|
SUARA MERDEKA, 29 April 2013
"Kita perlu
bersiap diri untuk memperoleh DPR 2014-2019 yang tidak berbeda jauh dari
sebelumnya"
Sekitar 6.000 nama caleg sudah terdaftar di KPU. Mereka
siap bertarung memperebutkan kursi di DPR. Beragam modal bakal mereka
kerahkan, salah satunya kapital ekonomi. Menurut filsuf Pierre Bourdieu,
kapital ekonomi menjadi penting untuk "membeli" kepatuhan
Lebih rinci Bourdieu menjelaskan, untuk memperoleh
kepatuhan pemilih maka diperlukan mekanisme objektif. Mekanisme ini dapat
membuat kelompok yang didominasi secara tak sadar masuk ke lingkaran dominasi
dan kemudian menjadi patuh.
Tak ada yang gratis untuk meraih kepatuhan tersebut. Secara
teori, saat mekanisme objektif belum terbangun, pelaku sosial mengerahkan segenap
kapital yang dimiliki. Segala bentuk kapital, baik kapital budaya, ekonomi,
sosial, dan simbolis, dimanfaatkan maksimal. Namun Bourdieu tegas menyatakan
kapital ekonomi adalah bentuk yang paling mudah dikonversi ke bentuk
kapital lain. Ia hendak mengatakan kapital ekonomi sangat diperlukan dan
tidak bisa ditolak.
Teori itulah melanggengkan "politik wani pira". Realitasnya, wani pira (berani
berapa) caleg mengucurkan uang, sebesar itu pula peluang merebut kursi
legislatif. Makin banyak, kian berpeluang. Sebaliknya, makin pelit, kian sulit.
Berapa besarannya? Bambang Soesatyo, anggota DPR dari
Partai Golkar mengungkapkan seorang caleg minimal butuh Rp 1 miliar. Uang
itu untuk membuat alat peraga, transportasi ke daerah, hingga honor saksi
di TPS. AdapunTrimedya Panjaitan dari PDIP menyebut angka Rp 1,5 miliar.
Beberapa anggota DPR yang lain memperkirakan angka ideal Rp 2 miliar.
Dari informasi para anggota DPR yang nyaleg lagi itu, bisa
diketahui bahwa tak murah untuk memperoleh kursi legislatif. Sistem pemilihan
langsung dengan suara terbanyak, dan masa kampanye yang panjang, membuat caleg
kian dalam merogoh saku mereka.
Pemberian
Berpengharapan
Biaya itu akan membengkak jika diperhitungkan biaya
"sosialisasi" di daerah pemilihan (dapil). Pada Pemilu 2009,
penulis pernah menjadi tim sukses caleg di dapil Solo-Boyolali-Klaten. Justru
biaya terbesar jatuh pada keperluan "tali asih" saat sosialisasi.
Terang-terangan konstituen menanyakan. Biasanya "tali asih" itu
berupa uang Rp 25.000-Rp 50.000 per orang. Bisa dibayangkan betapa besar biaya
itu.
Mau tidak mau seorang caleg harus memberikan "tali
asih" tersebut. Inilah pemberian berpengharapan. Pemberian itu sudah
terjebak dalam logika ekonomi bahwa tak mungkin memberi tanpa mengharap
kembali. Meminjam konsep filsuf Marcel Mauss, logika ekonomi semacam itu bisa
dikategorikan potlach. Istilah itu bisa diartikan sebagai pemberian yang
dipertukarkan. Maka, tatkala "tali asih" diterima, si penerima telah
terjebak potlach alias harus mempertukarkan pemberian tersebut dalam wujud
suara buat sang caleg.
Kenyataannya, banyak pula pemilih mbalela; sudah menerima
"tali asih" tapi tak juga mencontreng si caleg. Ternyata hal ini
tergantung wani pira memberi "tali asih" kepada pemilih. Siapa paling
tinggi maka ia berpeluang dipilih. Soal uang, pemilih siap menerima dari caleg
mana pun. Soal memilih, pemilih tetap mempertimbangkan wani pira tadi.
Versi Indonesia
Budget Center (IBC), menyebutkan take-home
pay anggota DPR (2009-2014) sekitar Rp 60 juta per bulan. Rincian terdiri
atas gaji pokok Rp 4,2 juta, tunjangan suami/istri Rp 420 ribu, tunjangan anak
Rp 168 ribu, tunjangan struktural Rp 9,7 juta, uang kehormatan sebagai komisi/badan/panitia
Rp 3,7 juta, tunjangan PPh Rp 3 juta, uang kontrak rumah Rp 15 juta, tunjangan
komunikasi intensif Rp 14,1 juta, uang paket harian Rp 2 juta, uang langganan
telepon Rp 3 juta, asuransi kesehatan Rp 4 juta, dan lainnya.
Jumlah itu masih bisa bertambah karena ada gaji ke-13, uang
legislasi, uang rapat, uang transpor, uang perjalanan dinas di dalam dan luar
negeri, fasilitas kredit kendaraan, honor asisten dan tenaga ahli, dan
fasilitas penunjang lainnya (laptop, internet, hotel bintang lima, kupon
bensin, kupon bebas tol).
Konsekuensi
Politik
Berpegang pada take-home
pay Rp 60 juta, diperhitungkan dalam lima tahun jabatan akan memperoleh Rp
3,6 miliar. Kalkulasi ekonomi akan menorehkan "untung" Rp 600 juta.
Jumlah ini dianggap tidak sepadan sehingga diupayakan memperoleh penghasilan
lain. Celaka jika sudah punya asumsi itu karena legislator terjebak perilaku
egois etis, yakni lebih mengacu kepada kepentingan diri sendiri. Ia akan
mengabaikan kepentingan orang lain. Wakil rakyat yang egois enggan membuka
diri, kurang berempati dan tidak peduli.
Sesuai konsep filsuf John Locke, memperjuangkan kepentingan
rakyat adalah bagaimana menjalankan fungsi legislator sebagaimana mestinya.
Menurut Locke, kekuasaan pembuat undang-undang adalah kekuasaan bersama tiap
anggota masyarakat yang diberikan kepada orang atau majelis pembuat
undang-undang (legislator), yang kemudian diberikan kembali kepada rakyat.
Namun harapan rakyat itu harus dipendam dalam-dalam
manakala melihat realitas politik wani pira para caleg. Rasa-rasanya kita perlu
bersiap diri untuk memperoleh DPR 2014-2019 yang tidak berbeda jauh dari
periode sebelumnya, dan apa boleh buat, beginilah konsekuensi politik wani pira. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar