Kamis, 25 April 2013

Teror Independensi Hakim


Teror Independensi Hakim
M Hadi Shubhan ;  Ahli Hukum Kepailitan dan Hukum Perburuhan
Fakultas Hukum Universitas Airlangga 
JAWA POS, 25 April 2013
  

Sungguh malang nasib majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang telah memutus pailit Telkomsel. Mereka dijatuhi sanksi oleh Mahkamah Agung (MA) berupa pencopotan status sebagai hakim khusus niaga serta dimutasi ke pengadilan negeri yang kelasnya jauh di bawah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (baca Jawa Pos, 16 April 2013). Masalah yang sebenarnya masuk dalam ranah teknis yudisial digeser ke ranah kode etik.

Sebagaimana diberitakan beberapa waktu lalu, PT Telkomsel dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat karena bersengketa dengan salah satu mitra kerja samanya. Namun, Telkomsel menempuh upaya hukum kasasi dan oleh majelis hakim kasasi MA kepailitan Telkomsel dibatalkan. Selanjutnya, pemohon pailit mengajukan peninjauan kembali (PK) yang sampai saat ini putusan PK tersebut belum turun.

Putusan pembatalan pailit Telkomsel oleh majelis kasasi MA sama sekali bukan hal baru dan bukan berita yang sensasional. Persoalannya, kenapa hakim pemutus pailit Telkomsel yang putusannya dibatalkan MA justru dikenai sanksi administratif tersebut?

Hakim sejatinya memiliki kebebasan dan imunitas terhadap sanksi hukum, baik sanksi pidana, perdata, administratif, dan bahkan sanksi etika, sepanjang putusan tersebut tidak dikotori tindakan material seperti suap, gratifikasi, atau sejenisnya serta tindakan tidak profesional (missconduct). Dalam kasus pailit Telkomsel, tindakan material yang berupa suap dan/atau gratifikasi tidak mengemuka dan belum terbukti ada tindakan ilegal tersebut.

Kasus pemailitan perusahaan raksasa yang menghebohkan jagat Nusantara itu bukan kali pertama dialami Telkomsel. Sebelumnya ada kepailitan Asuransi Manulife, Asuransi Prudential, dan PT Dirgantara Indonesia. Semua kepailitan yang kontroversial tersebut telah dibatalkan pada tingkat kasasi di MA. Semua hakim pemutus pailit pun tidak mendapat sanksi seperti yang diterima majelis hakim yang memutus pailit Telkomsel. 

Kita semua bersepakat bahwa vonis pailit terhadap Telkomsel melanggar asas keadilan dan kepatutan, seperti juga kepailitan Asuransi Manulife, Asuransi Prudential, dan PT Dirgantara Indonesia, sehingga mesti dibatalkan. Namun, putusan pailit tersebut dimungkinkan karena Undang-Undang Kepailitan memberikan peluang untuk itu. Artinya, hakim dalam memutus pailit tersebut juga berpijak pada peraturan perundang-undangan.

Undang-Undang Kepailitan memang demikian permisif menentukan syarat untuk bisa dipailitkannya subjek hukum. Undang-undang hanya mensyaratkan dua hal. Yakni, debitor memiliki utang yang tidak dibayar lunas yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih serta syarat adanya minimal dua kreditor. 

Dua syarat tersebut harus dapat dibuktikan secara sederhana. Itu berarti, peraturan tidak mengindahkan solvabilitas perusahaan untuk diputus pailit. Perusahaan yang sangat solven dimungkinkan divonis pailit jika memenuhi dua syarat tersebut. Akibatnya, perusahaan yang solven tidak dilindungi hukum dari musibah kepailitan seperti Telkomsel itu.

Syarat permisif tersebut cukup membahayakan jika perkara jatuh ke tangan majelis hakim yang tidak wise (bijak) dan adil, seperti dalam kasus pailitnya Telkomsel tersebut. Namun, jika terjadi ketidakadilan dalam memutus pailit terhadap perusahaan yang solven, masih ada benteng keadilan di MA melalui upaya hukum kasasi. Tentunya, pailit yang tidak adil tersebut akan dihadang dan dibatalkan MA. Jadi, itu semua murni teknis yudisial dan bukan perkara etika yang tidak profesional.

Persoalan menjadi lain jika seandainya hakim pemutus pailit Telkomsel bertindak missconduct atau tindakan pidana berupa menerima suap atau gratifikasi. Dalam kasus ini, tidak atau setidak-tidaknya belum terbukti adanya tindakan missconduct atau tindakan menerima suap/gratifikasi atau sejenisnya. Karena itu, pembatalan putusan pailit oleh MA sudah cukup untuk menghadang putusan pailit yang kontroversial tersebut. Karena itu, diatur upaya hukum kasasi untuk membentengi putusan pailit karena hakim niaga telah lalai atau salah menerapkan hukum.

Sanksi terhadap hakim yang memutus salah seperti terhadap kasus pailit Telkomsel itu tentu akan menjadi momok bagi hakim lainnya di kemudian hari jika hendak memutus pailit terhadap debitor. Mereka akan dibayang-bayangi sanksi etika oleh lembaga. Jika terjadi ketakutan seperti itu, tentu objektivitas dan independensi hakim ke depan akan sangat terpengaruh.

Bukankah belum lama ini beberapa hakim agung dan hakim lainnya telah mengajukan judicial review terhadap beberapa pasal dalam UU No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang bisa mengenakan sanksi pidana terhadap hakim atau penegak hukum lainnya yang salah melakukan kewajibannya? Oleh Mahkamah Konstitusi (MK), permohonan itu dikabulkan, sehingga membatalkan pasal-pasal yang mengancam pidana bagi penegak hukum yang salah atau tidak melakukan kewajiban hukumnya.

MK beralasan bahwa ancaman pidana bagi para penegak hukum merupakan ancaman terhadap independensi hakim dan pada gilirannya akan menimbulkan ketakutan serta kekhawatiran dalam penyelenggaraan tugas dalam mengadili suatu perkara.

Biarlah para hakim diberi kebebasan dan kemandirian dalam memutus perkara. Jika putusannya salah dalam menerapkan hukum, masih ada upaya hukum di atasnya yang akan mengoreksi. Bila dalam memutus itu hakim terbukti menerima suap atau gratifikasi, hukum yang seberat-beratnya menurut UU Tindak Pidana Korupsi. Bila hakim nyata-nyata melanggar etika dengan berperilaku tidak profesional, berikan sanksi etika yang setimpal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar