Selasa, 16 April 2013

Ujian Nasional dan Stres


Ujian Nasional dan Stres
J Sumardianta  Guru SMA Kolese De Britto Yogyakarta 
KORAN TEMPO, 15 April 2013

  
UN ibarat gunung yang menghalangi sinar matahari masuk desa. UN membuat generasi muda Indonesia terisolasi dari harapan. 
Seorang kakek menggerutu gara-gara ada gunung di belakang rumahnya. Gunung sialan itu, katanya, menghambat kehidupan. Sinar matahari terhalang tak bisa turun. Pergi ke mana pun terasa jauh. Kakek bersumpah hendak memindahkan gunung tersebut. Warga desa tertawa sinis. Orang tua itu diberi julukan "Si Kakek Bodoh". Mana mungkin gunung bisa dipindahkan hanya dengan cangkul.
Si kakek justru menganggap warga desalah yang pandir. Kalaupun kakek si meninggal, ada anak, cucu, dan buyut yang akan meneruskan obsesinya memindah gunung tersebut. Tujuh turunan berlalu. Gunung itu akhirnya bisa digusur juga. Matahari menyinari desa. Isolasi dibuka. Penduduk desa bersukacita. Manusia, seperti kakek bodoh pemindah gunung, memang dungu dan lemah. Kendati demikian, bila teguh dalam perjuangan, tantangan hidup sesulit apa pun pasti bisa diatasi.
Ujian nasional (UN) SMA, yang berlangsung pada 15-18 April, bukan untuk memindahkan, melainkan mempertahankan gunung agar tetap berada di tempatnya. Keberadaan UN yang dikeluhkan banyak orang menunjukkan betapa pendidikan di Indonesia miskin inovasi. Tidak ada kreativitas dan pembaruan. Itu-itu saja. Dari waktu ke waktu, murid, orang tua, dan guru terperangkap ritual agama sipil bernama "UN". Sebuah kompetisi besar tahunan menuju antah-berantah. Pendidikan itu kisah kasih sekaligus nestapa. Kasih orang tua susah payah mendidik anak mereka untuk tidak meraih apa-apa.
UN berdampak multi-stres. Murid tertekan. Orang tua gelisah. Guru bingung. Kepala sekolah depresi. Kepala dinas pendidikan tidak bisa tidur. Kegiatan persekolahan menimbulkan tekanan kognitif berlebihan karena sebagian besar berupa aktivitas menghafal. Kegiatan ini merupakan aktivitas otak paling primitif. Padahal murid bukan sekadar mampu menghafal. Pun berpikir tingkat tinggi. 
Saat otak menerima ancaman dan tekanan, kapasitas saraf untuk berpikir rasional mengecil. Otak mengalami downshifting (pengerutan) atau cognitive shutdown (kelumpuhan). Murid dengan otak mengerut dan lumpuh menjadi sasaran empuk untuk dilahap pengaruh lingkungan buruk---tawuran, narkoba, kesurupan, dan pergaulan bebas.
UN menyebabkan para guru terjangkit wabah disteachia (salah mengajar). Disteachia digerogoti oleh virus teacher talking time dan task analysis. Guru yang terpapar virus teacher talking time menganggap guru mengajar dan murid belajar merupakan satu proses simultan. Guru yang menghabiskan 80 persen waktu berceramah di kelas merasa didengarkan dan diperhatikan murid. Realitas menunjukkan sebaliknya. Murid kebanyakan tertidur, berbincang, ataupun melamun. Virus ini menjangkiti mayoritas guru Indonesia. Guru mengajar dan murid belajar merupakan dua proses berbeda. Saat guru mengajar, muridnya belum tentu belajar. Ketika murid banyak melakukan aktivitas di kelas itulah saat murid belajar dalam arti sesungguhnya.
Salah kaprah pola pengajaran telanjur menjadi kultur sekolah. Guru memiliki kecenderungan menjejali materi menggunakan task analysis. Pola umum pengajaran identik dengan materialisme kurikulum. Guru jarang sekali menjelaskan dan mengaitkan kegunaan materi dengan kegiatan sehari-hari murid. Asas benefit (kemaslahatan ilmu) seharusnya selalu diberikan pada bagian awal pembelajaran. 
Munif Chatib, dalam Sekolahnya Manusia (2009) dan Orang Tuanya Manusia (2012), punya anekdot tentang salah kaprah pengajaran di kelas berujung UN yang membuat murid mblenger. "Dia mengatakan kosinus, yang kudengar alunan musik pengantar tidur. Dia menggambar segitiga siku-siku, yang kulihat kawan-kawan menari di atas awan. Dia menulis rumus perkalian vektor, yang kutulis sebait puisi. Dia menatapku, yang kulihat pertunjukan film monoton. Para aktor bergerak malas. Layar lebar seakan ingin memuntahkan seluruh kejenuhan. Alur cerita membosankan memaksaku menguap tiada henti. Kapan film ini berakhir?"
Amat sedikit guru melakukan proses kontekstualisasi guna membangun koneksi antara materi yang akan dipelajari dan informasi yang sudah dikenal, diketahui, dipahami, serta dialami murid. Kontekstualisasi mengurangi kesenjangan tingkat pemahaman murid terhadap materi baru yang akan dibahas. Kontekstualisasi mendekatkan bahan ajar dengan dunia keseharian murid.
Guru nyaris tidak pernah memberikan analisis global terlebih dulu. Analis global ibarat gambaran umum seekor gajah. Telinganya lebar seperti tempayan. Belalainya panjang seperti ular. Keempat kakinya kukuh seperti batang pohon. Jika gambaran umum gajah itu dipecah dalam puzzle (task analysis), murid tidak akan bingung saat disodori kepingan gambar. Mereka telah diberi tahu terlebih dulu soal gambar besar dan analisis globalnya.
UN ibarat gunung yang menghalangi sinar matahari masuk desa. UN membuat generasi muda Indonesia terisolasi dari harapan. Kesurupan massal terjadi saat ribuan siswa SMA se-Kabupaten Temanggung, Jawa tengah, berdoa bersama menjelang UN belum lama ini. Histeria seperti itu selalu berulang di pelbagai tempat di Indonesia sebelum UN berlangsung.
Kultur persekolahan menentukan karakter dan takdir sekolah. UN membuat pengajaran dan pendidikan di Indonesia miskin inovasi. Bagaimana ada pembaruan kalau ujung dari seluruh proses pengajaran di setiap jenjang pendidikan hanyalah drill soal? Ungkapan berikut ini ada benarnya. Murid tidak pandai mendengarkan gurunya, tapi mereka tidak pernah gagal meniru gurunya. Pendidikan itu kan perkara keteladanan. Gurunya pandir pastilah muridnya dungu. Mutu pendidikan telah lama merosot sekadar pelatihan menjadi bodoh. Itu sebabnya kualitas pendidikan di sini jauh tertinggal dibanding di Malaysia-negeri tetangga yang dua dekade lalu mengimpor guru dari Indonesia. 
Sesanti pendidikan Ki Hajar Dewantara tergelincir menjadi "Ing ngarso nggolek bondo. Ing madyo waton suloyo. Tut wuri han jegali. Pemimpinnya korup haus harta. Aparatnya mau menang sendiri. Anak buahnya saling bertikai". UN, sudah menjadi pengetahuan umum, terkait dengan pembagian rente ekonomi di antara pemimpin, aparatus, dan anak buah. Jika ia tidak menyisakan remah-remah keuntungan, pasti sudah dihentikan ketiga aparatus penyelenggara itu. 
Jalan keluarnya, walau terkesan klise, teramat bersahaja: kembalikan kedudukan ujian sekolah sebagai penentu kelulusan. UN tetap diselenggarakan sekadar sebagai peranti pemetaan kemampuan murid. Dari sinilah perbaikan pendidikan bisa dimulai. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar