|
KOMPAS, 30 April 2013
Pemerintah
saat ini gagal dalam mengantisipasi krisis bahan bakar.
Ketika
Indonesia mengalami puncak kedua produksi minyak 1995, indikasi kita akan
memasuki era krisis minyak seharusnya sudah disadari. Sayangnya, beberapa
dekade ini kita tak punya kebijakan pengelolaan energi strategis yang
komprehensif.
Kini,
masyarakat tersandera harga bahan bakar minyak (BBM) yang jauh lebih rendah
dari harga keekonomiannya di tengah harga barang dan jasa lain yang terus
meningkat. Masyarakat kurang diedukasi mengenai bahaya laten yang mengancam
perekonomian dan keuangan negara, sementara subsidi tak tepat sasaran.
Harga
BBM bersubsidi yang murah lebih banyak dinikmati pemilik kendaraan pribadi,
terutama mobil. Pemakaian Premium hampir seluruhnya (99,76 persen) oleh
kendaraan transportasi darat. Dari jumlah itu, 45 persen digunakan kendaraan
pribadi mobil, 40 persen sepeda motor, dan sisanya kendaraan komersial. Adapun
bahan bakar jenis solar terbesar digunakan truk angkutan barang.
Dengan
pemakaian Premium sekitar 100-200 liter per bulan, kelompok rumah tangga
pemilik mobil mendapatkan manfaat Rp 500.000-Rp 1 juta per bulan. Jika separuh
dari kelas menengah kita yang 140 juta jiwa (sekitar 35 juta keluarga) bermobil
menggunakan Premium, subsidi untuk mereka Rp 8,75 triliun per bulan. Rumah
tangga pemilik sepeda motor dengan pemakaian 20 liter Premium per bulan
mendapatkan manfaat Rp 100.000 per bulan. Adapun rumah tangga tanpa mobil dan
sepeda motor menerima manfaat tak langsung dari harga transportasi dan harga
lain sekitar Rp 10.000 per bulan.
Lebih
Berkeadilan
Kondisi
inilah yang harus menjadi pertimbangan pemerintah untuk mengalokasikan BBM
bersubsidi lebih berkeadilan. Hasil survei berkala Litbang Kompas dua tahun
terakhir menunjukkan, kelompok pemilik mobil, kalangan menengah ke atas, dan
berpendidikan tinggi mendukung kebijakan pemerintah mengurangi subsidi BBM.
Namun, menaikkan harga BBM bersubsidi bukan opsi yang sepenuhnya diinginkan
publik.
Sejak
tahun lalu, beberapa alternatif mengatasi pembengkakan subsidi BBM sudah
diwacanakan pemerintah. Alternatif itu selain menaikkan harga juga membatasi
volume pembelian Premium pada kendaraan pribadi, pengalihan Premium oleh
kendaraan pribadi ke Pertamax dan bahan bakar gas. Juga pengalihan pemakaian
Premium pada kendaraan umum ke BBG atau Premium hanya untuk sepeda motor dan
angkutan umum.
Yang
banyak mendapatkan dukungan responden di 12 kota yang disurvei adalah opsi
Premium diperuntukkan hanya untuk sepeda motor dan angkutan umum. Tahun 2012,
opsi ini disetujui 61,3 persen responden dan tahun ini disetujui 66,4 persen.
Sayangnya, mekanisme pelaksanaan opsi ini belum jelas dan belum bisa
diterapkan.
Opsi
kenaikan harga merupakan opsi terakhir yang disetujui responden. Hampir seluruh
responden (2012: 93,4 persen; 2013: 95 persen) khawatir kenaikan harga BBM
bersubsidi akan mendongkrak inflasi. Hanya saja, jika opsi kenaikan harga BBM
dianggap lebih realistis, mayoritas responden berpendapat sebaiknya bertahap
(2012: 84,7 persen; 2013: 82,5 persen). Kenaikan harga yang ditoleransi Rp
500-Rp 2.000 per liter.
Pertimbangan
Waktu
Opsi
menaikkan harga BBM tahun lalu lebih banyak didukung responden daripada jika
dilakukan tahun ini. Agaknya responden memahami kondisi makroekonomi tahun lalu
lebih baik dari saat ini. Tahun ini, meski pertumbuhan tetap tinggi (konsisten
di atas 6 persen), bayangan inflasi tinggi menghantui sejak awal tahun. Karena
itu, kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi harus mempertimbangkan waktu yang
tepat.
Tingkat inflasi Januari-Maret 2013 mencapai 2,43 persen. Hal ini
mengindikasikan target inflasi 4,9 persen dalam APBN akan terlampaui.
Berdasarkan data historis, puncak inflasi biasanya terjadi Juni-September
dengan besaran 2,4 persen per bulan. Inflasi itu dipicu pengeluaran masyarakat
terkait biaya liburan dan masuk sekolah tengah tahun serta belanja keperluan
puasa dan hari raya.
Pil
pahit untuk mengobati perekonomian yang sakit tetap harus ditelan. Ke depannya,
tantangan perekonomian akan semakin berat. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan
menciptakan permintaan bahan bakar yang juga tinggi. Sementara, suplai domestik
cenderung menurun dan impor pun akan sulit karena kita berebut dengan China,
India, AS, dan negara-negara Eropa Barat untuk mendapatkan minyak. Situasi itu
akan terjadi di tengah kecenderungan harga minyak mentah dunia yang kian
tinggi.
Ancaman
inflasi tinggi tetap ada. Jika pemerintah tegas menaikkan harga BBM bersubsidi,
diperkirakan sumbangan inflasi 0,7-1,2 persen. Namun, kita punya sejarah saat
inflasi mencapai 11,06 persen pada 2008 pertumbuhan ekonomi masih 6 persen.
Begitu juga pada 2010. Syaratnya, pemerintah harus menjaga instrumen fiskal dan
moneter tetap baik dan menyediakan instrumen proteksi sosial yang tepat bagi
masyarakat yang membutuhkan, seperti kelompok miskin, petani, nelayan, serta
usaha mikro dan kecil. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar