Saat
ini dunia lalu lintas darat di negara kita bagai "rimba liar"
sebab segala soalnya bergantung si kuat. Pertama; soal Apa. Lalu lintas
darat yang manusiawi adalah bagian taraf tinggi budaya sosial terkait
penggunaan kendaraan darat di kawasan publik yang berujung pada
kenyamanan mobilitas manusia secara beradab alias tidak liar.
Ketidakliaran itu melibatkan Siapa: semua orang yang terkait dengan
keterselenggaraan kenyamanan mobilitas manusia dengan atau tanpa
kendaraan: pengendara, pejalan kaki, saudagar industri otomotif, dan
semua penguasa tatanan lalu lintas (kepolisian, Dishub, LLAJ, dan seluruh
ikutannya) yang taat asas kelalulintasan yang beradab. Semua berkinerja
sedemikian rupa sehingga keberadaban terangkat makin tinggi dan keliaran
ditekan serendah mungkin.
Kenyataannya, kinerja itu tidak menuju keberadaban tinggi tapi tunduk
pada budaya "raja-raja rimba" sehingga kelalulintasan darat
kita bagai "rimba liar". Di sini perlu disimak soal Kapan dan
Di Mana. Itu terjadi sejak zaman Orba mulai berkuasa sampai kabinet
sekarang yang masih memanjakan sektor otomotif dan mengabaikan sektor
kendaraan tradisional tanpa mesin, termasuk perkeretapian.
Pada zaman Orba sejumlah jalur rel kereta dipereteli dan berubah fungsi
atau menjadi mubazir. Maka, jumlah motor dan mobil terus meningkat seolah
tak terkendali alias "liar".
Tergawat, "rimba liar" lalu lintas itu terjadi nyaris di semua
jalan di Indonesia, dan terutama di Jawa yang secara demografis buruk dan
salah dalam rangka keindonesiaan.
Keburuksalahan demografis itu sampai hari ini dianggap "biasa"
sehingga tak ada upaya penanganan total. Padahal, secara demografis yang
beradab, Pulau Jawa dalam keadaan bahaya (SOS) atau paling sedikit dalam
keadaan "luar biasa". Dengan luas 132.107 km2, sekitar 1/40
luas negara (5.193.250 km2) atau sekitar 1/15 seluruh daratan (1.922.570
km2), Jawa dihuni lebih 50% penduduk, saat kawasan lain sekitar 15 kali
luasnya dihuni kurang 50% penduduk.
Penyebaran penduduk yang sangat tidak seimbang itu, menyedihkan,
mengingat lebih 67 tahun negara kita merdeka dan selama itu pula telah
mempunyai para penguasa bidang kependudukan. Soal paling ruwet-macet
dalam "rimba liar" adalah Bagaimana. Ini gelap dan eksklusif
sebab melibatkan hanya dua kubu ialah saudagar industri otomotif dan para
pejabat urusan kelalulintasan dan semua ikutannya termasuk para calo,
konsultan, dan kaum ekonom birokrat.
Kinerja dua kubu yang selanjutnya menjadi "raja-raja rimba"
inilah pencipta mekanisme seluruh lalu lintas darat kita dengan banyak
fenomena negatif yang memuncak dalam dua tragedi. Pertama; sekitar 37.000
orang tewas tiap tahun karena kecelakaan akibat motor (data pertengahan
2012). Kedua; kendaraan bermotor di negara kita lebih 85 juta unit dengan
motor sekitar 69 juta unit; dan mengikuti kenyataan demografi, lebih 90%
kendaraan berjubel di Jawa (Badan Pusat Statistik, 2011).
Kebijakan Pemerintah
Berangkat dari dua tragedi itu, dengan dasar peradaban lalu lintas
berbasis teknologi yang bertanggung jawab, kita sampai pada Mengapa,
yakni merenungkan penyebab kecelakaan dalam lalu lintas.
Khusus kecelakaan terkait motor, penyebabnya dari luar dan dalam.
Penyebab luar adalah Sang Bagaimana yang gelap dan eksklusif itu tadi,
dengan banyak fenomena moral sosial bernilai rendah yang mengacu tiga
kata kunci: suap, korupsi, dan penyalahgunaan kekuasaan. Ini berujung
pada kelahiran undang-undang, peraturan, dan kebijakan pemerintah yang
tidak bijak bagi kelalulintasan.
Penyebab dalam adalah pengendara dan kendaraan. Soal pengendara terkait
tiga faktor. Pertama; pengendara dengan SIM legal tanpa budaya beradab
kelalulintasan. Kedua; pengendara dengan SIM hasil menyuap. Ketiga;
pengendara ilegal tanpa SIM, termasuk anak-anak di bawah umur. Tiga
faktor itu melahirkan cara berboncengan yang tidak memenuhi standar
keselamatan peradaban maju, seperti memboncengkan lebih satu orang,
balita, dan berbagai cara "liar-sembarangan-kampungan" yang
lain.
Penyebab faktor kendaraan menyangkut soal kapasitas motor. Para
"raja rimba" telah memaksakan bebek menjadi macan atau singa
sehingga keseimbangan hutan alami rusak parah. Sebagaimana bebek bukan
macan atau singa, begitu pula motor bukan mobil atau truk. Inilah salah
satu fakta keliaran di negara kita sebagai biang kerok seluruh tragedi
jagat lalu lintas darat kita: kemacetan, kecelakaan, tidak sedikit orang
Indonesia yang dulu ramah-tamah menjadi ganas, liar, dan lain-lain.
Padahal, jika bebek dijaga fitrahnya tetap bebek, jumlah tragedi lalu
lintas bisa ditekan. Sudah saatnya dibuka wacana motor isi silinder dari
100 sampai 200 cc dengan kecepatan maksimal 40 kilometer per jam, jangan
disamakan kapasitas mobil dan truk di atas 1.000 cc yang bisa
berkecepatan di atas 100 km per jam. Karena itu, keterpisahan motor
dengan mobil dan sejenisnya akan terjadi lebih "alamiah".
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar