Belum lama ini media massa gencar
memberitakan kiprah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang terus memburu
aset-aset Irjen Polisi Djoko Susilo, mantan kepala Korps Lalu Lintas
Polri.
Aset-aset
tersebut terdiri dari tanah, bangunan, bisnis (SPBU, salon) dan mobil
mewah yang ditaksir bernilai paling tidak Rp100 miliar. Berpedoman pada
ketentuan gaji pokok dan tunjangan kinerja pegawai di lingkungan Polri,
pejabat Polri berpangkat inspektur jenderal (irjen) berpenghasilan
sekitar Rp13,8 juta per bulan atau sekitar Rp165,5 juta per tahun. Untuk
mendapat kekayaan hingga Rp100 miliar Irjen Djoko harus bekerja paling
tidak selama 600 tahun!
Dengan
catatan dia harus menabung seluruh penghasilannya dan tidak menggunakan
sepeser pun. Langkah KPK patut diapresiasi karena mengirim pesan yang
jelas, yaitu kejahatan itu tidak menguntungkan (crime does not pay) untuk membalikkan paradigma yang melihat
kejahatan sebagai hal yang menguntungkan (crime does pay). Para pelaku kejahatan sesungguhnya adalah
makhluk yang rasional.
Dengan
mempertimbangkan antara keuntungan (benefit)
dan risikonya (cost) mereka
bisa menentukan pilihan apakah melakukan atau tidak melakukan kejahatan,
dan kebanyakan pilihannya adalah “melakukan.” Hal ini bisa menjelaskan
mengapa indeks persepsi korupsi kita tidak kunjung membaik. Hal ini juga
bisa menjelaskan mengapa perdagangan narkoba, pembalakan liar, pencurian
hasil laut, perdagangan orang, dan penyelundupan manusia tetap marak.
Selama
motivasi para pelaku terhadap harta/aset tidak dihilangkan, selama itu
juga kejahatan berorientasi harta terus terjadi bahkan bertambah. Penegak
hukum sudah mulai menyadari perlunya menyesuaikan orientasi penegakan
hukum, bukan hanya mengejar dan menghukum pelaku, tetapi juga memotong
akses pelaku ke aset-asetnya yang merupakan “darah dan udara” bagi pelaku
kejahatan yang termotivasi oleh harta.
Efektif dari
tahun 2011, suatu unit kecil beranggotakan 12 jaksa yang tergabung dalam
Satuan Tugas Khusus Barang Rampasan dan Barang Sita Eksekusi Kejaksaan
Agung telah bekerja mengembalikan asetaset terpidana yang terbengkalai,
di antaranya terdapat nama-nama seperti Edy Tanzil, Hendra Rahardja, Mohammad
Hasan, Adrian Waworuntu, dan David Nusa Wijaya.
Jika KPK yang
memiliki sekitar 160 personel penindakan dan hanya memiliki satu kantor
dapat melakukan perampasan aset yang diduga terkait dengan kejahatan
dalam jumlah yang signifikan, maka kejaksaan berpotensi memultiplikasi
apa yang dihasilkan oleh KPK. Sumber daya kejaksaan sangat besar karena
didukung oleh sekitar 8.000 jaksa yang berkualifikasi penindakan;
memiliki 1 kantor pusat (Kejaksaan Agung) dengan 31 kejaksaan tinggi dan
393 kejaksaan negeri serta 87 cabang kejaksaan negeri.
Sumber daya
ini didukung oleh kewenangan luas yang memungkinkan jaksa menangani bukan
saja perkara korupsi, tetapi juga perkara-perkara lain seperti narkoba
dan perkara lain. Bukan itu saja, kejaksaan mempunyai jangkauan yang
sangat luas karena dapat bergerak di dua ranah bukan hanya pidana, tetapi
juga perdata (melalui jaksa pengacara negara) dan terlebih lagi dalam
bergerak di dua ranah tersebut kejaksaan memiliki fungsi intelijen
yustisial yang dapat memanfaatkan jaringan intelijen internal maupun
bantuan komunitas intelijen lembaga lain untuk akurasi data aset-aset
yang disembunyikan pelaku.
Masih belum
cukup dengan hal-hal di atas, kejaksaan, sesuai hakikatnya, dapat
bergerak di tiga tataran penindakan hukum (pro yustitia), yaitu penyidikan, penuntutan (yang menjadi
wewenang khas seorang jaksa atau Dominus
litis) dan eksekusi (wewenang eksekutorial). Sangat disayangkan dan
menjadi kerugian bagi rakyat jika potensi kejaksaan ini tidak
dioptimalkan.
Mengapa Tertidur?
Ibarat
raksasa yang sedang tidur, kejaksaan harus diberdayakan. Selama ini ada
beberapa hal yang membuat lembaga ini “tertidur.” Kejaksaan masih
melakukan pendekatan pelaku dan belum melakukan pendekatan aset. Jaksa
masih terpaku pada upaya menghukum para pelaku secara fisik, namun belum
secara efektif menghambat akses mereka terhadap aset.
Di dalam
praktik hukum yang masih bersifat transaksional seperti sekarang ini,
uang menjadi panglima. Seorang pelaku dapat mengatur prosedur sesuai
dengan keinginannya sehingga efek gentar dan efek jera yang ingin
disampaikan oleh hukum tidak pernah menjangkau pelaku maupun calon
pelaku.
Selain itu,
kurang transparan dan kurang akuntabelnya sistem penanganan membuat
banyak aset hilang, berpindah tangan, rusak, berkurang atau berubah
bentuk baik karena kelalaian maupun karena kesengajaan dan membuat negara
kehilangan pendapatan nonpajaknya. Hambatan-hambatan yang menghalangi
bangunnya raksasa harus dihilangkan. Hambatan terbesar adalah perubahan
paradigma.
Kejaksaan
masih merupakan institusi hukum yang masih tinggi tingkat resistensinya
terhadap reformasi. Niat reformasi masih dalam tataran retorika pada
level atas, dan masih diimplementasikan dengan setengah hati oleh jajaran
di bawah. Untuk menjadi efektif dan menakutkan bagi pelaku kejahatan
penanganan aset tidak bisa lagi dilakukan dalam “gelap”.
Nilainilai
integritas, yang dalam konteks ini adalah bekerja dengan jujur dan
transparan; akuntabilitas; dan profesionalisme harus menjadi pedoman bagi
para jaksa yang menangani aset mengingat signifikannya jumlah aset yang
dikuasai dan rawannya aset-aset tersebut disalahgunakan. Kejaksaan yang
berdaya akan menjadikan momok yang menakutkan bagi pelaku kejahatan.
Apalagi jika
besarnya daya jangkau kejaksaan terhadap aset-aset pelaku ditambah dengan
kerja sama antara penegak hukum dan lembaga-lembaga terkait, maka
aset-aset yang dilarikan bahkan keluar negeri sekalipun dapat dilacak dan
dikembalikan. Untuk aset-aset di luar negeri, kejaksaan bergerak dengan
payung UU Nomor 1/2006 pasal 9 ayat (2) yang memberikan kewenangan
operasional pada kejaksaan dan pelaksanaannya didukung secara
administratif oleh institusi terkait seperti Kemenkumham dan Kedubes RI.
Contoh kerja
sama itu misalnya upaya kejaksaan yang didukung oleh Kedubes RI di Swiss
dalam mengembalikan aset perkara Century. Pada akhirnya kejaksaan dan
penegak hukum lain hanyalah instrumen dan rakyatlah yang paling
diuntungkan.
Jaring yang
ditebar untuk merampas kembali harta rakyat semakin luas dan semakin
rapat untuk memisahkan pelaku dari hartanya dan tidak sekadar mengirim
mereka ke penjara (yang tidak benar-benar membuat pelaku terpenjara).
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar