Selasa, 16 April 2013

Bendera GAM dan Nasionalisme yang Terbelah


Bendera GAM dan Nasionalisme yang Terbelah
Donny Syofyan  Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
TEMPO.CO, 13 April 2013

  
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mengutus Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi ke Aceh guna membujuk pemerintah Aceh untuk tidak menggunakan simbol separatis Gerakan Aceh Merdeka sebagai bendera resmi provinsi yang pernah bergejolak tersebut. SBY menegaskan, langkah pemerintah Aceh tersebut bisa merusak perdamaian yang sedang berlangsung di Aceh dan membuat provinsi yang kaya sumber daya tersebut kian rentan dipengaruhi pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Setelah pembicaraan dengan anggota Dewan Perwakilan Daerah Aceh (DPRA) yang mengesahkan peraturan daerah atau qanun bendera dan lambang Aceh tersebut, Gamawan mengkritik langkah DPRA yang tidak pernah berkonsultasi dengan pemerintah pusat untuk memastikan bahwa perda itu tidak melanggar Kesepakatan Helsinki 2005. Perjanjian itu menetapkan bahwa GAM harus melakukan demobilisasi atas semua pasukan militernya dan melarang anggotanya mengenakan seragam atau menampilkan simbol militer GAM, walaupun masyarakat Aceh bisa saja menggunakan lambang daerah, termasuk bendera, lambang, dan himne.

Dilihat lebih dalam, perbedaan pemahaman terhadap Kesepakatan Helsinki 2005 antara pemerintah pusat dan Aceh, semisal penggunaan lambang bendera GAM, sesungguhnya berasal dari perbedaan dalam memahami masa lalu. Ketika pihak Aceh mendesak pemerintah pusat membentuk tim pencari fakta yang independen guna menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia di Aceh pada masa GAM, pihak Jakarta berdalih bahwa sebaiknya semua pihak--GAM, rakyat Aceh, dan TNI--tidak lagi mengungkit kesalahan dan kenangan pilu masa lalu.

Dengan alasan yang sama, pemerintah Aceh melihat bahwa menisbahkan bendera GAM--dihiasi dengan bulan sabit dan bintang dengan latar belakang merah--sebagai simbol kebangkitan GAM di Aceh benar-benar tidak relevan dan cenderung terperangkap dalam masa lalu. Gubernur Aceh Zaini Abdullah dan anggota Dewan Perwakilan Daerah Aceh (DPRA) berkeras bahwa menghubungkan bendera GAM sebagai wujud pemberontakan masa lalu hanya memperlihatkan bahwa pemerintah pusat tidak konsisten dengan pernyataannya sendiri. Bagi banyak orang Aceh, bendera GAM lebih merupakan identitas Islam dan kemusliman mereka.

Membaca butir 14.1 dari Kesepakatan Helsinki, ada klausul yang mengatakan bahwa Aceh memiliki hak untuk mempunyai bendera, lambang, dan himne sendiri. Karena itu, mereka sekarang ingin membuatnya, meskipun sudah punya lambang sebelumnya. Rakyat Aceh ingin mengubah bendera sebelumnya menjadi bendera GAM. Meski demikian, dalam butir hal lain justru ditegaskan larangan menggunakan seragam, lambang, atau simbol GAM setelah penandatanganan perjanjian kedua belah pihak. Karena itu, keberatan pemerintah masuk akal.

Pemerintah mencatat bahwa perda atau qanun tentang bendera dan lambang Aceh setidaknya melanggar tiga hal: peraturan pemerintah yang melarang penggunaan lambang separatis, perjanjian perdamaian Helsinki 2005 antara GAM dan pemerintah yang memerintahkan pembubaran kelompok separatis GAM dan “mempensiunkan” semua hal yang terkait dengan lambangnya, serta pemberian undang-undang tentang otonomi khusus Aceh.

Sebetulnya pemerintahan Aceh dan pemerintah pusat telah sepakat untuk tidak menggunakan simbol-simbol GAM dalam pertemuan sebelumnya di Hotel Sultan di Jakarta, beberapa hari sebelum pemerintah daerah Aceh dan DPRA menetapkan Perda tentang Bendera dan Lambang Aceh pada akhir Maret dengan mengadopsi bendera GAM. Ternyata pemerintah Aceh dan DPRA lebih memilih aspirasi utama di tingkat akar rumput untuk penggunaan bendera GAM di Aceh, alih-alih mengikat komitmen mereka yang telah dibuat di Jakarta bersama pemerintah.

Bagaimanapun, keputusan otoritas Aceh tetap diperdebatkan karena tidak semua masyarakat Aceh menyetujui proposal penggunaan lambang atau simbol GAM demikian, terutama mereka yang berdomisili di kawasan Aceh Tengah, Aceh Tenggara, dan Aceh Barat, yang secara historis bukan pendukung GAM dan dikenal dengan latar belakang etnis mereka yang beragam.

Jalan keluar terbaik untuk memahami MoU Perjanjian Helsinki 2005 adalah dengan tidak melibatkan optik politik, tapi harus dilihat dari perspektif hukum yang melibatkan pakar hukum, baik di Aceh maupun Jakarta, dan tokoh-tokoh yang terlibat langsung secara aktif dalam proses negosiasi dan penandatanganan perjanjian tersebut, seperti Hamid Awaluddin. Penafsiran hukum dipandang lebih obyektif, jujur, dan jauh dari kepentingan apa pun. Hal ini amat krusial dalam mengungkap pesan traktat yang orisinal, yang menjadi titik temu antara pemerintah RI dan GAM pada waktu itu.

Yang tak kalah penting adalah bahwa pemerintah tidak perlu buru-buru menuduh pemerintah daerah Aceh gagap menunjukkan nasionalisme mereka. Pemerintah perlu mengevaluasi hubungannya dengan warga Aceh pasca-Kesepakatan Helsinki 2005. Suka atau tidak, perda ini menyiratkan bahwa otoritas Aceh memberikan sinyal kepada pemerintah pusat. Masalahnya di sini adalah lebih dari sekadar tentang bendera Aceh. Ia menggugat lemahnya kepemimpinan pemerintah pusat.

Aceh adalah kawasan yang berkelimpahan kekayaan sumber daya alam--minyak dan gas. Hanya, terdapat eskalasi keraguan dan ketidakpuasan di kalangan pemerintah dan penduduk Aceh menyangkut tingginya proporsi pendapatan yang dibawa ke Jakarta dibanding keuntungan yang dinikmati oleh masyarakat Aceh di daerahnya sendiri. Pemerintah pusat harus mengatasi keluhan ini. Ketidakmampuan untuk menyelesaikan persoalan Aceh secara memuaskan bakal menjadi preseden buruk dalam hubungan dengan pemerintah lokal dan warga di provinsi lain.

Peringatan yang perlu dicamkan adalah bahwa banyak pemerintah daerah, tidak hanya di Aceh tapi juga di provinsi-provinsi lain, yang kecewa atas kepemimpinan dan kebijakan pemerintah pusat dalam mengelola negara yang masih sarat dengan korupsi, ketidakadilan ekonomi, elitisme politik, dan penegakan hukum yang tidak adil.

Jika pemerintah pusat adalah sumber teladan dalam segala hal, semua bendera provinsi akan mewakili bentuk rasa syukur dan partisipasi. Namun pemerintah sekarang ini memandu rakyat menuju disintegrasi. Kini adalah masa untuk perenungan, koreksi diri, dan rekonstruksi. Seorang pemimpin yang sangat terhormat amat dibutuhkan untuk memimpin negeri ini dan menyatukan kembali kepulauan kita dari Sabang sampai Merauke. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar