Rabu, 03 April 2013

Paranoidemokrat untuk Sembakoyudho


Paranoidemokrat untuk Sembakoyudho
Ostaf Al Mustafa  ;   Majelis Kedaulatan Rakyat Indonesia (MKRI) 
Sulawesi-Selatan 
KORAN SINDO, 03 April 2013

  
“ORANG yang sepenuhnya paranoid cukup pintar untuk tidak bertindak seperti orang yang paranoid”, demikian kata Q, seorang tokoh karakter Star Trek dalam episode Next Generation. 

Bila SBY bisa menyembunyikan sikap paranoid dibalik kemampuan pencitraan tebar pesonanya, tak akan pernah digelar 12.319 polisi dan TNI untuk mengamankan pembagian sembako yang dilakukan Majelis Kedaulatan Rakyat Indonesia (MKRI). Dalam hitungan Adian Napitupulu, Sekjen Perhimpunan Nasional Aktivis (PENA) ’98, biaya menjaga istana selama tiga hari, 24-26 Maret sekitar Rp 3,6 miliar, hanya untuk konsumsi. 

Konsumsi itu sekitar Rp100.000 per orang/hari. Mobilisasi alat tempur untuk mengepung aktivitas Ratna Sarumpaet, nenek jelang 70 tahun itu, dapat mencapai Rp50 juta per hari. Sikap paranoid SBY selama tiga hari menghabiskan uang negara sekitar Rp 3.750.000.000 atau setara dengan membangun lima bangunan sekolah dasar. MKRI membagi sembako dari jarak 1,5 kilometer dari istana untuk 3.000 orang dengan isi 1 kg beras, 3 bungkus mi instan, dan 3 butir bawang merah. 

Hanya untuk urusan pembagian sembako itu, SBY telah tujuh kali menyampaikan langsung ke-paranoidan-nya dalam isu kudeta. SBY telah dipermalukan dan menjadi objek tertawaan besar, setidaknya lebih dari 100 duta besar berikut atase- atasenya karena telah melakukan pagelaran pasukan tempur untuk ‘Sembakoyudho’ (perang melawan pembagian sembako). “Kenyataannya presiden meneror kita semua dengan isu kudeta dan ini sama sekali tidak berguna,” tegas Eva Sundari, politisi PDIP (25/3). 

Level paranoid SBY makin menggila ketika membuat Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat (PD) di Bali. Pengamanan seribu polisi sekaligus mengongkosi peserta KLB yang juga sama banyaknya. Dari segi konsumsi dan akomodasi, biaya untuk wisata paranoid KLB itu berkisar Rp3 miliar. Tentu pembekalan ketakutan itu perlu diperbesar dengan atribut, bendera, spanduk, dan baliho-baliho raksasa yang tersebar merata di Bali. 

Mahasiswa Bali sama sekali tak punya organ keras dalam perlawanan terhadap penguasa. Eksotisme pantai, bikini, nudisme, ukiran, dan tontonan untuk wisatawan telah menjadi peredam otomatis bagi mahasiswa Bali untuk tidak menyerang KLB PD. Ketakutan sempurna dan terorganisasi ini selama sepekan, 24-30 Maret, secara bruto berbiaya Rp6,7 miliar. 

Masih banyak komponen biaya yang tidak dihitung perinciannya, sehingga bisa semakin besar anggaran riil dari sikap paranoid berkelanjutan itu. Adian memastikan biaya kotor ‘paranoidemokrat’ SBY setara dengan biaya kuliah 1.100 mahasiswa perguruan tinggi negeri (PTN) selama setahun. 

Bila mahasiswa sebanyak itu mau menyediakan waktu hanya selama sepekan duduk-duduk saja, tanpa perlu melakukan apapun di depan istana, kekuasaan SBY akan tamat dengan biaya rendah. Tapi dimanakah para mahasiswa itu berada ketika rakyat membutuhkan mereka untuk memangkas semua biaya ketakutan dan sikap overparanoid SBY? Tragis sekali, mahasiswa angkatan 2000-an di seluruh Indonesia mati kutu di rambut masing-masing. 

Mereka malas membuat sejarah untuk menunjukkan kedaulatan intelektual kritis masa muda. Pergerakan mereka hancur total karena menyebarkan intrik dan isu agar mereka saling benci, sikat, cakar-cakaran, dan curiga. Kegarangan mayoritas mahasiswa terhadap SBY-Boediono hanya dalam dunia virtual di laptop yang terkoneksi internet maupun smartphone dan berbagai varian gadget lainnya. 

Mereka kurang menunjukkan eksistensi riil perlawanan ekstra-konstitusional di jalanan. Mereka gagal untuk sepenuhnya berpikir cerdas demi memastikan hanya satu lawan yang harus dihadapi. Mereka juga menduplikasikan sikap paranoid SBY ke pergerakan dengan menata sendiri ketakutan- ketakutan yang tak beralasan keilmiahan, bahkan tanpa alasan apapun. 

Cara penduplikasian sikap paranoid SBY dengan membuat klarifikasi isu gerakan 25 Maret, untuk memastikan mereka tak punya kaitan apapun dengan MKRI. Makassar dan Jambi sangat menyolok penduplikasian sikap paranoid itu. Pernyataan ketakutan puluhan aktivis Jambi disampaikan di hadapan Direktur Intelkam Polda Jambi Kombes Pol Bagus Kurniawan, Jumat (22/3). 

Betapa besar ketakutan itu sampai harus memastikan mereka membuat konferensi pers di hadapan polisi. Organ-organ aksi di Makassar menyebarkan rilis klarifikasi agar tidak terkait dengan gerakan 25 Maret. Teror psikologis bahwa MKRI akan menjadi aktor utama dalam kudeta berhasil meng-antiklimakskan gerakan mahasiswa di Makassar. Aksi instalasi pembakaran mayat SBY-Boediono di Bundaran Pettarani-Hertasning tak bersisa apapun. 

Bahkan, tidak ada pesan asap sedebu dari pembakaran ban pada 22-23 Maret. Prosa demo mahasiswa Makassar sangat lemah menggunakan idiom intelektualitas bahasa tandingan. Mereka memutilasi sendiri batang leher perlawanan terhadap SBY-Boediono dengan kelemahan dalam penulisan klarifikasi. Itu memastikan intelektualitas kritis mereka belum terdefragmentasi dengan ban-ban yang terbakar. 

Enam poin klarifikasi mereka tak punya diksi kuat untuk sebagaimana standar bahasa revolusioner. Sebelum ke jalan untuk memasang instalasi, membakar ban, maupun orasi. Harusnya mereka berlatih berbahasa Indonesia secara baik, benar, dan beramunisi ‘revodiksi idiomatik’ (diksi idiomatik yang revolusioner), “Karena kata adalah senjata”, sebagaimana ungkapan Subcomandante Insurgente Marcos dalam kompilasi, “Our Word is Our Weapon”. 

HMI Makassar ke Kongres HMI di Pondok Gede hanya menjadi permainan jari kelingking politisi Golkar. Bahkan, mengamuk hanya karena kurang makan. Mereka tak berdaulat atas hasrat perut. Padahal, kekuatan lapar itu penting untuk meledakkan revolusi di berbagai negara. HMI tak lagi memiliki moral gerakan progresif- revolusioner dan cuma memitoskan ungkapan ringkih berupa ‘Yakin Usaha Sampai’ (Yakusa). 

MKRI akhirnya sendirian menghadapi mesin perang negara dalam ‘Sembakoyudho’ itu. MKRI masih kukuh dengan pemerintahan transisi. Adanya KLB PD di Bali memperlihatkan negara ini makin lemah. Presiden harusnya menangani masalah utama nasional yang dirangkum dalam ultimatum MKRI, tapi malah justru turun pangkat menjadi ketua umum partai. 

SBY setengah isi dan setengah kosong dalam gelas retak keparanoidannya. Ia mendelegasikan jabatan ketua umum ke orang lain dengan membuat jabatan baru berupa ketua harian. Bila SBY sepenuhnya paranoid dan itu memang lebih baik, jabatan sebagai presiden harus juga dikerjakan tugasnya bukan lagi dirinya. 

Jabatan baru itu seperti Presiden Harian RI atau negara ini ditangani seorang profesional yang disewa paruh waktu untuk menjalankan tugas-tugas kepresidenan. Supaya kesempurnaan itu tepat akurasinya, sebaiknya pejabat aktor kepresidenan cukup pintar pula untuk paranoid sepenuh-penuhnya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar