UN ibarat gunung yang menghalangi sinar matahari
masuk desa. UN membuat generasi muda Indonesia terisolasi dari
harapan.
Seorang kakek menggerutu gara-gara ada gunung di
belakang rumahnya. Gunung sialan itu, katanya, menghambat kehidupan.
Sinar matahari terhalang tak bisa turun. Pergi ke mana pun terasa jauh.
Kakek bersumpah hendak memindahkan gunung tersebut. Warga desa tertawa
sinis. Orang tua itu diberi julukan "Si Kakek Bodoh". Mana
mungkin gunung bisa dipindahkan hanya dengan cangkul.
Si kakek justru menganggap warga desalah yang pandir.
Kalaupun kakek si meninggal, ada anak, cucu, dan buyut yang akan
meneruskan obsesinya memindah gunung tersebut. Tujuh turunan berlalu.
Gunung itu akhirnya bisa digusur juga. Matahari menyinari desa. Isolasi
dibuka. Penduduk desa bersukacita. Manusia, seperti kakek bodoh pemindah
gunung, memang dungu dan lemah. Kendati demikian, bila teguh dalam
perjuangan, tantangan hidup sesulit apa pun pasti bisa diatasi.
Ujian nasional (UN) SMA, yang berlangsung pada 15-18
April, bukan untuk memindahkan, melainkan mempertahankan gunung agar
tetap berada di tempatnya. Keberadaan UN yang dikeluhkan banyak orang
menunjukkan betapa pendidikan di Indonesia miskin inovasi. Tidak ada
kreativitas dan pembaruan. Itu-itu saja. Dari waktu ke waktu, murid,
orang tua, dan guru terperangkap ritual agama sipil bernama "UN".
Sebuah kompetisi besar tahunan menuju antah-berantah. Pendidikan itu
kisah kasih sekaligus nestapa. Kasih orang tua susah payah mendidik anak
mereka untuk tidak meraih apa-apa.
UN berdampak multi-stres. Murid tertekan. Orang tua
gelisah. Guru bingung. Kepala sekolah depresi. Kepala dinas pendidikan
tidak bisa tidur. Kegiatan persekolahan menimbulkan tekanan kognitif
berlebihan karena sebagian besar berupa aktivitas menghafal. Kegiatan ini
merupakan aktivitas otak paling primitif. Padahal murid bukan sekadar
mampu menghafal. Pun berpikir tingkat tinggi.
Saat otak menerima ancaman dan tekanan, kapasitas
saraf untuk berpikir rasional mengecil. Otak mengalami downshifting
(pengerutan) atau cognitive shutdown (kelumpuhan). Murid dengan otak
mengerut dan lumpuh menjadi sasaran empuk untuk dilahap pengaruh
lingkungan buruk---tawuran, narkoba, kesurupan, dan pergaulan bebas.
UN menyebabkan para guru terjangkit wabah disteachia (salah mengajar). Disteachia digerogoti oleh virus teacher talking time dan task analysis. Guru yang terpapar
virus teacher talking time menganggap guru mengajar dan murid belajar
merupakan satu proses simultan. Guru yang menghabiskan 80 persen waktu
berceramah di kelas merasa didengarkan dan diperhatikan murid. Realitas
menunjukkan sebaliknya. Murid kebanyakan tertidur, berbincang, ataupun
melamun. Virus ini menjangkiti mayoritas guru Indonesia. Guru mengajar
dan murid belajar merupakan dua proses berbeda. Saat guru mengajar,
muridnya belum tentu belajar. Ketika murid banyak melakukan aktivitas di
kelas itulah saat murid belajar dalam arti sesungguhnya.
Salah kaprah pola pengajaran telanjur menjadi kultur
sekolah. Guru memiliki kecenderungan menjejali materi menggunakan task
analysis. Pola umum pengajaran identik dengan materialisme kurikulum.
Guru jarang sekali menjelaskan dan mengaitkan kegunaan materi dengan
kegiatan sehari-hari murid. Asas benefit (kemaslahatan ilmu) seharusnya
selalu diberikan pada bagian awal pembelajaran.
Munif Chatib, dalam Sekolahnya Manusia (2009) dan
Orang Tuanya Manusia (2012), punya anekdot tentang salah kaprah
pengajaran di kelas berujung UN yang membuat murid mblenger. "Dia
mengatakan kosinus, yang kudengar alunan musik pengantar tidur. Dia
menggambar segitiga siku-siku, yang kulihat kawan-kawan menari di atas
awan. Dia menulis rumus perkalian vektor, yang kutulis sebait puisi. Dia
menatapku, yang kulihat pertunjukan film monoton. Para aktor bergerak
malas. Layar lebar seakan ingin memuntahkan seluruh kejenuhan. Alur
cerita membosankan memaksaku menguap tiada henti. Kapan film ini
berakhir?"
Amat sedikit guru melakukan proses kontekstualisasi
guna membangun koneksi antara materi yang akan dipelajari dan informasi
yang sudah dikenal, diketahui, dipahami, serta dialami murid.
Kontekstualisasi mengurangi kesenjangan tingkat pemahaman murid terhadap
materi baru yang akan dibahas. Kontekstualisasi mendekatkan bahan ajar
dengan dunia keseharian murid.
Guru nyaris tidak pernah memberikan analisis global
terlebih dulu. Analis global ibarat gambaran umum seekor gajah. Telinganya
lebar seperti tempayan. Belalainya panjang seperti ular. Keempat kakinya
kukuh seperti batang pohon. Jika gambaran umum gajah itu dipecah dalam puzzle (task analysis), murid tidak akan bingung saat disodori
kepingan gambar. Mereka telah diberi tahu terlebih dulu soal gambar besar
dan analisis globalnya.
UN ibarat gunung yang menghalangi sinar matahari
masuk desa. UN membuat generasi muda Indonesia terisolasi dari harapan.
Kesurupan massal terjadi saat ribuan siswa SMA se-Kabupaten Temanggung,
Jawa tengah, berdoa bersama menjelang UN belum lama ini. Histeria seperti
itu selalu berulang di pelbagai tempat di Indonesia sebelum UN
berlangsung.
Kultur persekolahan menentukan karakter dan takdir
sekolah. UN membuat pengajaran dan pendidikan di Indonesia miskin
inovasi. Bagaimana ada pembaruan kalau ujung dari seluruh proses
pengajaran di setiap jenjang pendidikan hanyalah drill soal? Ungkapan
berikut ini ada benarnya. Murid tidak pandai mendengarkan gurunya, tapi
mereka tidak pernah gagal meniru gurunya. Pendidikan itu kan perkara
keteladanan. Gurunya pandir pastilah muridnya dungu. Mutu pendidikan
telah lama merosot sekadar pelatihan menjadi bodoh. Itu sebabnya kualitas
pendidikan di sini jauh tertinggal dibanding di Malaysia-negeri tetangga
yang dua dekade lalu mengimpor guru dari Indonesia.
Sesanti pendidikan Ki Hajar
Dewantara tergelincir menjadi "Ing
ngarso nggolek bondo. Ing madyo waton suloyo. Tut wuri han jegali. Pemimpinnya
korup haus harta. Aparatnya mau menang sendiri. Anak buahnya saling
bertikai". UN, sudah
menjadi pengetahuan umum, terkait dengan pembagian rente ekonomi di
antara pemimpin, aparatus, dan anak buah. Jika ia tidak menyisakan
remah-remah keuntungan, pasti sudah dihentikan ketiga aparatus
penyelenggara itu.
Jalan keluarnya, walau terkesan klise,
teramat bersahaja: kembalikan kedudukan ujian sekolah sebagai penentu
kelulusan. UN tetap diselenggarakan sekadar sebagai peranti pemetaan
kemampuan murid. Dari sinilah perbaikan pendidikan bisa dimulai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar