Rabu, 03 April 2013

Tumbangnya Dinatisisme Negeri


Tumbangnya Dinatisisme Negeri
Munadi Herlambang  ;   Pengamat Sosial
KORAN SINDO, 03 April 2013

  
Tumbuhnya negeri dengan kekuatan pasukan perang, politik, dan kekuatan ekonomi di dunia ini dapat disebut bagian dari lahirnya pengaruh kekuasaan yang “mendinasti.” Kini, jelmaan monarki sebagai biduan demokrasi yang sesungguhnya adalah disebut dinasti. 

Genre (aliran) kekuasaan mendinasti akan mewariskan kedudukan pada para pewaris keturunannya. Misalnya kejayaan Islam dalam dinasti Ummaiyah (661–750 M) ketika ditanggalkan oleh dinasti Abbasiyah pada tahun 750 M ditandai kematian putra pewarisnya, Muhammad Marwan II di Mesir, karena tidak kuat menghadapi ekspansi politik, kekuasaan, dan perebutan wilayah oleh Abbasiyah. 

Sudah lazim, jika kekuasaan diserahkan pada putra mahkotanya. Namun jika sang putra mahkota belum mampu menjalankan roda pemerintahan atau masih mudah ditaklukkan oleh penguasa lain, kepemimpinan yang dia emban dalam istilah Jawa dikatakan; isih ijo royo-royo (masih muda), belum mumpuni. Akankah negeri ini akan mengalami keruntuhan seperti cerita di atas? 

Sepenggal Jawa Kulon 

Dahulu kala, di Jawa bagian Barat pada abad ke 16 ada seorang raja bernama Sultan Ageng Tirtayasa. Ia intelektualis, arif bijaksana, dan mengayomi rakyatnya dari keterjajahan kolonialisme Belanda di kerajaan Banten pada waktu itu. Wilayah kekuasaannya sangat luas, letak strategis perdagangan maritim Ujung Kulon (Barat) di Pulau Jawa. Namun sejak mendaratnya bangsa Eropa; Portugis, Spanyol, dan Belanda, raja curiga kalau kedatangan mereka tidak hanya sekedar dagang melainkan ada udang di balik batu. 

Rupanya; iya, benar, mereka, terutama Belanda, sengaja datang bukan hanya untuk berdagang tapi berhasrat menguasai seluruh wilayah dan hasil bumi berupa rempah-rempah, cengkih, lada, dan sebagainya. Karena itulah, Sultan Ageng Tirtayasa konfrontatif melakukan perlawanan terhadap Belanda dengan bala bantuan Fatahillah Demak Bintoro hingga Belanda bisa digagalkan kepentingannya. 

Namun, Sultan Ageng Tirtayasa gagal menyelamatkan anak kandungnya sendiri, yaitu Sultan Haji. Saat Sultan Haji berseteru dengan Pangeran Purbaya, Sultan Haji berhasil dibujuk Belanda untuk menentang dan melengserkan tahta ayahnya sendiri. Suap yang diberikan Belanda pada Sultan Haji berupa amunisi perang, persenjataan, dan beragam keperluan logistik, sehingga Belanda berani berkorban mengeluarkan ribuan gulden. 

Padahal, suap yang Sultan Haji terima dari Belanda tidak seberapa jika dibandingankan dengan kekayaan maritim Jawa kulon kalau saja dia cerdas mengelola itu. Kisah itu bagian dari runtuhnya sebuah kerajaan besar di negeri ini akibat ulah anaknya sendiri yang berambisi menjadi raja. Ia lalim ketika harus menerima suap dari Belanda. Ia bahkan lupa perjuangan para pasukan yang begitu setia pada Banten. Berkorban demi kejayaan kesultanan di bawah kekuasaan ayahnya sendiri, Sultan Ageng Tirtayasa. 

Dinasti 

Di Timur Tengah ataupun di Jawa, kekuasaan seorang raja manakala didaulatkan pada putra mahkotanya merupakan fluktuatif suatu kejayaan dan keruntuhan. Memang, raja pertama bisa dikatakan berhasil dan mengalami puncak kedigdayaan, namun belum tentu ketika kekuasaan itu diwariskan pada putranya bisa jauh lebih kokoh. Muhammad Marwan II, ia keturunan raja dinasti Ummaiyah yang hampir berkuasa satu abad di Timur Tengah.

Di saat Marwan II mulai mengendalikan kekuasaan, justru pemberontakan terjadi di manamana hingga Marwan II sendiri tewas dibunuh pasukan musuh yaitu; Abbasiyah di suatu perang kecil di Mesir. Pun, Banten ketika damai di tangan Sultan Ageng Tirtayasa, goyah di saat putranya Sultan Haji, disuntik pendanaan oleh Belanda lantas memberontak pada ayah kandungnya sendiri demi ambisi dan kekuasaan. Padahal, Sultan Haji hanya diperalat oleh kelompok Sengkuni yaitu VOC Belanda. 

Negeri ini, di zaman demokrasi, kadang tontonan model dinasti masih tampak di mata masyarakat Indonesia. Anehnya ketika genta demokrasi dan sistemnya bergulir untuk memilih pemimpin eksekutif dengan pemilihan umum, mengapa justru melahirkan gaya kepriyayian, yang sesungguhnya muncul akibat citra dan cerita media para penguasa. Dinasti memang berakar dari zaman primitif di mana kekuasaan itu diwariskan pada keturunan darah dagingnya sendiri melalui segelintir orang. 

Namun seiring demokrasi yang mulai tumbuh di negara ini, dinasti mengalami perubahan etos politik dengan cara mempersiapkan putra-putri penguasa yang didaulat untuk mengambil peran penting dalam politik kepartaian maupun birokrasi pemerintahan. Dinasti yang menyusup dalam ruang demokrasi demikian adalah penyubliman makna sosial politik. Kacamata politik yang beraliran demokrasi tak sepenuhnya sepakat seiring dengan konsep demokrasi pluralistik di negeri ini. 

Kekuasaan dan kepemimpinan ketika para elite-elite negeri masih melukiskan kuasanya melalui cara pendinastian. Paling tidak apabila dinasti penguasa di zaman ini masih menjadi mata rantai kebuntuan demokrasi, maka akan melahirkan generasi monarki yang setiap saat selalu berhadapan dengan sistem demokrasi di tengah-tengah rakyatnya sendiri. Benturan-benturan politik yang bercorak demokrasi akan menggempur sistematika dinasti demikian hingga melahirkan generasi keruntuhan. 

Runtuhnya dinasti penguasa yang tak sejalan dengan demokrasi di negeri ini bagai kekuasaan masa lalu yang sengaja akan dihidupkan di masa kini. Namun, masyarakat kita hari ini lebih paham dengan perbedaan corak dinasti kekuasaan dan demokrasi. Mereka tahu apa yang harus diikuti dan mana yang tidak sesuai dengan demokrasi. Kalau kita mau berbenah diri untuk negeri, apakah demokrasi tinggal diam di saat pendinastian itu sudah mulai kentara di hadapan publik? 

Mari kita simak, sejarah lahirnya negeri ini adalah kedaulatan yang menganut musyawarah. Hadirnya mufakat diamini sebagai amanah rakyat untuk berkeadilan dan tidak ada perbedaan. Karena tidak ada nilai dan prestasi yang lebih bagi dinasti. Karena itu, kekuasaan itu adalah kembali pada rakyat dan oleh rakyat untuk rakyat. 

Senada dengan cerita dinasti Ummaiyah dan kesultanan Banten, di saat kekuasaan itu diserahkan pada darah dagingnya sendiri lalu ada pengkhianatan, ada kelemahan kepemimpinan (leadership), atau terkooptasi oleh para Sengkuni di sebelah kanan-kiri penguasa, maka warisan pendinastian yang dilahirkan oleh bapak kandung dinasti, akan berguguran dengan sendirinya. 

Dinastisisme kekuasaan akan hilang dan rontok dengan lahirnya demokrasi manakala kaum muda berani cerdas, berperilaku, berolah pikir-belajar dalam menyikapi pergulatan sosial politik di negeri ini. Sebab tegaknya bangsa di zaman modern tidak bisa lepas dari stabilitas politik dan pemerintahan yang saling beriringan demi kemajuan bangsa dan negara di masa mendatang. 

Bukan pemerintah yang mendinastikan diri pada pemangku kekuasaan yang belum waktunya dan berakibat pada runtuhnya dinasti tersebut. Negeri ini masih punya mimpi besar demokrasi yang belum terwujud yaitu menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar