Tiga
Pertanyaan untuk SBY
Airlangga Pribadi Kusman ;
Pengajar Departemen Politik
FISIP Universitas Airlangga, Kandidat PhD Asia Research Center Murdoch
University, Australia
|
|
KORAN
SINDO, 04 April 2013
Kongres Luar Biasa Partai Demokrat di
Sanur Bali yang diduga akan diwarnai ketegangan antarfaksi yang
bertarung, yaitu faksi Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Anas
Urbaningrum, ternyata berlangsung adem-ayem dan berakhir dengan keputusan
aklamasi memilih SBY sebagai ketua umum Partai Demokrat sampai 2015.
Meskipun
proses pemilihan SBY sebagai ketua umum Partai Demokrat menggantikan Anas
Urbaningrum berlangsung lancar, bukan berarti Partai Demokrat sebagai
partai pemenang pemilu 2009 otomatis bebas dari persoalan politik. Justru
menurut hemat penulis, tampilnya Presiden SBY sebagai ketua umum Partai
Demokrat akan memunculkan persoalan baru di tengah belum tuntasnya
persoalan lama.
Apabila
dikalkulasi beberapa soal krusial yang melekat dalam tubuh Partai
Demokrat satu tahun menjelang Pemilu 2014, setidaknya ada tiga pertanyaan
yang patut dijawab Partai Demokrat di bawah kepemimpinan SBY.
Pertama,
mampukah Demokrat menaikkan elektabilitasnya setelah langsung dipimpin
SBY. Kedua, mampukah Demokrat di bawah kepemimpinan SBY merangkul
faksi-faksi yang saling bertikai. Ketiga, di bawah pelukan dan arahan
dari SBY apakah Partai Demokrat dapat menjadi partai modern yang mandiri
atau akan tetap menjadi partai yang tidak bisa lepas dari nama besar SBY
dan keluarga.
Peran SBY
Persoalan
pertama, terpilihnya SBY sebagai Ketua Umum Partai Demokrat menggantikan
Anas Urbaningrum ini oleh para pendukungnya dianggap sebagai suatu
kebutuhan yang mendesak, sebab dianggap hanya beliaulah yang mampu
mengarahkan Partai Demokrat untuk kembali menjadi partai pemenang
sekaligus mendongkrak elektabilitas yang tengah terjun bebas.
Meskipun
argumen ini terlihat kuat, karena SBY merupakan Presiden yang terpilih
dua kali masa jabatan, namun pandangan ini bukan tanpa kelemahan.
Realitasnya, turunnya elektabilitas Partai Demokrat tidak terpisah dengan
persepsi publik terhadap kinerja Kabinet di bawah pimpinan Presiden SBY.
Seperti diutarakan dalam riset Lingkaran Survei Indonesia (5 Februari
2013) bahwa buruknya persepsi publik terhadap kinerja kabinet SBY
mempengaruhi turunnya elektabilitas Partai Demokrat.
Lebih jauh
LSI menjelaskan bahwa sebanyak 42,56% publik tidak puas terhadap kinerja
menteri dari Partai Demokrat. Pendeknya solusi bahwa turun gunungnya SBY
akan mendongkrak elektabilitas partai tidaklah kuat, mengingat
kepemimpinan SBY dalam mengelola pemerintahan turut menyumbang jatuhnya
elektabilitas Partai Demokrat.
Apalagi
sentimen publik baik terhadap SBY maupun demokrat bisa mengarah negatif ketika
secara obyektif mereka melihat bahwa di tengah banyaknya persoalan yang
ia hadapi sebagai presiden, ia masih mengambil jabatan sebagai ketua umum
Partai. Rakyat akan bertanya-tanya di tengah tumpang tindihnya peran dan
jabatan, siapakah yang didahulukan, kepentingan bangsa atau kepentingan
golongan?
Benturan Antarfaksi
Persoalan
kedua yang patut dikemukakan terkait dengan konflik di internal Partai
Demokrat adalah bahwa para pendukung SBY di lingkup internal Partai
Demokrat mempercayai bahwa tampilnya SBY akan menjadi perekat dan
merangkul semua kelompok. Sehingga setiap pihak yang bertikai akan segan
terhadap SBY untuk melakukan manuver-manuver bagi persoalan konflik di
internal PD.
Namun
demikian jawaban seperti ini juga mengandung persoalan. Dengan tetap
mengandalkan figur SBY setiap ada keretakan ataupun faksionalisasi
politik, maka Demokrat akan kehilangan kesempatan membangun mekanisme
organisasi dan sistem yang dapat menjadi sarana rekonsiliasi konflik
antara faksi-faksi di dalamnya.
Sangat
disayangkan proses pembangunan kelembagaan politik yang telah dibangun
pilarnya pada masa kepemimpinan Anas Urbaningrum, terancam runtuh kembali
ketika figur dikedepankan kembali (SBY) di atas mekanisme institusional.
Sementara itu kembalinya elite-elite Partai Demokrat kepada SBY ketika
ada persoalan mempertunjukkan bahwa proses rekrutmen kepemimpinan tidak
berjalan dengan baik.
Kondisi ini
menunjukkan kepada publik, bahwa tidak ada figur di dalam Partai Demokrat
yang mampu mengelola konflik dan memimpin partai di tengah gelombang
badai konflik. Apabila dibiarkan terus seperti ini Partai Demokrat hanya
akan memproduksi model politisi yang menyapih, bukan negarawan yang
handal.
Dalam
perkembangan politik di Indonesia, di mana publik semakin lama semakin
melek politik dan memiliki pendidikan politik yang baik, apabila hal ini
terjadi, konsekuensinya akan semakin sedikit publik yang akan melirik
apalagi memilih partai berlambang mercyini.
Konsolidasi Dinasti
Problem
ketiga yang muncul setelah dipilihnya SBY sebagai Ketua Umum adalah
Partai Demokrat berpotensi menjadi partai yang mengonsolidasikan kekuatan
dinasti dari SBY. Apalagi saat ini SBY sebagai ketua umum masih
bersanding dengan sekjen, yaitu anaknya sendiri Eddy Baskoro.
Memang benar
bahwa politik dinasti terjadi di mana-mana tidak saja di Indonesia namun
juga di India bahkan di negara demokrasi matang seperti Amerika Serikat.
Bagi mereka yang menghalalkan politik dinasti dengan argumen bahwa di
Amerika Serikat juga mengadopsi model politik dinasti yang sama, mereka
melupakan faktor sejarah.
Di masa awal
pembangunan demokrasi di Amerika Serikat setiap sanak saudara dalam
keluarga yang terjun dalam politik selalu dalam partai yang berbeda. John
Quincy Adams menjadi presiden pada tahun 1824 setelah 24 tahun sebelumnya
ayahnya John Adams gagal menjadi presiden dari partai yang berbeda.
Sementara
Franklin Roosevelt menjadi presiden pada 1932 setelah dua puluh empat
tahun sebelumnya sepupunya Theodore Roosevelt menjadi presiden juga dari
partai yang berbeda. Tradisi politik dinasti satu partai baru muncul
setelah kelembagaan politik demokrasi mapan sehingga regulasi bisa
dijalankan tanpa pilih kasih.
Misalnya
ketika seorang kulit hitam kaum akademisi cum aktivis progresif seperti Obama mampu menghadang kekuatan
dinasti Clinton yang mencalonkan Hillary di Partai Demokrat AS. Di
sinilah letak problem politik dinasti di Indonesia khususnya seperti
Partai Demokrat, intervensi SBY ke partai justru mengonsolidasikan
kekuatan dinasti politiknya ke dalam partai secara utuh di tengah
lemahnya kelembagaan partai dan seruan-seruan mengiba dari kader-kader di
dalam yang bergantung pada pilihan politik Pak Presiden.
Demikianlah
agaknya Demokrat bukanlah perkecualian, tetapi ini masih menjadi miniatur
politik Indonesia. Pada akhirnya sungguhlah aneh ketika umumnya ketua
partai berjuang untuk menjadi presiden, di Partai Demokrat ada seorang
presiden yang ingin mengambil peran sebagai ketua umum bersama dengan
anaknya yang menjadi sekjen Partai Demokrat. ●
|
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar