Sabtu, 27 April 2013

Prospek Politik Perempuan 2014


Prospek Politik Perempuan 2014
Wasisto Raharjo Jati ;  Peneliti Politik di Center of Politic and Media Institute, Yogyakarta
KORAN SINDO, 26 April 2013
Bandingkan dengan tulisan Penulis yang sama di MEDIA INDONESIA 17 April 2013
http://budisansblog.blogspot.com/2013/04/prospek-politik-perempuan-2014.html

  
Perjuangan perempuan Indonesia untuk mencapai kesetaraan politik dengan perempuan selalu saja mendapat tentangan politik patriarki. 

Hal tersebut terindikasi keengganan mayoritas partai politik pemilu 2014 untuk memenuhi Peraturan KPU Nomor 7 tahun 2013 Pasal 24 ayat 1 tentang Persyaratan Keterwakilan 30% perempuan untuk setiap daerah pemilihan dalam daftar caleg sementara pada 9–22 April 2013. Keengganan para partai politik untuk memenuhi peraturan itu lantaran banyak didominasi paradigma domestifikasi perempuan yang selalu bekerja di rumah maupun tingkat kepopuleran caleg perempuan yang dinilai masih kurang sehingga dikhawatirkan akan mengurangi angka elektabilitas partai tersebut maupun berkurangnya proporsi bilangan pembagi pemilih (BPP). 

Padahal, Peraturan KPU Nomor 7 Tahun 2013 itu sudah mengacu kepada Undang-Undang Pemilu Nomor 8 Tahun 2012, khususnya dalam Pasal 55 dinyatakan pengajuan caleg harus memuat paling sedikit 30% keterwakilan perempuan. Selanjutnya, dalam Pasal 56 ayat 2 disebutkan dalam daftar caleg yang diajukan, setiap tiga calon harus memuat satu calon perempuan. Bilamana partai politik tidak mau memenuhi persyaratan tersebut maka dalam Pasal 27 ayat 1 diatur jika ketentuan itu tidak terpenuhi maka parpol tersebut dinyatakan tidak memenuhi syarat pengajuan daftar bakal caleg di dapil bersangkutan, parpol bersangkutan tidak bisa ditetapkan sebagai salah satu peserta untuk dapil tersebut. 

Namun demikian, sepertinya akan banyak partai politik yang tidak akan mengindahkan peraturan KPU tersebut, kendati bila melanggar akan dikenai sanksi pembatalan keikutsertaan partai politik dalam dapil tersebut. Mayoritas parpol masih menilai bahwa kuota 30% hanya berlaku secara nasional dan tidak dalam bentuk kepengurusan maupun caleg per dapil dalam daftar calog sementara ini. Kalaupun parpol akhirnya memenuhi ketentuan tersebut, justru yang terjadi adalah unsur “ keterpaksaan” maupun hanya memenuhi syarat administratif saja kepada KPU, namun pada saat finalisasi daftar calon tetap (DCT) nanti proporsi caleg perempuan akan “disesuaikan” sesuai kepentingan strategis. 

Tercatat, baru terdapat tiga orang perempuan yang berhasil menembus bilangan pembagi pemilih, yakni Puan Maharani dari PDI-P yang memperoleh suara di daerah pemilihan Jawa Tengah V dengan memperoleh 242.054 suara atau 25,60% BPP, Karolin Margret Natasa dengan 222.021 suara atau sekitar 20,91% BPP maupun Rusminiati dari Partai Demokrat yang memperoleh 182.083 atau sekitar 19,71% BPP. Dari ketiga caleg perempuan yang diposisikan sebagai caleg perempuan dengan pemerolehan suara tertinggi pada Pemilu 2009, tidak ada yang memenuhi angka 30% keterwakilan perempuan secara utuh. 

Selain itu, data Puskapol UI Tahun 2010 menunjukkan dari total suara pemilih untuk caleg DPR, sebanyak 16 juta suara atau 22,45% diberikan kepada caleg perempuan. Dilihat dari data 463 kabupaten/kota, terdapat 206 kabupaten/kota atau 44% yang memberikan suara pada caleg perempuan mencapai 11–20%. Sebanyak 29% kabupaten/-kota memberikan suara pada caleg perempuan hingga 30%. Dengan melihat bilangan pemilih tersebut, angka elektabilitas caleg perempuan sendiri secara general masih kurang dari angka 30% sebagai bentuk affirmative action kepada perempuan. 

Hal ini tentu saja menjadi ironi, sejak Mahkamah Konstitusi (MK) menetapkan bahwa sistem proporsional terbuka menjadi dasar pemenangan pemilu dengan pemerolehan suara terbanyak pada pemilu 2009. Maka yang terjadi justru kuota 30% menjadi tidak berarti lagi karena terjadi penyamarataan antara politisi perempuan maupun laki-laki dalam berebut kursi caleg, baik di parlemen lokal maupun nasional. Namun demikian, apa pun sistemnya yang digunakan Pemilu 2014 yakni apakah proporsional terbuka maupun proporsional tertutup. Keduanya memiliki tendensi untuk memarjinalkan peta persaingan politik perempuan. 

Jika proporsional tertutup sendiri berdasarkan sistem nomor urut daftar, kecenderungan yang muncul adalah caleg perempuan berada di urutan bawah dan tidak berada dalam daftar nomor urut teratas di mana pemilih cenderung secara psikologis dan strategis memilih tiga nomor teratas. Sementara dalam proporsional terbuka, suara caleg lakilaki umumnya lebih besar daripada caleg perempuan karena preferensi kultur maskulinitas yang superior dalam dinamika masyarakat kita ketimbang lebih mengutamakan feminitas. 

Jika demikian adanya, aturan kuota 30% keterwakilan perempuan tiap dapil sebagaimana yang tercantum dalam PKPU Nomor 7 Tahun 2013 hanya diimplementasikan setengah hati, baik dari regulator mau-pun eksekutor. Maka, KPU, MK, maupun regulator Pemilu 2014 sekiranya bisa memberikan ruang-ruang konstitusional bagi politik perempuan untuk dapat menampilkan citra dirinya sebagai penyambung aspirasi perempuan Indonesia. 

Ruang konstitusi yang dimaksud adalah sinergisitas antarregulator dalam membuat aturan yang berpihak pada sikap afirmatif pada perempuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar