Kamis, 04 April 2013

Membangkitkan Raksasa Tidur


Membangkitkan Raksasa Tidur
Ferdinand T Andi Lolo  ;   Peneliti pada Proyek Asset Recovery Pusat Kajian Departemen Kriminologi, Universitas Indonesia
KORAN SINDO, 04 April 2013
  

Belum lama ini media massa gencar memberitakan kiprah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang terus memburu aset-aset Irjen Polisi Djoko Susilo, mantan kepala Korps Lalu Lintas Polri. 

Aset-aset tersebut terdiri dari tanah, bangunan, bisnis (SPBU, salon) dan mobil mewah yang ditaksir bernilai paling tidak Rp100 miliar. Berpedoman pada ketentuan gaji pokok dan tunjangan kinerja pegawai di lingkungan Polri, pejabat Polri berpangkat inspektur jenderal (irjen) berpenghasilan sekitar Rp13,8 juta per bulan atau sekitar Rp165,5 juta per tahun. Untuk mendapat kekayaan hingga Rp100 miliar Irjen Djoko harus bekerja paling tidak selama 600 tahun! 

Dengan catatan dia harus menabung seluruh penghasilannya dan tidak menggunakan sepeser pun. Langkah KPK patut diapresiasi karena mengirim pesan yang jelas, yaitu kejahatan itu tidak menguntungkan (crime does not pay) untuk membalikkan paradigma yang melihat kejahatan sebagai hal yang menguntungkan (crime does pay). Para pelaku kejahatan sesungguhnya adalah makhluk yang rasional. 

Dengan mempertimbangkan antara keuntungan (benefit) dan risikonya (cost) mereka bisa menentukan pilihan apakah melakukan atau tidak melakukan kejahatan, dan kebanyakan pilihannya adalah “melakukan.” Hal ini bisa menjelaskan mengapa indeks persepsi korupsi kita tidak kunjung membaik. Hal ini juga bisa menjelaskan mengapa perdagangan narkoba, pembalakan liar, pencurian hasil laut, perdagangan orang, dan penyelundupan manusia tetap marak. 

Selama motivasi para pelaku terhadap harta/aset tidak dihilangkan, selama itu juga kejahatan berorientasi harta terus terjadi bahkan bertambah. Penegak hukum sudah mulai menyadari perlunya menyesuaikan orientasi penegakan hukum, bukan hanya mengejar dan menghukum pelaku, tetapi juga memotong akses pelaku ke aset-asetnya yang merupakan “darah dan udara” bagi pelaku kejahatan yang termotivasi oleh harta. 

Efektif dari tahun 2011, suatu unit kecil beranggotakan 12 jaksa yang tergabung dalam Satuan Tugas Khusus Barang Rampasan dan Barang Sita Eksekusi Kejaksaan Agung telah bekerja mengembalikan asetaset terpidana yang terbengkalai, di antaranya terdapat nama-nama seperti Edy Tanzil, Hendra Rahardja, Mohammad Hasan, Adrian Waworuntu, dan David Nusa Wijaya. 

Jika KPK yang memiliki sekitar 160 personel penindakan dan hanya memiliki satu kantor dapat melakukan perampasan aset yang diduga terkait dengan kejahatan dalam jumlah yang signifikan, maka kejaksaan berpotensi memultiplikasi apa yang dihasilkan oleh KPK. Sumber daya kejaksaan sangat besar karena didukung oleh sekitar 8.000 jaksa yang berkualifikasi penindakan; memiliki 1 kantor pusat (Kejaksaan Agung) dengan 31 kejaksaan tinggi dan 393 kejaksaan negeri serta 87 cabang kejaksaan negeri. 

Sumber daya ini didukung oleh kewenangan luas yang memungkinkan jaksa menangani bukan saja perkara korupsi, tetapi juga perkara-perkara lain seperti narkoba dan perkara lain. Bukan itu saja, kejaksaan mempunyai jangkauan yang sangat luas karena dapat bergerak di dua ranah bukan hanya pidana, tetapi juga perdata (melalui jaksa pengacara negara) dan terlebih lagi dalam bergerak di dua ranah tersebut kejaksaan memiliki fungsi intelijen yustisial yang dapat memanfaatkan jaringan intelijen internal maupun bantuan komunitas intelijen lembaga lain untuk akurasi data aset-aset yang disembunyikan pelaku. 

Masih belum cukup dengan hal-hal di atas, kejaksaan, sesuai hakikatnya, dapat bergerak di tiga tataran penindakan hukum (pro yustitia), yaitu penyidikan, penuntutan (yang menjadi wewenang khas seorang jaksa atau Dominus litis) dan eksekusi (wewenang eksekutorial). Sangat disayangkan dan menjadi kerugian bagi rakyat jika potensi kejaksaan ini tidak dioptimalkan. 

Mengapa Tertidur? 

Ibarat raksasa yang sedang tidur, kejaksaan harus diberdayakan. Selama ini ada beberapa hal yang membuat lembaga ini “tertidur.” Kejaksaan masih melakukan pendekatan pelaku dan belum melakukan pendekatan aset. Jaksa masih terpaku pada upaya menghukum para pelaku secara fisik, namun belum secara efektif menghambat akses mereka terhadap aset. 

Di dalam praktik hukum yang masih bersifat transaksional seperti sekarang ini, uang menjadi panglima. Seorang pelaku dapat mengatur prosedur sesuai dengan keinginannya sehingga efek gentar dan efek jera yang ingin disampaikan oleh hukum tidak pernah menjangkau pelaku maupun calon pelaku. 

Selain itu, kurang transparan dan kurang akuntabelnya sistem penanganan membuat banyak aset hilang, berpindah tangan, rusak, berkurang atau berubah bentuk baik karena kelalaian maupun karena kesengajaan dan membuat negara kehilangan pendapatan nonpajaknya. Hambatan-hambatan yang menghalangi bangunnya raksasa harus dihilangkan. Hambatan terbesar adalah perubahan paradigma. 

Kejaksaan masih merupakan institusi hukum yang masih tinggi tingkat resistensinya terhadap reformasi. Niat reformasi masih dalam tataran retorika pada level atas, dan masih diimplementasikan dengan setengah hati oleh jajaran di bawah. Untuk menjadi efektif dan menakutkan bagi pelaku kejahatan penanganan aset tidak bisa lagi dilakukan dalam “gelap”. 

Nilainilai integritas, yang dalam konteks ini adalah bekerja dengan jujur dan transparan; akuntabilitas; dan profesionalisme harus menjadi pedoman bagi para jaksa yang menangani aset mengingat signifikannya jumlah aset yang dikuasai dan rawannya aset-aset tersebut disalahgunakan. Kejaksaan yang berdaya akan menjadikan momok yang menakutkan bagi pelaku kejahatan. 

Apalagi jika besarnya daya jangkau kejaksaan terhadap aset-aset pelaku ditambah dengan kerja sama antara penegak hukum dan lembaga-lembaga terkait, maka aset-aset yang dilarikan bahkan keluar negeri sekalipun dapat dilacak dan dikembalikan. Untuk aset-aset di luar negeri, kejaksaan bergerak dengan payung UU Nomor 1/2006 pasal 9 ayat (2) yang memberikan kewenangan operasional pada kejaksaan dan pelaksanaannya didukung secara administratif oleh institusi terkait seperti Kemenkumham dan Kedubes RI. 

Contoh kerja sama itu misalnya upaya kejaksaan yang didukung oleh Kedubes RI di Swiss dalam mengembalikan aset perkara Century. Pada akhirnya kejaksaan dan penegak hukum lain hanyalah instrumen dan rakyatlah yang paling diuntungkan. 

Jaring yang ditebar untuk merampas kembali harta rakyat semakin luas dan semakin rapat untuk memisahkan pelaku dari hartanya dan tidak sekadar mengirim mereka ke penjara (yang tidak benar-benar membuat pelaku terpenjara). ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar