Kewajiban tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL)
tidaklah sama dengan konsep corporate
social responsibility (CSR). Pernyataan ini, yang ditulis aktivis
Lingkar Studi CSR, Jalal, di Koran Tempo ("Tak Perlu Bingung Ihwal CSR", Jumat, 19 April
2013) sebagai tanggapan atas artikel saya ("Bingung Ihwal Tanggung Jawab Sosial Perusahaan",
Rabu, 17 April 2013), sebagian benar dan selebihnya menambah keruh duduk
persoalan.
Benar bahwa salah satu substansi konsep (dan komitmen
serta implementasi) CSR adalah keberlanjutan. Betul belaka TJSL
sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas, yang penjabarannya dituangkan lewat Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan (TJSL) Perseroan Terbatas, tampaknya sangat diwarnai tujuan
terbangunnya hubungan harmonis antara dunia usaha dan pemangku
kepentingannya.
Namun, apakah definisi dan tafsir "tanggung
jawab sosial" dalam TJSL perusahaan di Indonesia sama sekali berbeda
dengan "tanggung jawab sosial" sesuai dengan konsep CSR? Di
manakah orang banyak yang awam dan kebingungan merujuk definisi yang
dikandung TJSL kalau bukan, misalnya, dari ISO 26000 Guidance on Social
Responsibility dan aneka definisi lain yang sejalan? Faktanya, UU Nomor
40/2007 dan PP Nomor 47/2012 memang ditafsir dan identik sebagai
kewajiban CSR di Indonesia.
Menyimpulkan TJSL bukan CSR karena titik-beratnya
pada hubungan harmonis antara dunia usaha dan pemangku kepentingannya
adalah pikiran semena-mena. Jalal mengabaikan maklumatnya sendiri bahwa
TJSL terkait dengan undang-undang, peraturan pemerintah, dan
aturan-aturan hukum lainnya (misalnya UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup) yang secara substansial
mengandung ide dan tuntutan keberlanjutan.
Sama halnya dengan mengikuti panduan ISO26000,
tidaklah dengan memilah-milah seolah tiap bagian dari aspek yang
dijabarkan berdiri sendiri. ISO 26000 harus dipahami dan dipraktekkan
secara holistik. Bahkan, jauh sebelum ISO 26000 dipublikasikan, pelaporan
sosial dan lingkungan (atau keberlanjutan) yang menggunakan panduan Global Reporting Initiative (GRI)
sudah mencakup hampir semua aspek fundamental yang dilingkupi definisi
tanggung jawab sosial. Simpulan Jalal, yang barangkali hanya membaca
sepintas apa yang saya tulis, menunjukkan ketidakcermatan dan
ambiguitasnya.
Salah satu bukti adalah nafsu mengoreksinya yang
berlebihan. "ISO providing
guideline for social responsibility" adalah kalimat yang merujuk
pada ISO 26000 Guidance On Social
Responsibility (ini adalah kebingungan lain yang penyumbang
terbesarnya datang dari Google). Demikian pula dengan GRI Sustainability Reporting Guideline
yang tak lain GRI Guideline Report
bagi para penggunanya (saya menuliskan "guideline" yang
tampaknya berubah menjadi "guide line" dalam proses editing di
Koran Tempo).
Tetapi saya tak hendak memperdebatkan hal-hal teknis
sepele yang jauh dari substansi. Apalagi pedoman atau panduan tanggung
jawab sosial, khususnya bagi dunia usaha, bukanlah hanya ISO 26000. Pula,
penggunaan GRI Sustainability
Reporting Guideline harus dimaterialkan dengan panduan AccountAbility (AA) 1000. Mengurai
isu yang jadi musabab, mari kita runut kembali pangkal sengkarut
kebingungan ini dengan menengok tulisan Jalal, "CSR untuk Pembangunan Jakarta" (Koran Tempo,
Selasa, 2 April 2013), yang saya gunakan sebagai contoh penyederhanaan
sangat berbahaya terhadap konsep CSR.
Definisi apa yang ia gunakan untuk mendedah dan
membedah upaya Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) melibatkan
tanggung jawab sosial kalangan dunia dalam pembangunan kota? Kalau CSR
dalam artian komitmen dan praktek etis, simpulannya sederhana: Apa yang
dipraktekkan Jokowi sekadar community
development (comdev), donasi, dan sponsorship. Tiga aspek itu benar
bagian dari CSR, tetapi bukan CSR itu sendiri, terlebih jaminan
keberlanjutannya masih tanda tanya besar.
Saya dapat memastikan CSR tafsir Jokowi mudah
tergelincir sekadar jadi proyek tahunan, apalagi Jalal mengusulkan
paparan programnya dipas-paskan dengan waktu penyusunan anggaran di
kalangan dunia usaha. Praktek seperti ini adalah reduksi dan pengecilan
CSR, yang khusus di Indonesia telah diidentifikasi penggiatnya dalam
daftar yang kian panjang.
Lalu, di antara gempita puja-puji dan samar-samar
niat mengkritik CSR gaya Jokowi, terselip salut pada pernyataan pemberian
insentif terhadap perusahaan yang berkontribusi dalam bentuk kemudahan
perizinan. Jalal menulis, "Hal
ini tidak hanya sejalan dengan PP TJSL, tapi juga menunjukkan pemahaman
atas sisi lain dari tanggung jawab, yaitu hak, sebagaimana tergambar
dalam konsep corporate citizenship." Di mana konsistensi TJSL
bukanlah CSR?
Semestinya komitmen dan implementasi CSR ditakar
dengan timbangan yang sejalan, begitu juga TJSL. CSR adalah beyond regulation, maka
insentifnya pun harus bersifat sama. TJSL adalah kewajiban sesuai dengan
regulasi, dengan demikian insentifnya mesti pula dituangkan dalam bentuk
yang tak beda demi ketatalaksanaan dan tertib administrasi.
Menumpuk satu teori di atas teori yang lain lalu
dipaksakan menafsir dan menilai dua praktek yang secara substansial dianggap
berbeda adalah sikap ambigu yang membingungkan siapa pun. Pertanyaannya: pencerahan macam apa yang sedang
digiatkan oleh mereka-mereka yang "merasa" sebagai pemikir dan
praktisi CSR atau TJSL di Indonesia?
Lagi pula, sebagai negara yang masih berjibaku
menjaring investasi dan menumbuhkan kewirausahaan demi pertumbuhan
ekonomi, lepas dari apakah kalangan bisnis berkomitmen dan
mengimplementasikan CSR yang beyond regulation atau patuh terhadap TJSL
sesuai dengan UU Nomor 40/2007 serta PP Nomor 47/2012, insentif menjadi
keniscayaan. Insentif adalah kewajiban pemerintah, bukan penyedap CSR,
yang akhirnya malah jadi bentuk reduksi yang lain.
Ketidakberanian mengoreksi, mengkritik,
bahkan mencela komitmen dan implementasi CSR, termasuk meluruskan Jokowi
yang tengah jadi "media
darling" dan sorotan orang senegeri dalam soal untuk pembangunan
Jakarta, sama sekali tak menolong peletakan konsep luhur ini pada nilai
hakikinya. Dengan kata lain, satu saat, bila pemerintah DKI Jakarta
mempublikasikan Laporan Keberlanjutan (sebagaimana kota-kota maju semisal
Amsterdam), kita bersuka mendorong dan membiarkan isinya cuma aneka
reduksi. Dan untuk soal ini, laporan dan publikasi dunia usaha di
Indonesia sudah meruah, memperparah kebingungan khalayak, dan kian tak berguna
sebagai indikator penakar komitmen dan praktek etis tanggung jawab
sosialnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar