|
MEDIA INDONESIA, 27 April 2013
Banyak sekali penganggaran negara
yang terasa jauh dari logika, termasuk yang paling sederhana sekalipun.
Misalnya peran Presiden AS Barack Obama yang langsung menegosiasikan anggaran
negara dengan pimpinan DPR dan Kongres yang dikuasai Partai Republik.
Persoalannya terletak pada perbedaan antara penerimaan pajak dan penghematan
anggaran, khususnya yang menyangkut jaminan kesehatan bagi kelompok miskin dan
orangtua.
Di dalam negeri sendiri, kita tidak pernah melihat peran
Presiden RI yang melakukan negosiasi semacam itu. Padahal, persoalan anggaran
negara cukup banyak dan membutuhkan peran langsung dari presiden. Misalnya
subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang seolah maju-mundur dan tidak pernah
selesai. Kalaupun persoalan BBM akhir-akhir ini mencuat, yang memberi
keterangan dari kalangan pemerintah ialah Menteri Koordinator (Menko)
Perekonomian.
Anehnya, Menko Perekonomian pun merangkap sebagai Menteri
Keuangan. Apa presiden merasa cukup mendelegasikan tugas itu, sebagaimana sikap
pemerintah terhadap ujian nasional (UN)? Atau karena topik ini akan mengganggu
pencitraan?
Belum lagi membahas pembengkakan utang negara, presiden pun
malah sempat mengeluhkannya. Padahal, semestinya, jika tidak didelegasikan
kepada Menteri Keuangan, presiden sendirilah yang harus menjelaskannya.
Untuk apa sesungguhnya kebutuhan utang itu? Apakah
pembiayaan APBN tidak mencukupi dari penerimaan negara? Bahkan lebih jauh lagi,
bagaimana sesungguhnya proporsi APBN sehingga perlu tambahan utang? Tentu
dengan penjelasan yang sederhana, yang mudah dipahami semua komponen bangsa.
Samalah penjelasan Jusuf Kalla di sebuah jaringan televisi
(23/4) malam tentang perlunya UN diteruskan. Intinya untuk membangun
standardisasi di kalangan murid di Tanah Air. Standardisasi itu perlu diujikan.
Akan tetapi, untuk melaksanakannya, perlu kerja keras agar pelaksanaannya dapat
berjalan baik sehingga tidak ada kekacauan di dalam pelaksa naannya sebagaimana
yang terjadi pada UN 2013 ini. Anehnya, yang memberi keterangan ialah mantan
wakil presiden. Kenapa bukan Presiden RI atau Wakil Presiden RI, atau Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan sendiri?
Agar Tidak
Menyimpang
Dengan kerangka berpikir yang disertai logika-logika
sederhana semacam itulah kita me lihat persoalan-persoalan mendasar di dalam
penganggaran negara. Jika Presiden RI atau Wakil Presiden RI langsung ikut menata
penganggaran negara (khususnya melalui APBN), tentulah pengelolaan anggaran di
setiap kementerian/lembaga akan berjalan dengan baik. Apalagi kalau
presiden/wakil presiden juga berkoordinasi dengan pimpinan DPR dan lembaga
negara lain agar di dalam pembahasan anggaran tidak terjadi penyimpangan.
Padahal, itulah yang terjadi di dalam pelaksanaan proyek
Hambalang, Wisma Atlet, atau kasus simulator surat izin mengemudi, dan banyak
proyek pemerintah lainnya. Demikian juga pembahasan yang menyeluruh di dalam pengelolaan
dan tanggung jawab keuangan negara.
Jika ada pembahasan yang intensif dengan pihak BPK (yang
memeriksa keuangan negara), titik lemah dalam pengelolaan keuangan negara akan
dapat diketahui sehingga pengawasannya pada tahun-tahun berikutnya akan berjalan
dengan baik.
Uraian tersebut baru bersifat umum, tentu masih perlu
dilanjutkan dengan persoalan-persoalan yang lebih sektoral dan teknis. Lihatlah
contoh-contoh berikut ini. Ketika Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dibentuk, tentu
saja anggaran pengawasan di lingkungan Bank Indonesia (BI) akan seluruhnya
beralih ke OJK.
Namun, kenyataannya tidak seperti itu. Samalah persoalan
lama yang saya lihat dalam pemekaran daerah. Jika sebuah daerah dimekarkan,
tentu saja anggaran daerah induk akan berkurang karena beralih ke daerah otonom
baru.
Sayangnya, pada kenyataannya, meski sebuah daerah
dimekarkan, anggaran daerah induk tidak pernah berkurang, bahkan cenderung
meningkat. Demikian pula dalam pembentukan lembaga pemerintah yang baru.
Mestinya anggaran lembaga induknya akan mengalami penurunan karena sudah
beralih ke birokrasi dan program di lembaga yang baru.
Perlu Pembenahan
Keadaan itulah yang menyebabkan munculnya usulan saya
kepada Presiden RI yang baru nanti untuk memulai tugas dengan mengevaluasi
seluruh kelembagaan di lingkungan pemerintah. Jika ada yang tumpang tindih,
termasuk dalam penganggarannya, perlu lebih dulu dibenahi. Sama halnya dengan
daerah-daerah di seluruh Indonesia karena kelak akan terkait dengan DAU (dana
alokasi umum), DAK (dana alokasi khusus), DBH (dana bagi hasil), dan dana-dana
pusat lainnya yang disalurkan ke daerah. Bukankah keadaan seperti itu tidak
hanya tugas Mendagri dan Menkeu semata, tetapi juga tugas dan tanggung jawab
Presiden RI?
Sebagai presiden dan bukan raja, ia akan menjadi penanggung
jawab pemerintahan secara keseluruhan, termasuk pelaksanaan APBN walau dalam UU
No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, anggaran negara itu dikuasakan kepada
menteri/pimpinan lembaga serta diserahkan kepada daerah. Artinya presiden dan wakil
presiden masih memiliki tanggung jawab terhadap pelaksanaan dan tanggung jawab
keuangan negara.
Belum lagi ulasan terhadap penerimaan negara berupa pajak
dan bukan pajak. Atau, efisiensi dalam pengelolaan APBN. Jika ada BUMN yang
terus merugi, dan terus-terusan disubsidi pemerintah, untuk apa dipertahankan?
Anehnya, kenyataan itu masih terjadi. Padahal jika langkah semacam itu
ditempuh, akan terjadi banyak penghematan keuangan negara. Dengan demikian
utang pun kian tidak dibutuhkan lagi.
Tentu saja uraian ini amat singkat. Tapi setidaknya untuk
memberi perhatian bahwa banyak sekali logika-logika yang tidak berjalan di
dalam penganggaran negara itu, termasuk logika yang paling sederhana sekalipun.
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar