Tumbuhnya
negeri dengan kekuatan pasukan perang, politik, dan kekuatan ekonomi di
dunia ini dapat disebut bagian dari lahirnya pengaruh kekuasaan yang
“mendinasti.” Kini, jelmaan monarki sebagai biduan demokrasi yang
sesungguhnya adalah disebut dinasti.
Genre
(aliran) kekuasaan mendinasti akan mewariskan kedudukan pada para pewaris
keturunannya. Misalnya kejayaan Islam dalam dinasti Ummaiyah (661–750 M)
ketika ditanggalkan oleh dinasti Abbasiyah pada tahun 750 M ditandai
kematian putra pewarisnya, Muhammad Marwan II di Mesir, karena tidak kuat
menghadapi ekspansi politik, kekuasaan, dan perebutan wilayah oleh
Abbasiyah.
Sudah lazim,
jika kekuasaan diserahkan pada putra mahkotanya. Namun jika sang putra
mahkota belum mampu menjalankan roda pemerintahan atau masih mudah
ditaklukkan oleh penguasa lain, kepemimpinan yang dia emban dalam istilah
Jawa dikatakan; isih ijo royo-royo (masih muda), belum mumpuni. Akankah
negeri ini akan mengalami keruntuhan seperti cerita di atas?
Sepenggal Jawa Kulon
Dahulu kala,
di Jawa bagian Barat pada abad ke 16 ada seorang raja bernama Sultan
Ageng Tirtayasa. Ia intelektualis, arif bijaksana, dan mengayomi
rakyatnya dari keterjajahan kolonialisme Belanda di kerajaan Banten pada
waktu itu. Wilayah kekuasaannya sangat luas, letak strategis perdagangan
maritim Ujung Kulon (Barat) di Pulau Jawa. Namun sejak mendaratnya bangsa
Eropa; Portugis, Spanyol, dan Belanda, raja curiga kalau kedatangan
mereka tidak hanya sekedar dagang melainkan ada udang di balik batu.
Rupanya; iya,
benar, mereka, terutama Belanda, sengaja datang bukan hanya untuk
berdagang tapi berhasrat menguasai seluruh wilayah dan hasil bumi berupa
rempah-rempah, cengkih, lada, dan sebagainya. Karena itulah, Sultan Ageng
Tirtayasa konfrontatif melakukan perlawanan terhadap Belanda dengan bala
bantuan Fatahillah Demak Bintoro hingga Belanda bisa digagalkan
kepentingannya.
Namun, Sultan
Ageng Tirtayasa gagal menyelamatkan anak kandungnya sendiri, yaitu Sultan
Haji. Saat Sultan Haji berseteru dengan Pangeran Purbaya, Sultan Haji
berhasil dibujuk Belanda untuk menentang dan melengserkan tahta ayahnya
sendiri. Suap yang diberikan Belanda pada Sultan Haji berupa amunisi
perang, persenjataan, dan beragam keperluan logistik, sehingga Belanda
berani berkorban mengeluarkan ribuan gulden.
Padahal, suap
yang Sultan Haji terima dari Belanda tidak seberapa jika dibandingankan
dengan kekayaan maritim Jawa kulon kalau saja dia cerdas mengelola itu.
Kisah itu bagian dari runtuhnya sebuah kerajaan besar di negeri ini
akibat ulah anaknya sendiri yang berambisi menjadi raja. Ia lalim ketika
harus menerima suap dari Belanda. Ia bahkan lupa perjuangan para pasukan
yang begitu setia pada Banten. Berkorban demi kejayaan kesultanan di
bawah kekuasaan ayahnya sendiri, Sultan Ageng Tirtayasa.
Dinasti
Di Timur
Tengah ataupun di Jawa, kekuasaan seorang raja manakala didaulatkan pada
putra mahkotanya merupakan fluktuatif suatu kejayaan dan keruntuhan.
Memang, raja pertama bisa dikatakan berhasil dan mengalami puncak
kedigdayaan, namun belum tentu ketika kekuasaan itu diwariskan pada
putranya bisa jauh lebih kokoh. Muhammad Marwan II, ia keturunan raja
dinasti Ummaiyah yang hampir berkuasa satu abad di Timur Tengah.
Di saat
Marwan II mulai mengendalikan kekuasaan, justru pemberontakan terjadi di
manamana hingga Marwan II sendiri tewas dibunuh pasukan musuh yaitu;
Abbasiyah di suatu perang kecil di Mesir. Pun, Banten ketika damai di
tangan Sultan Ageng Tirtayasa, goyah di saat putranya Sultan Haji,
disuntik pendanaan oleh Belanda lantas memberontak pada ayah kandungnya
sendiri demi ambisi dan kekuasaan. Padahal, Sultan Haji hanya diperalat
oleh kelompok Sengkuni yaitu VOC Belanda.
Negeri ini,
di zaman demokrasi, kadang tontonan model dinasti masih tampak di mata
masyarakat Indonesia. Anehnya ketika genta demokrasi dan sistemnya
bergulir untuk memilih pemimpin eksekutif dengan pemilihan umum, mengapa
justru melahirkan gaya kepriyayian, yang sesungguhnya muncul akibat citra
dan cerita media para penguasa. Dinasti memang berakar dari zaman primitif
di mana kekuasaan itu diwariskan pada keturunan darah dagingnya sendiri
melalui segelintir orang.
Namun seiring
demokrasi yang mulai tumbuh di negara ini, dinasti mengalami perubahan
etos politik dengan cara mempersiapkan putra-putri penguasa yang didaulat
untuk mengambil peran penting dalam politik kepartaian maupun birokrasi
pemerintahan. Dinasti yang menyusup dalam ruang demokrasi demikian adalah
penyubliman makna sosial politik. Kacamata politik yang beraliran
demokrasi tak sepenuhnya sepakat seiring dengan konsep demokrasi
pluralistik di negeri ini.
Kekuasaan dan
kepemimpinan ketika para elite-elite negeri masih melukiskan kuasanya
melalui cara pendinastian. Paling tidak apabila dinasti penguasa di zaman
ini masih menjadi mata rantai kebuntuan demokrasi, maka akan melahirkan
generasi monarki yang setiap saat selalu berhadapan dengan sistem
demokrasi di tengah-tengah rakyatnya sendiri. Benturan-benturan politik
yang bercorak demokrasi akan menggempur sistematika dinasti demikian
hingga melahirkan generasi keruntuhan.
Runtuhnya
dinasti penguasa yang tak sejalan dengan demokrasi di negeri ini bagai
kekuasaan masa lalu yang sengaja akan dihidupkan di masa kini. Namun,
masyarakat kita hari ini lebih paham dengan perbedaan corak dinasti
kekuasaan dan demokrasi. Mereka tahu apa yang harus diikuti dan mana yang
tidak sesuai dengan demokrasi. Kalau kita mau berbenah diri untuk negeri,
apakah demokrasi tinggal diam di saat pendinastian itu sudah mulai
kentara di hadapan publik?
Mari kita
simak, sejarah lahirnya negeri ini adalah kedaulatan yang menganut
musyawarah. Hadirnya mufakat diamini sebagai amanah rakyat untuk
berkeadilan dan tidak ada perbedaan. Karena tidak ada nilai dan prestasi
yang lebih bagi dinasti. Karena itu, kekuasaan itu adalah kembali pada
rakyat dan oleh rakyat untuk rakyat.
Senada dengan
cerita dinasti Ummaiyah dan kesultanan Banten, di saat kekuasaan itu
diserahkan pada darah dagingnya sendiri lalu ada pengkhianatan, ada
kelemahan kepemimpinan (leadership), atau terkooptasi oleh para Sengkuni
di sebelah kanan-kiri penguasa, maka warisan pendinastian yang dilahirkan
oleh bapak kandung dinasti, akan berguguran dengan sendirinya.
Dinastisisme
kekuasaan akan hilang dan rontok dengan lahirnya demokrasi manakala kaum
muda berani cerdas, berperilaku, berolah pikir-belajar dalam menyikapi
pergulatan sosial politik di negeri ini. Sebab tegaknya bangsa di zaman
modern tidak bisa lepas dari stabilitas politik dan pemerintahan yang
saling beriringan demi kemajuan bangsa dan negara di masa mendatang.
Bukan
pemerintah yang mendinastikan diri pada pemangku kekuasaan yang belum
waktunya dan berakibat pada runtuhnya dinasti tersebut. Negeri ini masih
punya mimpi besar demokrasi yang belum terwujud yaitu menciptakan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar