Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mengutus Menteri
Dalam Negeri Gamawan Fauzi ke Aceh guna membujuk pemerintah Aceh untuk
tidak menggunakan simbol separatis Gerakan Aceh Merdeka sebagai bendera
resmi provinsi yang pernah bergejolak tersebut. SBY menegaskan, langkah
pemerintah Aceh tersebut bisa merusak perdamaian yang sedang berlangsung
di Aceh dan membuat provinsi yang kaya sumber daya tersebut kian rentan
dipengaruhi pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Setelah pembicaraan dengan anggota Dewan Perwakilan
Daerah Aceh (DPRA) yang mengesahkan peraturan daerah atau qanun bendera
dan lambang Aceh tersebut, Gamawan mengkritik langkah DPRA yang tidak
pernah berkonsultasi dengan pemerintah pusat untuk memastikan bahwa perda
itu tidak melanggar Kesepakatan Helsinki 2005. Perjanjian itu menetapkan
bahwa GAM harus melakukan demobilisasi atas semua pasukan militernya dan
melarang anggotanya mengenakan seragam atau menampilkan simbol militer
GAM, walaupun masyarakat Aceh bisa saja menggunakan lambang daerah,
termasuk bendera, lambang, dan himne.
Dilihat lebih dalam, perbedaan pemahaman terhadap
Kesepakatan Helsinki 2005 antara pemerintah pusat dan Aceh, semisal
penggunaan lambang bendera GAM, sesungguhnya berasal dari perbedaan dalam
memahami masa lalu. Ketika pihak Aceh mendesak pemerintah pusat membentuk
tim pencari fakta yang independen guna menyelidiki pelanggaran hak asasi
manusia di Aceh pada masa GAM, pihak Jakarta berdalih bahwa sebaiknya
semua pihak--GAM, rakyat Aceh, dan TNI--tidak lagi mengungkit kesalahan
dan kenangan pilu masa lalu.
Dengan alasan yang sama, pemerintah Aceh melihat
bahwa menisbahkan bendera GAM--dihiasi dengan bulan sabit dan bintang
dengan latar belakang merah--sebagai simbol kebangkitan GAM di Aceh
benar-benar tidak relevan dan cenderung terperangkap dalam masa lalu.
Gubernur Aceh Zaini Abdullah dan anggota Dewan Perwakilan Daerah Aceh
(DPRA) berkeras bahwa menghubungkan bendera GAM sebagai wujud
pemberontakan masa lalu hanya memperlihatkan bahwa pemerintah pusat tidak
konsisten dengan pernyataannya sendiri. Bagi banyak orang Aceh, bendera
GAM lebih merupakan identitas Islam dan kemusliman mereka.
Membaca butir 14.1 dari Kesepakatan Helsinki, ada
klausul yang mengatakan bahwa Aceh memiliki hak untuk mempunyai bendera,
lambang, dan himne sendiri. Karena itu, mereka sekarang ingin membuatnya,
meskipun sudah punya lambang sebelumnya. Rakyat Aceh ingin mengubah
bendera sebelumnya menjadi bendera GAM. Meski demikian, dalam butir hal
lain justru ditegaskan larangan menggunakan seragam, lambang, atau simbol
GAM setelah penandatanganan perjanjian kedua belah pihak. Karena itu,
keberatan pemerintah masuk akal.
Pemerintah mencatat bahwa perda atau qanun tentang
bendera dan lambang Aceh setidaknya melanggar tiga hal: peraturan
pemerintah yang melarang penggunaan lambang separatis, perjanjian
perdamaian Helsinki 2005 antara GAM dan pemerintah yang memerintahkan
pembubaran kelompok separatis GAM dan “mempensiunkan” semua hal yang
terkait dengan lambangnya, serta pemberian undang-undang tentang otonomi
khusus Aceh.
Sebetulnya pemerintahan Aceh dan pemerintah pusat telah sepakat untuk
tidak menggunakan simbol-simbol GAM dalam pertemuan sebelumnya di Hotel
Sultan di Jakarta, beberapa hari sebelum pemerintah daerah Aceh dan DPRA
menetapkan Perda tentang Bendera dan Lambang Aceh pada akhir Maret dengan
mengadopsi bendera GAM. Ternyata pemerintah Aceh dan DPRA lebih memilih
aspirasi utama di tingkat akar rumput untuk penggunaan bendera GAM di
Aceh, alih-alih mengikat komitmen mereka yang telah dibuat di Jakarta
bersama pemerintah.
Bagaimanapun, keputusan otoritas Aceh tetap diperdebatkan karena tidak
semua masyarakat Aceh menyetujui proposal penggunaan lambang atau simbol
GAM demikian, terutama mereka yang berdomisili di kawasan Aceh Tengah,
Aceh Tenggara, dan Aceh Barat, yang secara historis bukan pendukung GAM
dan dikenal dengan latar belakang etnis mereka yang beragam.
Jalan keluar terbaik untuk memahami MoU Perjanjian Helsinki 2005 adalah
dengan tidak melibatkan optik politik, tapi harus dilihat dari perspektif
hukum yang melibatkan pakar hukum, baik di Aceh maupun Jakarta, dan
tokoh-tokoh yang terlibat langsung secara aktif dalam proses negosiasi
dan penandatanganan perjanjian tersebut, seperti Hamid Awaluddin.
Penafsiran hukum dipandang lebih obyektif, jujur, dan jauh dari
kepentingan apa pun. Hal ini amat krusial dalam mengungkap pesan traktat
yang orisinal, yang menjadi titik temu antara pemerintah RI dan GAM pada
waktu itu.
Yang tak kalah penting adalah bahwa pemerintah tidak
perlu buru-buru menuduh pemerintah daerah Aceh gagap menunjukkan
nasionalisme mereka. Pemerintah perlu mengevaluasi hubungannya dengan
warga Aceh pasca-Kesepakatan Helsinki 2005. Suka atau tidak, perda ini
menyiratkan bahwa otoritas Aceh memberikan sinyal kepada pemerintah
pusat. Masalahnya di sini adalah lebih dari sekadar tentang bendera Aceh.
Ia menggugat lemahnya kepemimpinan pemerintah pusat.
Aceh adalah kawasan yang berkelimpahan kekayaan sumber daya alam--minyak
dan gas. Hanya, terdapat eskalasi keraguan dan ketidakpuasan di kalangan
pemerintah dan penduduk Aceh menyangkut tingginya proporsi pendapatan
yang dibawa ke Jakarta dibanding keuntungan yang dinikmati oleh
masyarakat Aceh di daerahnya sendiri. Pemerintah pusat harus mengatasi
keluhan ini. Ketidakmampuan untuk menyelesaikan persoalan Aceh secara
memuaskan bakal menjadi preseden buruk dalam hubungan dengan pemerintah
lokal dan warga di provinsi lain.
Peringatan yang perlu dicamkan adalah bahwa banyak pemerintah daerah,
tidak hanya di Aceh tapi juga di provinsi-provinsi lain, yang kecewa atas
kepemimpinan dan kebijakan pemerintah pusat dalam mengelola negara yang
masih sarat dengan korupsi, ketidakadilan ekonomi, elitisme politik, dan
penegakan hukum yang tidak adil.
Jika pemerintah pusat adalah sumber teladan dalam segala hal, semua
bendera provinsi akan mewakili bentuk rasa syukur dan partisipasi. Namun
pemerintah sekarang ini memandu rakyat menuju disintegrasi. Kini adalah
masa untuk perenungan, koreksi diri, dan rekonstruksi. Seorang pemimpin
yang sangat terhormat amat dibutuhkan untuk memimpin negeri ini dan
menyatukan kembali kepulauan kita dari Sabang sampai Merauke. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar