|
MEDIA INDONESIA, 26 April 2013
Drama koruptor besar merebak di sejumlah
partai politik, merusak suasana kehidupan politik dan berimbas ke citra
lembaga-lembaga eksekutif, yudikatif, dan terutama lembaga legislatif. Apakah
karena penegakan hukum lemah atau moral segolongan politisi yang perlu
dipertanyakan? Maka kita berharap 1-2 tahun ke depan menjadi masa pembersihan
dengan cara menjaring tokoh-tokoh bersih dan berkemampuan untuk ketiga lembaga
tersebut.
Situasi karut-marut memang perlu diubah. Yang diharapkan
membawa perubahan tentunya kalangan politisi. Komentar seorang pengamat, jangan
malahan politisi bersikap seperti usaha asuransi yang hanya cermat memunguti,
tetapi terkesan tak rela memberi ketika dibutuhkan.
Karena partai-partai politik menjadi sarana penting untuk
menciptakan pemerintahan demokratis, sarjana-sarjana kemasyarakatan beranggapan
partai-partai politik perlu selalu diamati dan diawasi semua pihak, termasuk
oleh kalangan politisi sendiri. Dengan demikian, para pemimpin dan kader
masing-masing akan menjalankan fungsi dengan hati nurani.
Sikap para pemimpin perlu terus-menerus dievaluasi;
meliputi tentang bagaimana para pemimpin itu mengambil keputusan, bagaimana
para kader direkrut dan apa latar belakang mereka, serta dari mana sumber dana
individu maupun partai; begitu juga kecenderungan sikap partai dalam kebijakan
politik dan ekonomi maupun falsafah bangsa yang akan berpengaruh terhadap
kebijaksanaan dalam hal agama, kesukuan/ etnik, dan ekonomi.
Untuk masyarakat yang meyakini pluralisme, ada kesadaran
bahwa dalam proses politik terdapat give and take yang mewajibkan kalangan
politisi bersedia memberi kelonggaran kepada pihak lain, tanpa mengorbankan
prinsip-prinsip dasar yang mereka taati. Untuk itu, diperlukan politisi yang
tidak hanya berkemampuan, tetapi juga berhati nurani dan bijak dalam tindakan.
Menghindari
Kegagalan
Hidup-matinya suatu ideologi bergantung pada kemampuan
kalangan politisi untuk membaca suasana; selain keberanian mereka untuk
menerobos tentangan dan menghadapi tantangan. Untuk itulah diperlukan jajaran
pemimpin yang bisa menginterpretasikan sejarah supaya program yang dijalankan
sesuai dengan kepercayaan dan tradisi masyarakat. Identitas program yang jelas
mungkin kedengaran tidak praktis dan terlalu idealistis, apalagi bila program
semacam itu membutuhkan gerakan perubahan yang bisa mengganggu keselarasan kebiasaan
yang ada.
Why Nations Fail (1912), buku yang ditulis bersama oleh Prof Daron Acemoglu
dan Prof James A Robinson, masing-masing ahli ekonomi dari MIT dan ahli
pemerintahan dari Universitas Harvard, menegaskan bahwa yang menjadi akar
ketidakpuasan masyarakat terutama masalah kemiskinan. Karya tulis itu disusun
berdasarkan riset 15 tahun dengan mengadakan studi komparatif kesejahteraan di
antara berbagai negara. Kesimpulannya antara lain: kegagalan suatu negara pada
dasarnya disebabkan sehat-tidaknya institusi-institusi yang ada di negara
tersebut, yang pengelolaannya dipimpin orang-orang dari kalangan politisi
sendiri, atau orang-orang yang mereka pilih dan/atau tentukan.
Institusi-institusi itulah yang memungkinkan bergulirnya
pembaruan, perluasan ekonomi, kesejahteraan yang meluas, dan ketertiban yang
damai. Siapa yang memelopori gerakan tersebut?
Sesuai dengan fungsi dan kesempatannya, siapa lagi kalau bukan kalangan politisi.
Sesuai dengan fungsi dan kesempatannya, siapa lagi kalau bukan kalangan politisi.
Politisi
Menentukan
Selama ini ada asumsi-asumsi yang kebenarannya dipertanyakan
kedua penulis. Salah satunya berkisar pada dalih bahwa yang menentukan tinggi-rendahnya
kesejahteraan rakyat suatu negara ialah letak geografisnya. Bahkan sejak ak hir
abad ke-18, ahli falsafah politik Prancis Montesquieu mengutarakan masyarakat
yang tinggal di ne gara-negara tropis cenderung malas dan tidak memiliki rasa
ingin tahu. Mungkin karena kemudahan hidup di negara tropis. Sebaliknya,
masyarakat yang hidup di negara empat musim tidak menjadi miskin karena mereka
harus bekerja dan berpikir lebih keras demi kelangsungan hidup. Kedua penulis
membantah hipotesis itu karena kesejahteraan Singapura, Malaysia, dan Botswana
sepadan dengan kesejahteraan rakyat yang tinggal di negara-negara empat musim.
Dalih bahwa kultur yang menentukan juga mereka pertanyakan.
Sosiolog terkemuka Jerman, Max Weber, berargumentasi bahwa reformasi Protestan,
dan etika Protestan sebagai kelanjutannya, telah memainkan peran penting bagi
kebangkitan masyarakat industri di Eropa Barat. Namun, agama kemudian bukan
lagi satu-satunya yang disebut kultur, melainkan juga keyakin an-keyakinan,
nilai-nilai, dan etika lain.
Asumsi yang juga banyak dipercaya, khususnya oleh ahli-ahli
ekonomi, ialah para penguasa di negara-negara miskin tidak tahu cara membuat
negara mereka kaya. Ketidaktahuan sering menjadi kambing hitam untuk salah urus
perekonomian di suatu negara. Akibatnya, mereka sering diberi petunjuk atau
saran oleh lembaga-lembaga keuangan dunia tentang cara melakukannya. Padahal,
menurut dua penulis itu, yang diperlukan bukan itu, melainkan mengubah jenis
insentif ataupun pembatasan-pembatasan oleh institusi-institusi politik dan
ekonomi.
Kesimpulannya, terjadi ketimpangan antara negara-negara
kaya dan miskin karena ada perbedaan pengorganisasian berbagai institusi.
Pengorganisasian yang efisien akan memajukan kesejahteraan, yang tidak efisien
akan menjatuhkannya. Dengan kata lain, institusi-institusilah yang menentukan,
sedangkan mereka ada dalam lingkup pengelolaan kalangan politisi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar