulah kita semua lega dan bisa berpikir
untuk menggeledah apa gerangan yang menjadi biang datangnya sang macan.
Mungkin habitatnya sudah terganggu ulah manusia juga. Atau mungkin,
anaknya dibawa lari lalu ia masuk kampung mencarinya. Begini cara saya
memandang Densus 88 dalam kaitannya dengan aksi teror yang meneror kita
semua setiap waktu.
Pendekatan represif jauh dari memadai untuk menangani masalah
terorisme. Itu sangat valid. Membunuh dan memburu para pelaku teror tidak
cukup. Itu juga sangat sah. Akar masalah terorisme memang amat banyak,
termasuk soal kekeliruan dalam memahami prinsip agama. Masalah
ketidakadilan politik, sosial, dan ekonomi juga mempunyai pengaruh.
Maka, kita semua harus bahu-membahu untuk itu. Para dai, juru
dakwah, atau lembaga yang bergerak di bidang keagamaan memiliki tanggung
jawab lebih besar mengubah cara berpikir mereka. Ajaran agama yang selama
ini mereka pakai sebagai dalih untuk menebar teror perlu diluruskan.
Karena itu, tatkala ada keinginan membubarkan Densus 88 dalam
kondisi seperti sekarang, saya hanya bisa berkata, ”Wait a minute. No way, man.” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar