Menyebut dan mendengar nama
hiu, yang terlintas dalam benak kita adalah sesosok hewan laut dengan
gigi-gigi yang runcing, ganas, dan mampu mencium bau darah berkilometer
jauhnya. Keganasan hiu juga bisa terlihat dari data statistik yang
menyebutkan sekitar 10 orang meninggal akibat serangan hiu per tahun.
Namun sebaliknya, 100 juta hiu juga dibunuh oleh orang-orang serakah
untuk dikonsumsi.
Bagian tubuh hiu paling
mahal adalah sirip. Bagian ini dimasak untuk sup sirip ikan hiu, yang
kabarnya berkhasiat untuk meningkatkan stamina dan banyak lagi. Selain
itu, sekarang juga sudah ada beberapa perusahaan obat-obatan, yang
memproduksi minyak hati ikan hiu (Squalene),
untuk meningkatkan kesehatan hati dan jantung, sementara untuk dagingnya
dikonsumsi masyarakat seperti mengkonsumsi ikan pada umumnya.
Sungguh ironis, perburuan
liar menyebabkan menurunya populasi hiu dengan sangat cepat dan drastis
di seluruh dunia. Sedikitnya 73 juta ekor hiu dibunuh dalam setiap tahunnya.
Padahal, setelah dibunuh, sebagian besar hanya diambil siripnya saja,
sebagai bahan sup. Akibatnya, banyak spesies hiu telah mengalami
penurunan lebih dari 75 persen. Bahkan, untuk spesies tertentu penurunan
populasi mencapai 90 persen. Saat ini, hiu memang tengah menghadapi
ancaman kepunahan. Populasi menjadi sangat rentan, karena pola reproduksi
ikan tersebut memang lambat. Untuk seekor hiu karang, pertumbuhannya
membutuhkan waktu 7-15 tahun agar menjadi dewasa secara seksual. Setelah
dewasa, hiu hanya mampu bertelur atau melahirkan (bergantung pada jenis
hiu), sebanyak 1 - 10 anak dengan frekuensi reproduksi satu kali setiap 2
- 3 tahun.
Dari hasil sebuah penelitian
menunjukkan, hiu hidup dapat dijadikan sebagai obyek pariwisata, dan ini
jauh lebih bernilai dari sisi keekonomian dibandingkan hiu mati yang
diambil siripnya. Ada perhitungan yang menyebutkan, hiu hidup untuk
bisnis wisata bahari bisa memberikan sumbangan devisa sebesar Rp 300 juta
sampai dengan Rp 1,8 miliar per tahun. Ini setara dengan Rp 18 miliar
selama ikan itu hidup.
Sedangkan hiu yang dijadikan
komoditas ikan tangkap dan makanan, hanya dihargai Rp 1,3 juta per ekor.
Ini tentu saja, jauh lebih merugikan dibanding dengan hiu itu dibiarkan
hidup. The Conference of the
Parties to the Convention on International Trade in Endangered Species
(COP CITES) pada bulan Maret tahun 2013 telah memasukkan 4 spesies hiu,
jenis hiu caping: Scalloped
Hammerhead, Great Hummerhead, Smooth
Hammerhead dan satu jenis hiu koboy/Oceanic
Whitetip Shark) ke dalam daftar Appendik II CITES. Jauh sebelumnya,
jenis Hiu Paus/Whale Shark juga
telah diatur pada konvensi tersebut.
Ini berarti bahwa kegiatan
penangkapan ikan hiu walaupun masih tetap diperbolehkan, namun dengan
pengaturan yang ketat. Untuk itu, kementerian kelautan dan perikanan
telah menindaklanjutinya dengan langkah-langkah pengelolaan yang lebih
baik terhadap sumberdaya ikan hiu di Indonesia. Saat ini, Kementerian
Kelautan dan Perikanan (KKP) tengah serius melakukan upaya konservasi
Hiu, disamping upaya pengelolaan efektif kawasan konservasi yang kini
telah lebih 16 juta hektar, yang tentunya melalui upaya ini habitat hiu
telah memliki tempat yang lebih aman dari penangkapan illegal.
Upaya kami melakukan
konservasi dan merubah paradigma konservasi yang selama ini dipahami
sebagai perlindungan saja tanpa memandang keseimbangan pelestarian dan
pemanfaatannya terus dilakukan sejalan dengan prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan untuk mendukung program strategis blue economy.
Selain itu, kontribusi Indonesia
dalam konstelasi konservasi ditingkat regional juga mendapat dukungan
positif, saat ini coral triangle marine protected area system(CTMPAs)
memasuki tahap finalisasi untuk segera diimplementasikan dalam rangka
pencapaian efektivitas pengelolaan kawasan konservasi di enam negara
wilayah coral triangle. Di tingkat lokal, Pemerintah Raja Ampat juga
telah menetapkan perda yang secara khusus melarang penangkapan hiu dan
biota dilindungi lainnya di perairan Raja Ampat.
Selain itu KKP juga telah
memiliki National Plan of Action (NPOA) hiu walaupun belum dilegislasi
dan sedang direview mengikuti perkembangan saat ini. Perlu diketahui,
bahwa sebagian tindakan konservasi hiu telah diatur Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan Nomor Per.12/Men/2012 tentang Usaha Perikanan
Tangkap di Laut Lepas, khususnya untuk jenis hiu tikus. Artinya
Kementerian Kelautan dan Perikanan telah cukup serius melakukan upaya
konservasi hiu. Saat ini juga Diretorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan
bekerjasama dengan WWF, P4KSI dan LIPI sedang menyusun buku status
perikanan hiu di Indonesia.
Seluruh upaya serius
pengelolaan konservasi hiu ini, diharapkan memberi dampak positif bagi
pencitraan pariwisata Indonesia di mata dunia. Banyak wisatawan yang
berhasil memotret sejumlah eksploitasi hewan secara berlebihan, dan
mereka bagikan gambarnya di dunia maya. Tentu saja hal tersebut dapat
menjadi pencitraan buruk bagi Indonesia di dunia, dan ini jangan sampai
terjadi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar