Kamis, 04 April 2013

Mendengar Koreksi RUU Ormas


Mendengar Koreksi RUU Ormas
Biyanto  ;   Dosen IAIN Sunan Ampel, Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jatim
JAWA POS, 04 April 2013

  
Polemik mengenai rancangan undang-undang organisasi kemasyarakatan (RUU ormas) terus menggelinding. Hal itu tampak dari pernyataan sikap sejumlah ormas dalam keputusan resmi organisasi, diskusi publik, dan demonstrasi. Desakan agar pasal-pasal kontroversial segera direvisi begitu kuat. Bila tidak, begitu disahkan jadi UU ormas, ormas-ormas itu telah berancang-ancang mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pemerintah dan legislatif selayaknya mendengar suara kritis ini.

Persyarikatan Muhammadiyah termasuk yang telah bersikap tegas menolak RUU ormas. Sikap itu diambil karena menurut hasil telaah Muhammadiyah, RUU ormas yang dibahas di DPR dapat membatasi kebebasan berserikat dan berkumpul serta berpotensi menimbulkan kegaduhan dan instabilitas politik (Jawa Pos, 29 Maret). Dalam pertemuan di Kantor Pimpinan Pusat Muhammadiyah, setidaknya ada 96 ormas lain yang juga menolak. Sementara, PB NU mengusulkan pembahasan RUU ditunda terlebih dulu hingga ada titik temu, terutama terkait pasal-pasal yang masih diperdebatkan. 

Sikap beberapa ormas tersebut dapat dipahami karena mereka ingin memastikan bahwa RUU ormas tidak menjadi pemasung. Apalagi, ormas sekelas Muhammadiyah dan NU yang telah banyak berkiprah dan, berusia jauh lebih tua dari negeri ini. Ormas ingin RUU itu menjamin kebebasan berserikat, sementara pemerintah berkepentingan mengendalikan ormas. Dalam perspektif pemerintah, UU No 8/1985 tentang Ormas dianggap tidak lagi mampu mengikuti perkembangan. Itu karena perkembangan ormas, terutama pada masa reformasi, terasa sangat dinamis dan meriah. 

Alasan lain yang dimajukan pemerintah adalah keberadaan ormas anarkistis yang sering mengganggu masyarakat dan merongrong kewibawaan pemerintah. Dalam aksinya ormas anarkistis telah memanfaatkan simbol-simbol agama atau simbol negara. Padahal, Jalaluddin al-Suyuthi, ulama besar dan mujadid Islam, menyatakan bahwa tidak semua orang dapat melaksanakan tugas tersebut. Menurut al-Suyuthi, hanya ulama dan penguasa yang dapat bertugas amar ma'ruf nahi munkar. Ulama mengembang tugas itu karena memiliki ilmu, sedangkan penguasa memiliki kekuasaan. 

RUU ormas juga dirancang untuk mengatur keberadaan lembaga swadaya masyarakat (LSM), baik yang didirikan WNI maupun warga asing. Dalam penilaian pemerintah, keberadaan LSM harus diatur agar kiprahnya dapat diselaraskan dengan tujuan pembangunan nasional. LSM yang dikelola orang asing pun harus menunjukkan komitmen untuk kepentingan nasional dan turut menjaga keutuhan NKRI. Regulasi ini dinilai penting, karena diduga kuat banyak LSM yang bekerja tidak untuk kepentingan nasional, melainkan untuk funding agency asing. 

Jika dicermati secara mendalam dari RUU ormas, paling tidak ada tiga poin yang penting diperhatikan. Pertama, RUU ormas berpotensi menggeneralisasi semua lembaga sosial kemasyarakatan. Itu berarti posisi ormas yang telah berkontribusi luar biasa bagi perjuangan kemerdekaan dan berpartisipasi dalam pembangunan nasional, seperti Muhammadiyah dan NU, tak berbeda dengan LSM baru. Berkaitan dengan persoalan ini, RUU ormas harus membedakan secara tegas peraturan untuk ormas dan LSM, apalagi ormas asing. Poin ini penting diperhatikan karena Muhammadiyah dan NU dengan ribuan amal usaha di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan pelayanan sosial lainnya memiliki jaringan yang luas mulai pusat, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, dan kelurahan/desa. Itu berbeda dengan LSM yang hanya menekankan pekerjaan di satu bidang dan bersifat elitis. Karena itu, penyamaan ormas dan LSM jelas sebuah kesalahan yang mendasar. 

Kedua, RUU ormas membuka peluang munculnya otoritarianisme baru. Apalagi, dalam RUU itu ada ketentuan bahwa Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik (Ditjen Kesbangpol) dapat mencabut izin ormas. Jika itu yang terjadi, akan muncul budaya represif atas nama undang-undang. Padahal, kebebasan berserikat dan berkumpul jelas diatur dalam konstitusi. Apalagi, konteks pembuatan UU No 8/1985 dan RUU Ormas jauh berbeda. UU No 8/1985 dibuat suasana rezim otoritarian Orde Baru. Sementara RUU ormas kini disusun dalam suasana demokratis. Karena itu, RUU ormas seharusnya menjamin ormas untuk menampilkan kekhasan asal tidak bertabrakan dengan nilai-nilai Pancasila dan kepentingan nasional NKRI.

Ketiga, RUU ormas mewajiban pencantuman Pancasila sebagai asas bagi setiap ormas. Eloknya, RUU ormas memberikan kelonggaran bagi ormas yang ingin menggunakan asas lain, dengan syarat tidak bertentangan dengan Pancasila. Jika itu yang dilakukan, ormas berbasis agama tidak harus mengganti asasnya dengan Pancasila. Jangan korek lagi trauma sosial dan politik asas tunggal era Orde baru yang justru menyempitkan keterbukaan ideologi Pancasila. Tak perlu ada tafsir tunggal atas Pancasila dengan menafikan indahnya pelangi keragaman yang membentuk Indonesia tercinta. 

Jika beberapa hal yang berpotensi memicu pertentangan itu kembali didialogkan, rasanya masing pihak, yakni pemerintah, legislatif, dan ormas yang menjadi sasaran RUU, pasti menemukan jalan keluar. Aamiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar