Kamis, 25 April 2013

Hilangnya Kemampuan Mendongeng Para Pejabat


Hilangnya Kemampuan Mendongeng Para Pejabat
Rhenald Kasali ;  Ketua Program MM UI
KORAN SINDO, 25 April 2013

  
Anda mungkin pernah mendengar quote ini: “Imagination is more important than knowledge.” (Albert Einstein). Tapi, bagaimana manusia mendapatkan imajinasi? Tengoklah betapa sulitnya bangsa ini menata hidupnya untuk masuk ke tahapan berikutnya. 

Semua asyik dengan lamunan-lamunan riil masa lalunya. Ibarat penyakit, jenis dan penyebabnya sudah berubah, sudah semakin sulit diatasi dengan obat-obatan yang lama, tetapi kita masih saja menggunakan cara pikir lama dengan obatobatan lama. Apa jadinya pasien yang terjangkit virus flu burung, namun hanya diobatiobat-obatan yang biasa ditemui dipasar? 

Ya, hanya lamunan-lamunan masa lalu yang menjadi acuan bagi sebagian besar perjalanan perubahan bangsa ini. Yang mendengarkan tidak sabaran, terburu-buru menyimpulkan, bahkan terburuburu memvonis, mencari kambing hitam, mengadili. Sebaliknya, yang mempunyai konsep bagus sekalipun, gagal menceritakan gagasan-gagasan, konsep, atau strateginya. Apa yang dipikirkan tidak sama dengan yang ditulis. Apa yang dikerjakan tidak sama dengan apa yang ditulis. 

Story Telling Stimulate Imagination 

Berbagai studi belakangan ini menemukan, ternyata story telling (cerita dongeng) sangat membentuk imajinasi manusia. Kemampuan berimajinasi mempunyai pengaruh yang penting untuk menyatukan suatu bangsa keluar dari kegelapan, dari penjara-penjara persoalan pada masa lalu. 

Dalam perjalanan bangsa ini sudah sering kita saksikan orang-orang hebat yang “kering”, padahal kita semua pernah bertemu guru-guru atau dosen-dosen yang hebat. Yang membedakan mereka dengan lainnya adalah kemampuannya bercerita. Namun, semakin hari semakin banyak kita temui orangorang yang kesulitan mengungkapkan “isi pikiran” atau “apa maunya” dengan jelas. 

Hal ini tampak jelas dalam sosialisasi berbagai kebijakan-kebijakan baru. Apakah itu kurikulum baru, pengurangan subsidi BBM, pemindahan warga dari bantaran sungai, sampai pada penanganan masalah-masalah yang berawal dari rendahnya kemampuan “menjelaskan”. Sebut saja tentang “amburadulnya” pelaksanaan ujian nasional yang kalau dengan kepala dingin akan jelas diketahui bukan melulu masalah di satu kementerian. 

Ini masalah sangat luas yang menyangkut rendahnya kemampuan birokrasi menangani masalah-masalah baru. Masalah yang saling terkait mulai dari sistem politik, administrasi keuangan negara, sampai sistem pengadaan (tender) yang buruk dan penuh tipu muslihat. Semua pejabat publik hanya asyik bicara dalam bahasa teknis yang kering. Bahasa yang tidak artikulatif, tidak persuasif, bahkan tidak dipercaya masyarakat, mudah diputarbalikkan. 

Masyarakatnya juga sama. Tak mampu menjelaskan rasa kesalnya selain dengan nada nyinyir dalam kalimat-kalimat pendek. Masyarakat tidak puas membaca penanganan aneka masalah, apakah itu penegakan hukum ataupun penanganan bencana. Kita tidak puas mendengar penjelasan aparat birokrasi dan para pejabat yang pintar-pintar, yang terkesan berbelit-belit. 

Terhadap setiap masalah makro, politik, penegakan hukum, korupsi, bencana alam ataupun pendidikan kita menjadi lebih percaya ada logika para budayawan, dalang, atau bahkan selebritas. Ada masalah trust, namun juga ada masalah kemampuan berkomunikasi yang amburadul. 

Yang satu pakai bahasa langit, bahkan bahasa yang logikanya tidak jelas, sedangkan yang lainnya memakai bahasa preman. Apakah semua ini bukan cerminan dari lemahnya kemampuan story telling, atau lebih jauh, apakah ini cermin dari hilangnya sebuah generasi dari cerita-cerita yang kaya dengan prinsip dan karakter?

 Cerita-Cerita Bermoral 

Lebih dari itu, kalau kita dalami, ternyata sebagian besar cerita-cerita rakyat kita lebih banyak memberikan nuansanuansa pelanggaran terhadap komitmen. Tengoklah cerita bagaimana Dayang Sumbi membangunkan ayam jago agar tidak dinikahi anaknya sendiri yang ia sudah janjikan. Tengoklah pula cerita-cerita rakyat lainnya. 

Yang satu sudah tidak cocok dengan tuntutan zaman menyangkut soal orang tua yang otoriter, yang lainnya soal pencuri ketimun yang ditangkap (padahal koruptor besar malah dibebaskan atau dihukum ringan). Cerita-cerita rakyat yang hidup adalah cerita yang membentuk karakter, dan tentu saja membutuhkan kajian para budayawan serta ahli perubahan sosial untuk mengkajinya. 

Sudah barang tentu karakter tak bisa ditanam dalam bentuk definisi, melainkan dalam bentuk cerita. Cerita itu harus bisa disampaikan dalam bentuk mimik, kata-kata, ucapan, seperti dalam sentra seni peran. Anakanak yang biasa dididik dalam lingkungan yang demikian, menurut studi yang dilakukan di Duke University, punya kecenderungan akan menjalani masa depan dengan lebih bahagia. 

Selanjutnya, anak-anak yang bahagia dan terbiasa mendongeng itu, kelak pada masanya akan menjadi pejabat-pejabat publik, guru, atau tokoh yang artikulatif, pandai mengungkapkan isi hati dan pikirannya, pandai menulis, dan di tangan merekalah perubahan akan menjadi realita yang mudah. 

Beda benar dengan sekarang, kaum berpendidikan justru begitu mudah memvonis, nyinyir, dan merasa benar. Anehnya, dalam kesinisan itu dengan gagah dan penuh kedunguan berani berujar, ”Namun, kita harus tetap optimistis.” Logikanya bertabrakan dengan sinisme yang diungkapkan. 

Bahkan dalam penyangkalan, selalu keluar kata, ”Kami bukan antiperubahan” meski yang dilawan adalah perubahan. Masalahnya sederhana saja, mereka tidak memiliki imajinasi yang baik untuk ”membaca” dengan kacamata baru. Kesulitan ”melihat” terhadap ihwal yang ”belum terlihat”. 

Anak-anak yang tak dibesarkan dalam story telling yang baik kehilangan daya imajinasi di hari tuanya kendati mereka berhasil meraih jabatan tertinggi atau bahkan gelar tertinggi sekalipun. Mereka kehilangan nalar kebijaksanaan karena tak pernah belajar ”melihat” dari perspektif yang berbeda. Mereka hanya mampu bicara satu hal, satu arah, satu pikiran, satu kebenaran, yaitu dirinya sendiri. 

Orang tua bisa membantu anak-anaknya menemukan masa depan dengan mencarikan dongeng-dongeng yang kaya perspektif, kaya imajinasi. Bila hal itu tak ditemui, Anda bisa menyampaikan cerita yang berasal dari heroisme orang tua atau keluarga dalam perjuangan kehidupan. 

Yang jelas, bangsa ini harus ditemukan kembali, diperkaya dengan imajinasi yang mampu membangkitkan rasa bangga dan kehormatan sebagai manusia yang bermartabat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar