|
KOMPAS, 29 April 2013
Perlambatan
ekonomi Indonesia tampaknya tak bisa dihindari. Beberapa indikator mulai
mengarah ke sana. Impor barang modal terus turun. Pada Oktober 2012, impor
barang modal (capital goods) masih 3,3 miliar dollar AS. Pelan tapi pasti
angkanya susut menjadi 3,26 miliar dollar AS (November), 3,01 miliar dollar AS
(Desember 2012), 2,63 miliar dollar AS (Januari 2013), dan 2,56 miliar dollar
AS (Februari 2013). Penurunan impor positif jika itu terjadi pada impor barang
konsumsi. Namun, negatif jika pada impor barang modal.
Sebabnya,
barang modal (mesin-mesin) diimpor untuk memperbesar kapasitas produksi. Jadi,
jika impor barang modal berkurang, kemampuan produksi industri juga melambat.
Karena itu, benar yang dikatakan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal M
Chatib Basri bahwa penurunan ini akan berdampak pada melemahnya investasi pada
beberapa bulan mendatang. Selanjutnya, pertumbuhan ekonomi bakal melambat pada
tahun ini.
Tanda
perlambatan juga tecermin dari kinerja industri perbankan pada triwulan I-2013.
Penghimpunan dana masyarakat atau pihak ketiga (DPK) cenderung stagnan.
Rendahnya suku bunga simpanan diduga menyebabkan dana mengalir dari bank ke
pasar modal. Inilah salah satu faktor yang bisa menjelaskan kenapa IHSG kita
menembus level psikologis baru, 5.000. Padahal, tidak ada perubahan signifikan
pada kinerja emiten ataupun perekonomian Indonesia.
Jadi,
tidak selamanya penurunan suku bunga bank akan berdampak positif menaikkan
konsumsi dan gairah investasi. Di titik tertentu, para penabung akan jenuh dan
memilih portofolio investasi di lahan lain yang menjanjikan imbal hasil yang
lebih tinggi. Kejadian ini dialami AS pada dasawarsa 1990-an. Keberhasilan
Gubernur Bank Sentral Alan Greenspan menurunkan suku bunga memicu migrasi dana
dari perbankan komersial ke pasar modal. Akibatnya, harga saham dan surat
berharga naik dramatis, yang kemudian menimbulkan ”gelembung” finansial.
Investor tidak cuma memburu saham bagus, tetapi obligasi yang kurang bagus pun
(junk bonds) laris. Siklus
berikutnya, ada gelembung yang membesar. Gelembung ini akhirnya meletus pada
September 2008 dalam peristiwa subprime mortgage.
Di
Indonesia, koreksi kecil-kecil bisa terjadi tanpa harus menyebabkan krisis atau
krisis mini. Koreksi bisa terjadi di sektor moneter dan riil. Dari sektor riil,
kemungkinan besar pemerintah akan menaikkan harga BBM bersubsidi pada Mei 2013.
Asumsinya, pada Juni, Juli, dan Agustus lebih rawan inflasi karena ada liburan
sekolah, puasa, dan Lebaran. Apa pun skema yang ditempuh, menerapkan dua harga
BBM (harga untuk mobil pribadi dan sepeda motor serta angkutan umum) ataukah
hanya satu harga BBM, semuanya berisiko inflasi.
Kenaikan
harga BBM bersubsidi berpotensi mendorong inflasi sekitar 1 persen. Ini
perkiraan moderat. Secara ekonomi teknis, tambahan inflasi bisa ditekan di
bawah 1 persen. Namun, agak sulit mengisolasi sentimen negatif dari kenaikan
harga BBM. Ada potensi pelaku ekonomi berusaha menaikkan harga produknya di
atas kalkulasi teknis. Inflasi bisa menjadi lebih tinggi.
Taruhlah
ekspektasi inflasi 2013 menjadi 6,5 persen, maka BI Rate akan 6,75 persen.
Target pertumbuhan kredit industri perbankan bakal terkoreksi. Namun, BI masih
berharap kredit perbankan akan tumbuh 20 persen hingga akhir tahun ini.
Pertumbuhan kredit 20 persen bisa mendukung pertumbuhan ekonomi 6-6,2 persen.
Meski
tahun 2013 baru empat bulan, secara realistis pertumbuhan ekonomi Indonesia
tidak akan mungkin 6,8 persen sesuai target awal pemerintah, atau 6,5 persen
seperti proyeksi BI. Pertumbuhan 6-6,2 persen merupakan proyeksi terbaru yang
paling rasional. Kini saatnya mengambil posisi bahwa pertumbuhan ekonomi
melambat tidak apa-apa asal diikuti dengan kualitas perekonomian yang membaik.
Sebagai
ilustrasi, China juga sedang menghadapi substansi masalah serupa. Pertumbuhan
ekonomi triwulan I-2013 cuma 7,7 persen. Ekspektasi terbaru pertumbuhan ekonomi
2013 maksimal 8 persen. hal itu rendah untuk ukuran mereka. China cenderung
ingin mengerem ekonominya, yang penting efisien dan menyerap tenaga kerja. Ini
kematangan sebuah perekonomian. Jika hukum ini diingkari, dikhawatirkan malah
menyulut inflasi besar (The Economist, 20-26 April 2013). Inflasi China kini
4,3 persen dan tingkat pengangguran 4,1 persen. Tahun 2010, pengangguran masih
9 persen.
Indonesia
juga di persimpangan jalan seperti ini. Pertumbuhan ekonomi cenderung stagnan.
Tahun lalu 6,23 persen, tahun ini mungkin 6,2 persen. Namun, pertumbuhan
ekonomi tahun lalu sebenarnya ”ditolong” oleh inflasi 4,3 persen. Inflasi rendah
ini tidak murni karena ditopang subsidi energi Rp 300 triliun dari APBN 2012.
Situasi
ini tidak sehat dan tidak boleh dilanjutkan. Subsidi mengalami misalokasi
sehingga tidak efisien dan tidak berkeadilan. Karena itu, demi mengejar
kualitas fiskal yang lebih baik, momentum akselerasi pertumbuhan ekonomi tinggi
harus sedikit dilonggarkan. Tidak ada gunanya berkorban subsidi BBM diberikan
besar-besaran hanya untuk mengejar inflasi 4,5 persen dan pertumbuhan ekonomi
6,5 persen. Lebih baik sedikit berkorban inflasi 6,5 persen dan pertumbuhan
ekonomi 6,2 persen, tetapi kualitas fiskal terjaga, berkelanjutan, dan
menumbuhkan kepercayaan para investor.
Hasil
penghematan subsidi energi bisa dialokasikan ke stimulus fiskal yang produktif
dan menjanjikan angka pengganda (multiplier effect) yang besar, seperti
infrastruktur. Pembangunan jalan tol sepanjang 12 kilometer di atas laut di
Bali, misalnya, sungguh mengesankan. Biayanya hanya Rp 2,5 triliun. Ini
mendemonstrasikan betapa efisien dan produktifnya investasi ini kelak.
Ditambah
revitalisasi Bandara Ngurah Rai, memberikan dorongan keyakinan bahwa masih
banyak hal kreatif yang bisa dilakukan bangsa ini untuk menyiasati
perekonomiannya. Di tengah kepenatan ekonomi saat ini, masih ada asa yang
tersisa sepanjang kita mau bekerja keras dan kaya kreativitas. Bukan cuma bisa
mengeluh dan minta dikasihani. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar