Polemik mengenai rancangan undang-undang
organisasi kemasyarakatan (RUU ormas) terus menggelinding. Hal itu tampak
dari pernyataan sikap sejumlah ormas dalam keputusan resmi organisasi,
diskusi publik, dan demonstrasi. Desakan agar pasal-pasal kontroversial
segera direvisi begitu kuat. Bila tidak, begitu disahkan jadi UU ormas,
ormas-ormas itu telah berancang-ancang mengajukan judicial review ke
Mahkamah Konstitusi (MK). Pemerintah dan legislatif selayaknya mendengar
suara kritis ini.
Persyarikatan Muhammadiyah termasuk yang telah bersikap
tegas menolak RUU ormas. Sikap itu diambil karena menurut hasil telaah
Muhammadiyah, RUU ormas yang dibahas di DPR dapat membatasi kebebasan
berserikat dan berkumpul serta berpotensi menimbulkan kegaduhan dan
instabilitas politik (Jawa Pos, 29 Maret).
Dalam pertemuan di Kantor Pimpinan Pusat Muhammadiyah, setidaknya ada 96
ormas lain yang juga menolak. Sementara, PB NU mengusulkan pembahasan RUU
ditunda terlebih dulu hingga ada titik temu, terutama terkait pasal-pasal
yang masih diperdebatkan.
Sikap beberapa ormas tersebut dapat dipahami karena
mereka ingin memastikan bahwa RUU ormas tidak menjadi pemasung. Apalagi,
ormas sekelas Muhammadiyah dan NU yang telah banyak berkiprah dan,
berusia jauh lebih tua dari negeri ini. Ormas ingin RUU itu menjamin
kebebasan berserikat, sementara pemerintah berkepentingan mengendalikan
ormas. Dalam perspektif pemerintah, UU No 8/1985 tentang Ormas dianggap
tidak lagi mampu mengikuti perkembangan. Itu karena perkembangan ormas,
terutama pada masa reformasi, terasa sangat dinamis dan meriah.
Alasan lain yang dimajukan pemerintah adalah keberadaan
ormas anarkistis yang sering mengganggu masyarakat dan merongrong
kewibawaan pemerintah. Dalam aksinya ormas anarkistis telah memanfaatkan
simbol-simbol agama atau simbol negara. Padahal, Jalaluddin al-Suyuthi,
ulama besar dan mujadid Islam, menyatakan bahwa tidak semua orang dapat
melaksanakan tugas tersebut. Menurut al-Suyuthi, hanya ulama dan penguasa
yang dapat bertugas amar ma'ruf nahi munkar. Ulama mengembang tugas itu karena memiliki
ilmu, sedangkan penguasa memiliki kekuasaan.
RUU ormas juga dirancang untuk mengatur keberadaan
lembaga swadaya masyarakat (LSM), baik yang didirikan WNI maupun warga
asing. Dalam penilaian pemerintah, keberadaan LSM harus diatur agar
kiprahnya dapat diselaraskan dengan tujuan pembangunan nasional. LSM yang
dikelola orang asing pun harus menunjukkan komitmen untuk kepentingan
nasional dan turut menjaga keutuhan NKRI. Regulasi ini dinilai penting,
karena diduga kuat banyak LSM yang bekerja tidak untuk kepentingan
nasional, melainkan untuk funding agency asing.
Jika dicermati secara mendalam dari RUU ormas, paling
tidak ada tiga poin yang penting diperhatikan. Pertama, RUU ormas
berpotensi menggeneralisasi semua lembaga sosial kemasyarakatan. Itu
berarti posisi ormas yang telah berkontribusi luar biasa bagi perjuangan
kemerdekaan dan berpartisipasi dalam pembangunan nasional, seperti
Muhammadiyah dan NU, tak berbeda dengan LSM baru. Berkaitan dengan
persoalan ini, RUU ormas harus membedakan secara tegas peraturan untuk
ormas dan LSM, apalagi ormas asing. Poin ini penting diperhatikan karena
Muhammadiyah dan NU dengan ribuan amal usaha di bidang pendidikan,
kesehatan, ekonomi, dan pelayanan sosial lainnya memiliki jaringan yang
luas mulai pusat, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, dan
kelurahan/desa. Itu berbeda dengan LSM yang hanya menekankan pekerjaan di
satu bidang dan bersifat elitis. Karena itu, penyamaan ormas dan LSM
jelas sebuah kesalahan yang mendasar.
Kedua, RUU ormas membuka peluang munculnya
otoritarianisme baru. Apalagi, dalam RUU itu ada ketentuan bahwa
Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik (Ditjen Kesbangpol) dapat
mencabut izin ormas. Jika itu yang terjadi, akan muncul budaya represif atas
nama undang-undang. Padahal, kebebasan berserikat dan berkumpul jelas
diatur dalam konstitusi. Apalagi, konteks pembuatan UU No 8/1985 dan RUU
Ormas jauh berbeda. UU No 8/1985 dibuat suasana rezim otoritarian Orde
Baru. Sementara RUU ormas kini disusun dalam suasana demokratis. Karena
itu, RUU ormas seharusnya menjamin ormas untuk menampilkan kekhasan asal
tidak bertabrakan dengan nilai-nilai Pancasila dan kepentingan nasional
NKRI.
Ketiga, RUU ormas mewajiban pencantuman Pancasila
sebagai asas bagi setiap ormas. Eloknya, RUU ormas memberikan kelonggaran
bagi ormas yang ingin menggunakan asas lain, dengan syarat tidak
bertentangan dengan Pancasila. Jika itu yang dilakukan, ormas berbasis
agama tidak harus mengganti asasnya dengan Pancasila. Jangan korek lagi
trauma sosial dan politik asas tunggal era Orde baru yang justru
menyempitkan keterbukaan ideologi Pancasila. Tak perlu ada tafsir tunggal
atas Pancasila dengan menafikan indahnya pelangi keragaman yang membentuk
Indonesia tercinta.
Jika beberapa hal yang berpotensi memicu pertentangan
itu kembali didialogkan, rasanya masing pihak, yakni pemerintah,
legislatif, dan ormas yang menjadi sasaran RUU, pasti menemukan jalan
keluar. Aamiin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar