Tantangan terbesar umat beragama saat ini adalah
maraknya kekerasan dan korupsi. Keduanya tumbuh subur seiring kebebasan
berekspresi pasca reformasi 1998. Kekerasan bak jamur di musim hujan,
menjelma seperti monster kehidupan yang memporak-porandakan kedamaian
hidup masyarakat.
Modusnya pun sangat beragam,
ada karena agama, kesukuan, politik, ataupun ekonomi. Kekerasan agama di
Sampang, konflik kesukuan di Papua, konflik tambang emas di Bima, dan
konflik lahan di Lampung, merupakan sedikit contoh kekerasan yang
terekspos di media massa.
Sangat banyak kekerasan yang
menghantui kehidupan kebangsaan saat ini. Tetapi, lagi-lagi sebanyak
apapun kekerasan yang terekspos ke media, tidak banyak yang mengambil
pelajaran darinya. Sehingga kekerasan terus berkembang. Kasusnya datang
silih berganti kasus baru.
Begitupun dengan korupsi,
jika masa orde baru legetimasi kekuasaan begitu kuat, sehingga
koruptor-koruptor negara tidak bisa tersentuh, bahkan tak jelas rimbanya.
Karena, kongkalikong kekuasan waktu itu sangat besar sekali. Meskipun
sebenarnya banyak sekali koruptor yang mengeruk kekayaan. Tetapi pasca
reformasi 1998, kebebasan pers telah membuka segala kebobrokan
pemerintah. Setiap hari masyarakat disuguhkan dengan kasus korupsi.
Baru-baru ini KPK menangkap mantan Presiden PKS, Luthfi Hasan Ishaaq
(LHI), karena kasus suap impor daging sapi.
Tertangkapnya LHI menambah
daftar panjang politisi yang tertangkap KPK. Tetapi, lagi-lagi tidak
banyak yang mengambil pelajaran dari kasus tersebut. Setelah itu pasti
ada lagi yang tersangkut kasus korupsi yang terus terjadi.
Meningkatnya kasus tersebut
tentu menjadi tanda tanya besar, mengingat Indonesia adalah negara yang
agamis. Hingga saat ini setidaknya sudah ada enam agama yang diakui di
Indonesia, Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Dari
semua agama itu tidak ada satupun yang mengajarkan kekerasan dan korupsi.
Semuanya mengajarkan nilai-nilai luhur dalam kehidupan manusia, baik
dalam internal keluarga, berbangsa, dan menjadi bagian dari masyarakat
dunia. Kalaupun selama ini ada sebagian kelompok agama yang melakukan
kekerasan atas dasar agama, kasus itu hanya bias tafsir yang keliru dalam
memaknai teks agama. Sehingga mereka seolah-olah dibenarkan melakukan
kekerasan.
Begitupun dalam persoalan
korupsi. Banyak elit pemerintah yang notabene mengimani agama melakukan
korupsi. Bahkan yang sangat parah, Kementerian Agama (Kemenag) yang
mengurusi tetek bengek keberagamaan di Indonesia menjadi instansi paling
korup. Tak tanggung-tanggung yang dikorupsi pun salah satunya dana haji
dan pengadaan Al-Quran. Sakralitas haji dan Al-Quran menjadi hilang bagi
koruptor. Karena mereka tidak lagi berpikir kebenaran. Yang terpikir di
benak mereka hanya kemenangan mengeruk uang negara untuk kepentingan diri
dan kelompoknya.
Bagaimana pun caranya, ketika ada kesempatan mereka
melakukan koruspi, termasuk agama.
Realitas ini menjadi catatan
buram keberagamaan masyarakat Indonesia. Agama yang diyakini menjanjikan
masa depan pasca kematian berupa surga atau neraka, tidak lagi dihayati
dengan baik. Keberagamaan masyarakat Indonesia tak lebih dari sekedar
legal-formal yang tertera di KTP atau kertas yang dibumbui identitas
diri.
Pada tataran praktis mereka
tidak bisa mengamalkan ajaran-ajaran keagamaan yang mereka yakini.
Sehingga kehidupan berbangsa dan bernegara hampa spiritualitas. Yang ada hanya
ritualitas keberagamaan yang setiap hari terpajang di banyak tempat
ibadah. Mereka melakukan rajin ritual keagamaan, tetapi penghayatan
nilai-nilai agama itu tidak tampak dalam realitas sosial. Kekerasan dan
korupsi terus tumbuh subur tidak terbendung.
Peristiwa inilah yang
menurut Friedrich Nietzsche disebut sebagai kematian Tuhan. Kematian
Tuhan di sini bukan kematian Tuhan secara fisik. Melainkan kematian
nilai-nilai Ketuhanan yang diajarkan dalam agama, karena dibunuh oleh
manusia sendiri yang notabene meyakini kebenaran agama.
Agama yang sakral
tak lagi menjadi sesuatu yang menjanjikan di masa depan. Mereka lebih
memilih terpuruk dalam keberagamaan mereka dengan mengingkari semua
ajaran kebenaran dalam agama. Sehingga untuk mengejar kebahagian sesaat
mereka saling berebut kekayaan materi, baik melalui kekerasan ataupun
korupsi. Meskipun pada kenyataannya, banyak pelaku kekerasan dan korupsi
mendekam dalam penjara dan terkutuk menjalani penderitaan hidup. Mereka
tak menemukan kebahagiaan hidup, seperti awal mula keinginan mereka
melalukan kekerasan dan korupsi.
Apapun alasannya tak ada
agama yang mengajarkan kekerasan, apalagi korupsi. Jika kekerasan lahir
atas nama agama, itu hanya karena ketidakmampun mereka membaca kebenaran
teks keagamaan, sehingga melahirkan pemahaman yang liar. Begitupun dengan
korupsi, ia lahir dari ketidakmampuan seseorang dalam menghayati
kebenaran agamanya. Akibatnya ritualitas agama yang mereka lakukan tidak
membekas dalam kehidupan sehari-harinya. Kerusakan terjadi di mana-mana,
dan kita kehilangan keadaban berbangsa-bernegara.
Kekerasan dan korupsi,
apapun alasan dan bentuknya, tidak akan terjadi dalam masyarakat agamis
seperti Indonesia jika pemeluknya tidak sekedar melakukan ritual
keagamaan. Tetapi, mereka juga mampu menghayati pesan-pesan moral yang
tersirat dibalik ritaul keagamaan. Beragama bukan hanya sebetas kesaksian
lisan dan hati atas kebenaran Tuhan Yang Maha Esa, melaikan juga harus
diikuti oleh kesaksian prilaku atas atas kebenaran, bahwa Tuhan maha
mengetahui, maha melihat, mendengar, dan maha-Maha lainnya yang tidak
dimiliki oleh manusia.
Sehingga dalam bertingkah
manusia selalu hati-hati menjaga kebenaran ajaran agamanya. Kekerasan dan
korupsi, adalah penodaan terhadap kebenaran agama. Karena tak satupun agama
mengajarkan pemeluknya berbuat kekerasan dan korupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar