|
KOMPAS, 29 April 2013
Setelah
Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN di Brunei pekan ini, tak banyak yang bisa
diharapkan untuk menghasilkan terobosan terkait berbagai persoalan, mulai dari
klaim tumpang tindih kedaulatan di Laut China Selatan sampai rumusan konkret
menata Komunitas ASEAN 2015 yang akan ditopang oleh pilar komunitas politik dan
keamanan, ekonomi, serta sosial-budaya.
Hal
ini mungkin karena tuan rumah adalah Brunei, anggota terkecil ASEAN. Berbeda
dengan Kamboja, tuan rumah sebelumnya, yang berhasil memorakporandakan tradisi
ASEAN menghasilkan komunike bersama akibat tekanan dan pengaruh China, tetangga
di utara yang bermanuver untuk berbagai kepentingan. Atau ini juga disebabkan ”politik mangkok bakmi” kalau kita
melihat betapa ruwet dan kusutnya berbagai perjanjian perdagangan bebas yang
harus ditangani organisasi ini.
Komunitas
ASEAN yang harus dicapai tahun 2015 memang bukan sesuatu yang sederhana di
tengah persoalan global yang semakin rumit, terutama resesi dunia akibat krisis
keuangan yang berkepanjangan sejak tahun 2008. ”Politik mangkok bakmi” ASEAN akan menjadi pertaruhan untuk
menguasai masa depan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sosial masyarakat.
Kehadiran
Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) ASEAN jelas menunjukkan
alternatif atas Kemitraan Trans-Pasifik (TPP) yang dimotori Amerika Serikat.
Berbagai mekanisme perdagangan multilateral menuju pasar dan perdagangan bebas,
mengabaikan Kawasan Perdagangan Bebas Asia Pasifik (FTAAP) bentukan APEC,
menandakan bagaimana regionalsime, multilateralisme, dan globalisme berubah
drastis.
Perubahan
ini menandakan adanya lanskap pasar multipolar yang ditopang perbedaan sistem
ekonomi, sosial, dan politik. Para politisi, termasuk di Indonesia, bersama
dengan berbagai perusahaan di setiap negara mencari serta menguasai tempatnya
masing-masing dalam tatanan dunia baru. Dan, ini terjadi di tengah hilangnya
kepercayaan terhadap pemerintah, peningkatan nasionalisme, serta pergeseran
kekuatan pada rakyat.
”Politik
mangkok bakmi” di Asia Tenggara menjadi jawaban atas gagalnya Putaran Doha yang
tidak mampu menyelesaikan perbedaan prinsip-prinsip perdagangan antara negara maju
dan berkembang. RECP ASEAN menjadi tantangan langsung terhadap TPP yang
menonjolkan eksklusivitas usang yang menihilkan persoalan penting untuk keluar
dari resesi global.
Apakah
”politik mangkok bakmi” dalam multilateralisme ini mampu mengasah dan menajamkan
peranan ASEAN menghadapi kebijakan poros Washington dalam melakukan perimbangan
ulang di kawasan Asia-Pasifik, merupakan proses yang harus dilihat lebih jauh.
Diharapkan,
”politik mangkok bakmi” cukup besar
untuk menampung semangat multilateralisme ”semua
untuk satu, satu untuk semua”. Semoga apa yang dikatakan Perdana Menteri
Australia Julia Gillard tentang ”dua arah
ke tujuan yang sama” tidak akan mendikte kawasan ini untuk mengatur dan
mengelola masalah hak buruh, standar lingkungan, reformasi BUMN, dan lain
sebagainya. Ini karena arah yang ingin dicapai adalah kesejahteraan bersama. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar