“ORANG
yang sepenuhnya paranoid cukup pintar untuk tidak bertindak seperti orang
yang paranoid”, demikian kata Q, seorang tokoh karakter Star Trek dalam
episode Next Generation.
Bila SBY bisa
menyembunyikan sikap paranoid dibalik kemampuan pencitraan tebar
pesonanya, tak akan pernah digelar 12.319 polisi dan TNI untuk
mengamankan pembagian sembako yang dilakukan Majelis Kedaulatan Rakyat
Indonesia (MKRI). Dalam hitungan Adian Napitupulu, Sekjen Perhimpunan
Nasional Aktivis (PENA) ’98, biaya menjaga istana selama tiga hari, 24-26
Maret sekitar Rp 3,6 miliar, hanya untuk konsumsi.
Konsumsi itu
sekitar Rp100.000 per orang/hari. Mobilisasi alat tempur untuk mengepung
aktivitas Ratna Sarumpaet, nenek jelang 70 tahun itu, dapat mencapai Rp50
juta per hari. Sikap paranoid SBY selama tiga hari menghabiskan uang
negara sekitar Rp 3.750.000.000 atau setara dengan membangun lima
bangunan sekolah dasar. MKRI membagi sembako dari jarak 1,5 kilometer
dari istana untuk 3.000 orang dengan isi 1 kg beras, 3 bungkus mi instan,
dan 3 butir bawang merah.
Hanya untuk
urusan pembagian sembako itu, SBY telah tujuh kali menyampaikan langsung
ke-paranoidan-nya dalam isu kudeta. SBY telah dipermalukan dan menjadi
objek tertawaan besar, setidaknya lebih dari 100 duta besar berikut
atase- atasenya karena telah melakukan pagelaran pasukan tempur untuk
‘Sembakoyudho’ (perang melawan pembagian sembako). “Kenyataannya presiden
meneror kita semua dengan isu kudeta dan ini sama sekali tidak berguna,”
tegas Eva Sundari, politisi PDIP (25/3).
Level
paranoid SBY makin menggila ketika membuat Kongres Luar Biasa (KLB)
Partai Demokrat (PD) di Bali. Pengamanan seribu polisi sekaligus
mengongkosi peserta KLB yang juga sama banyaknya. Dari segi konsumsi dan
akomodasi, biaya untuk wisata paranoid KLB itu berkisar Rp3 miliar. Tentu
pembekalan ketakutan itu perlu diperbesar dengan atribut, bendera,
spanduk, dan baliho-baliho raksasa yang tersebar merata di Bali.
Mahasiswa
Bali sama sekali tak punya organ keras dalam perlawanan terhadap
penguasa. Eksotisme pantai, bikini, nudisme, ukiran, dan tontonan untuk
wisatawan telah menjadi peredam otomatis bagi mahasiswa Bali untuk tidak
menyerang KLB PD. Ketakutan sempurna dan terorganisasi ini selama
sepekan, 24-30 Maret, secara bruto berbiaya Rp6,7 miliar.
Masih banyak
komponen biaya yang tidak dihitung perinciannya, sehingga bisa semakin
besar anggaran riil dari sikap paranoid berkelanjutan itu. Adian
memastikan biaya kotor ‘paranoidemokrat’ SBY setara dengan biaya kuliah
1.100 mahasiswa perguruan tinggi negeri (PTN) selama setahun.
Bila
mahasiswa sebanyak itu mau menyediakan waktu hanya selama sepekan
duduk-duduk saja, tanpa perlu melakukan apapun di depan istana, kekuasaan
SBY akan tamat dengan biaya rendah. Tapi dimanakah para mahasiswa itu
berada ketika rakyat membutuhkan mereka untuk memangkas semua biaya
ketakutan dan sikap overparanoid SBY? Tragis sekali, mahasiswa angkatan
2000-an di seluruh Indonesia mati kutu di rambut masing-masing.
Mereka malas
membuat sejarah untuk menunjukkan kedaulatan intelektual kritis masa
muda. Pergerakan mereka hancur total karena menyebarkan intrik dan isu
agar mereka saling benci, sikat, cakar-cakaran, dan curiga. Kegarangan
mayoritas mahasiswa terhadap SBY-Boediono hanya dalam dunia virtual di
laptop yang terkoneksi internet maupun smartphone dan berbagai varian
gadget lainnya.
Mereka kurang
menunjukkan eksistensi riil perlawanan ekstra-konstitusional di jalanan.
Mereka gagal untuk sepenuhnya berpikir cerdas demi memastikan hanya satu
lawan yang harus dihadapi. Mereka juga menduplikasikan sikap paranoid SBY
ke pergerakan dengan menata sendiri ketakutan- ketakutan yang tak
beralasan keilmiahan, bahkan tanpa alasan apapun.
Cara
penduplikasian sikap paranoid SBY dengan membuat klarifikasi isu gerakan
25 Maret, untuk memastikan mereka tak punya kaitan apapun dengan MKRI.
Makassar dan Jambi sangat menyolok penduplikasian sikap paranoid itu.
Pernyataan ketakutan puluhan aktivis Jambi disampaikan di hadapan
Direktur Intelkam Polda Jambi Kombes Pol Bagus Kurniawan, Jumat (22/3).
Betapa besar
ketakutan itu sampai harus memastikan mereka membuat konferensi pers di
hadapan polisi. Organ-organ aksi di Makassar menyebarkan rilis klarifikasi
agar tidak terkait dengan gerakan 25 Maret. Teror psikologis bahwa MKRI
akan menjadi aktor utama dalam kudeta berhasil meng-antiklimakskan
gerakan mahasiswa di Makassar. Aksi instalasi pembakaran mayat
SBY-Boediono di Bundaran Pettarani-Hertasning tak bersisa apapun.
Bahkan, tidak
ada pesan asap sedebu dari pembakaran ban pada 22-23 Maret. Prosa demo
mahasiswa Makassar sangat lemah menggunakan idiom intelektualitas bahasa
tandingan. Mereka memutilasi sendiri batang leher perlawanan terhadap
SBY-Boediono dengan kelemahan dalam penulisan klarifikasi. Itu memastikan
intelektualitas kritis mereka belum terdefragmentasi dengan ban-ban yang
terbakar.
Enam poin
klarifikasi mereka tak punya diksi kuat untuk sebagaimana standar bahasa
revolusioner. Sebelum ke jalan untuk memasang instalasi, membakar ban,
maupun orasi. Harusnya mereka berlatih berbahasa Indonesia secara baik,
benar, dan beramunisi ‘revodiksi idiomatik’ (diksi idiomatik yang
revolusioner), “Karena kata adalah senjata”, sebagaimana ungkapan
Subcomandante Insurgente Marcos dalam kompilasi, “Our Word is Our Weapon”.
HMI Makassar
ke Kongres HMI di Pondok Gede hanya menjadi permainan jari kelingking
politisi Golkar. Bahkan, mengamuk hanya karena kurang makan. Mereka tak
berdaulat atas hasrat perut. Padahal, kekuatan lapar itu penting untuk
meledakkan revolusi di berbagai negara. HMI tak lagi memiliki moral
gerakan progresif- revolusioner dan cuma memitoskan ungkapan ringkih
berupa ‘Yakin Usaha Sampai’ (Yakusa).
MKRI akhirnya
sendirian menghadapi mesin perang negara dalam ‘Sembakoyudho’ itu. MKRI
masih kukuh dengan pemerintahan transisi. Adanya KLB PD di Bali
memperlihatkan negara ini makin lemah. Presiden harusnya menangani
masalah utama nasional yang dirangkum dalam ultimatum MKRI, tapi malah
justru turun pangkat menjadi ketua umum partai.
SBY setengah
isi dan setengah kosong dalam gelas retak keparanoidannya. Ia
mendelegasikan jabatan ketua umum ke orang lain dengan membuat jabatan
baru berupa ketua harian. Bila SBY sepenuhnya paranoid dan itu memang
lebih baik, jabatan sebagai presiden harus juga dikerjakan tugasnya bukan
lagi dirinya.
Jabatan baru
itu seperti Presiden Harian RI atau negara ini ditangani seorang
profesional yang disewa paruh waktu untuk menjalankan tugas-tugas
kepresidenan. Supaya kesempurnaan itu tepat akurasinya, sebaiknya pejabat
aktor kepresidenan cukup pintar pula untuk paranoid sepenuh-penuhnya.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar