|
REPUBLIKA, 29 April 2013
Menyambut
May Day, Menko Perekonomian Hatta
Rajasa mengungkapkan bahwa demonstrasi diperbolehkan, asalkan tidak mengganggu
produksi perusahaan dan jalan saat jam kerja. Pernyataan Hatta ini harus dibaca
sebagai sindiran sekaligus teguran bagi buruh. Sebab, aksi-aksi demonstrasi
yang dilakukan setiap 1 Mei lebih terlihat sebagai kegiatan rutin "pemutus
kewajiban" ketimbang sebagai sikap protes yang perlu penanganan serius.
Kalimat
Hatta tidak berasal dari data fiktif, sebab setiap 1 Mei jalan-jalan di jantung
Kota Jakarta mengalami kemacetan melebihi hari-hari biasa dan aksi-aksi
demonstrasi sudah sering meng undang kritik masyarakat. Karena itu, tanpa
mengurangi rasa hormat terhadap berbagai masalah yang dihadapi buruh, sudah
saatnya buruh melakukan reformulasi model aksi dengan meli- batkan publik di
dalamnya.
Publik
yang dimaksud adalah masyarakat umum yang tidak terlibat dalam unjuk rasa,
tetapi merasakan dampak dari demonstrasi. Publik adalah mereka yang memiliki
sejumlah kegiatan, tapi terhalang oleh demonstrasi. Area yang biasanya
digunakan publik beralih fungsi menjadi panggung demonstran, akibatnya
aktivitas publik terganggu.
Coba
lakukan survei kecil-kecilan kepada pengendara, pengemudi, atau penumpang
angkutan umum di Jakarta, bagaimana pendapat mereka terhadap demonstrasi yang
menggunakan jalan sebagai tempat aksi. Umumnya kecewa, bahkan tidak sedikit
yang marah, karena aktivitas mereka menjadi terhambat.
Lakukan survei yang sama terhadap demonstran yang menggunakan fasilitas umum sebagai tempat menyatakan pendapat. Di antara alasan yang mereka ungkapkan, salah satunya adalah agar protes mereka didengar maka perlu menggunakan jalan raya sebagai media penyampai pesan. Argumen ini tak lepas dari pendapat bahwa kemacetan harus diciptakan agar dampaknya dirasakan publik dan dengan demikian muncul dukungan. Sayangnya, dugaan tersebut sering meleset.
Lakukan survei yang sama terhadap demonstran yang menggunakan fasilitas umum sebagai tempat menyatakan pendapat. Di antara alasan yang mereka ungkapkan, salah satunya adalah agar protes mereka didengar maka perlu menggunakan jalan raya sebagai media penyampai pesan. Argumen ini tak lepas dari pendapat bahwa kemacetan harus diciptakan agar dampaknya dirasakan publik dan dengan demikian muncul dukungan. Sayangnya, dugaan tersebut sering meleset.
Demonstrasi
bagi sejumlah pengguna jalan di Jakarta adalah gangguan lalu lintas, kepadatan
jalan, dan tersendatnya laju kendaraan. Keluhan ini harus menjadi perhatian
para demonstran, sebab dalam prinsip demonstrasi, semakin banyak khalayak yang
terpengaruh dengan isu atau tuntutan yang diusung oleh demonstran, maka semakin
baik demonstrasi tersebut. Ini artinya kepedulian terhadap suatu masalah
bisa ditularkan menjadi masalah kolektif. Untuk itu, pelibatan masyarakat
sebagai aktor demonstrasi mutlak diperlukan. Memisahkan diri dengan publik akan
berdampak buruk bagi demonstran dan dalam jangka panjang hal ini berimplikasi
negatif bagi demokrasi. Sebab, demokrasi menjadikan demonstrasi sebagai salah
satu alat mencapai kesempurnaannya.
Demokrasi
mensyaratkan sikap terbuka, menerima kritik dan masukan, serta menjunjung
penghormatan terhadap semua lapisan masyarakat. Demokrasi berkehendak agar
suara sekecil apa pun bisa didengar. Jika demonstrasi dan publik berlawanan,
maka niat dan keinginan menyampaikan pendapat atau protes tidak akan berjalan
lancar.
Padahal
sebagai penganut demokrasi, Indonesia juga melindungi suara demonstran.
Demonstrasi di negara kita bukan peristiwa baru. Intensitasnya meningkat sejak
reformasi digulirkan. Bahkan, demonstrasi dibekingi dengan peraturan
perundang-undangan agar siapa pun termasuk penegak hukum tidak dapat
melarangnya tanpa alasan yang jelas.
Demonstrasi
diatur guna memberi kepastian dan keamanan bagi pengunjuk rasa. UU Nomor 9
Tahun 1998 Pasal 4 menyebutkan bahwa tujuan pengaturan ten tang kemerdekaan
menyampaikan pendapat di muka umum adalah: (a) mewujudkan kebebasan yang bertanggung jawab sebagai salah satu pelaksanaan hak
asasi manusia sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; (b)
mewujudkan perlindungan hukum yang konsisten dan berkesinambungan dalam
menjamin kemerdekaan menyampaikan pendapat; (c) mewujudkan iklim yang konduksif
bagi berkembangnya partisipasi dan kreativitas setiap warga negara sebagai
perwujudan hak dan tanggung jawab dalam kehidupan berdemokrasi; (d) menempatkan
tang gung jawab sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,
tanpa mengabaikan kepentingan perorangan atau kelompok.
Perlindungan
terhadap demonstrasi diberikan sebelum, saat, dan sesudah dilakukannya. Karena
itu, muatan demonstrasi harus mencerminkan kesungguhan bukan sekadar kerumunan.
Demonstrasi merupakan salah satu cara untuk mengekspresikan kekecewaaan atau
penolakan terhadap suatu kebijakan yang tidak disukai atau disetujui oleh sejumlah
masyarakat. Demonstrasi juga alat penyampai pesan atau tuntutan terhadap suatu
masalah kepada pihak-pihak atau instansi tertentu yang terlibat dengan masalah
yang dituntut oleh para demonstran. Demonstrasi umumnya melibatkan massa dalam
jumlah yang besar, meskipun demonstrasi bisa juga dilakukan sendiri-sendiri.
Harus
diakui bahwa demonstrasi dari massa ke massa mengalami perbaikan dari sisi cara
dan perilaku. Meski pun, cara-cara liar dalam mengungkapkan suatu ma salah masih
juga kita jumpai. Di daerah-daerah (luar Jakarta) sering terjadi bentrok antara
demonstran dan polisi. Hal ini bisa jadi karena sensitivitas instansi yang
dituju kurang responsif terhadap tuntutan demonstran, atau tingkat kecerdasan
demonstrannya kurang memadai untuk menuntut atau menyampaikan suatu masalah
sehingga pendekatan fisik didahulukan dari dialog. Bisa juga aparat kurang
sabar menghadapi demonstran sehingga bentrokan tidak bisa dihindari.
Untuk
meminimalisasi segala kemungkinan, sudah saatnya demonstrasi melibatkan publik,
dalam arti memberi kelancaran bagi aktivitas publik sambil mengajak mereka
untuk berpartisipasi. Sinergi antara demonstran dan publik harus dilakukan agar
kepedulian terhadap tuntutan (masalah) yang diperjuangkan demonstran didukung
oleh publik. Publik harus menjadi mitra strategis bagi demonstran. Keterlibatan
publik tidak sebatas sebagai penonton, tapi juga sebagai aktor dalam lakon yang
sedang diperagakan demonstran. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar