Selasa, 16 April 2013

Konservasi Hiu untuk Pariwisata


Konservasi Hiu untuk Pariwisata
Toni Ruchimat  Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan (KKJI), Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan
SUARA KARYA, 15 April 2013

  
Menyebut dan mendengar nama hiu, yang terlintas dalam benak kita adalah sesosok hewan laut dengan gigi-gigi yang runcing, ganas, dan mampu mencium bau darah berkilometer jauhnya. Keganasan hiu juga bisa terlihat dari data statistik yang menyebutkan sekitar 10 orang meninggal akibat serangan hiu per tahun. Namun sebaliknya, 100 juta hiu juga dibunuh oleh orang-orang serakah untuk dikonsumsi.

Bagian tubuh hiu paling mahal adalah sirip. Bagian ini dimasak untuk sup sirip ikan hiu, yang kabarnya berkhasiat untuk meningkatkan stamina dan banyak lagi. Selain itu, sekarang juga sudah ada beberapa perusahaan obat-obatan, yang memproduksi minyak hati ikan hiu (Squalene), untuk meningkatkan kesehatan hati dan jantung, sementara untuk dagingnya dikonsumsi masyarakat seperti mengkonsumsi ikan pada umumnya.

Sungguh ironis, perburuan liar menyebabkan menurunya populasi hiu dengan sangat cepat dan drastis di seluruh dunia. Sedikitnya 73 juta ekor hiu dibunuh dalam setiap tahunnya. Padahal, setelah dibunuh, sebagian besar hanya diambil siripnya saja, sebagai bahan sup. Akibatnya, banyak spesies hiu telah mengalami penurunan lebih dari 75 persen. Bahkan, untuk spesies tertentu penurunan populasi mencapai 90 persen. Saat ini, hiu memang tengah menghadapi ancaman kepunahan. Populasi menjadi sangat rentan, karena pola reproduksi ikan tersebut memang lambat. Untuk seekor hiu karang, pertumbuhannya membutuhkan waktu 7-15 tahun agar menjadi dewasa secara seksual. Setelah dewasa, hiu hanya mampu bertelur atau melahirkan (bergantung pada jenis hiu), sebanyak 1 - 10 anak dengan frekuensi reproduksi satu kali setiap 2 - 3 tahun.

Dari hasil sebuah penelitian menunjukkan, hiu hidup dapat dijadikan sebagai obyek pariwisata, dan ini jauh lebih bernilai dari sisi keekonomian dibandingkan hiu mati yang diambil siripnya. Ada perhitungan yang menyebutkan, hiu hidup untuk bisnis wisata bahari bisa memberikan sumbangan devisa sebesar Rp 300 juta sampai dengan Rp 1,8 miliar per tahun. Ini setara dengan Rp 18 miliar selama ikan itu hidup.

Sedangkan hiu yang dijadikan komoditas ikan tangkap dan makanan, hanya dihargai Rp 1,3 juta per ekor. Ini tentu saja, jauh lebih merugikan dibanding dengan hiu itu dibiarkan hidup. The Conference of the Parties to the Convention on International Trade in Endangered Species (COP CITES) pada bulan Maret tahun 2013 telah memasukkan 4 spesies hiu, jenis hiu caping: Scalloped 
Hammerhead, Great Hummerhead, Smooth Hammerhead dan satu jenis hiu koboy/Oceanic Whitetip Shark) ke dalam daftar Appendik II CITES. Jauh sebelumnya, jenis Hiu Paus/Whale Shark juga telah diatur pada konvensi tersebut.

Ini berarti bahwa kegiatan penangkapan ikan hiu walaupun masih tetap diperbolehkan, namun dengan pengaturan yang ketat. Untuk itu, kementerian kelautan dan perikanan telah menindaklanjutinya dengan langkah-langkah pengelolaan yang lebih baik terhadap sumberdaya ikan hiu di Indonesia. Saat ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tengah serius melakukan upaya konservasi Hiu, disamping upaya pengelolaan efektif kawasan konservasi yang kini telah lebih 16 juta hektar, yang tentunya melalui upaya ini habitat hiu telah memliki tempat yang lebih aman dari penangkapan illegal.

Upaya kami melakukan konservasi dan merubah paradigma konservasi yang selama ini dipahami sebagai perlindungan saja tanpa memandang keseimbangan pelestarian dan pemanfaatannya terus dilakukan sejalan dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan untuk mendukung program strategis blue economy.

Selain itu, kontribusi Indonesia dalam konstelasi konservasi ditingkat regional juga mendapat dukungan positif, saat ini coral triangle marine protected area system(CTMPAs) memasuki tahap finalisasi untuk segera diimplementasikan dalam rangka pencapaian efektivitas pengelolaan kawasan konservasi di enam negara wilayah coral triangle. Di tingkat lokal, Pemerintah Raja Ampat juga telah menetapkan perda yang secara khusus melarang penangkapan hiu dan biota dilindungi lainnya di perairan Raja Ampat.

Selain itu KKP juga telah memiliki National Plan of Action (NPOA) hiu walaupun belum dilegislasi dan sedang direview mengikuti perkembangan saat ini. Perlu diketahui, bahwa sebagian tindakan konservasi hiu telah diatur Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.12/Men/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Laut Lepas, khususnya untuk jenis hiu tikus. Artinya 
Kementerian Kelautan dan Perikanan telah cukup serius melakukan upaya konservasi hiu. Saat ini juga Diretorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan bekerjasama dengan WWF, P4KSI dan LIPI sedang menyusun buku status perikanan hiu di Indonesia.

Seluruh upaya serius pengelolaan konservasi hiu ini, diharapkan memberi dampak positif bagi pencitraan pariwisata Indonesia di mata dunia. Banyak wisatawan yang berhasil memotret sejumlah eksploitasi hewan secara berlebihan, dan mereka bagikan gambarnya di dunia maya. Tentu saja hal tersebut dapat menjadi pencitraan buruk bagi Indonesia di dunia, dan ini jangan sampai terjadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar