Isu pemangkasan subsidi bahan
bakar minyak benar-benar telah menjadi ”momok” bagi pemerintah. Buktinya,
kebijakan ini semula akan dibahas dan diputuskan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono dalam rapat kabinet di Istana Cipanas, akhir pekan lalu (13-14
April 2013). Namun, entah kenapa, pemerintah kembali menundanya.
Pemerintah selalu punya alasan
untuk menahan harga BBM bersubsidi. Mereka mencari momentum yang tepat.
Masalahnya, apakah memang benar ada ”kemewahan” momentum seperti itu?
Sebenarnya, pemerintah sudah
terlambat menaikkan harga BBM. Momentum terbaik memotong subsidi BBM
adalah tahun lalu ketika inflasi dapat ditekan rendah menjadi 4,3 persen.
Kini situasinya sudah berbeda. Tanpa disangka, harga hortikultura
menyodok sehingga inflasi year on year kini 5,9 persen. Namun, terlambat
menaikkan harga BBM masih lebih baik daripada tidak sama sekali.
Tahun 2012, subsidi BBM—baik
yang dikonsumsi langsung oleh kendaraan maupun digunakan oleh Perusahaan
Listrik Negara (PLN)—sudah menembus Rp 300 triliun pada 2012. Berarti,
subsidi sudah mencapai 20 persen dari volume APBN sebesar Rp 1.500
triliun. Tahun ini diperkirakan subsidi akan meningkat menjadi Rp 320
triliun dari volume APBN Rp 1.600 triliun. Jika terus dibiarkan, tahun
depan subsidi akan melebihi Rp 350 triliun, bahkan mengarah ke Rp 400
triliun! Mengerikan.
Deretan angka-angka tersebut
tidak realistis. Sebagai perbandingan, ongkos jalan tol di atas laut di
Bali yang kini sedang dikerjakan, dengan panjang jalan 12 kilometer,
hanya Rp 2,5 triliun (Kompas, 13/4/2013). Jika subsidi BBM bisa dipangkas
Rp 100 triliun, kita bisa membangun 40 jalan tol di atas laut seperti di
Bali!
Monorel di Jakarta yang
pembangunannya tersendat biayanya cuma Rp 6 triliun. Biaya membangun
angkutan massal dari Blok M ke Dukuh Atas—termasuk di antaranya kereta
bawah tanah (subway)—”hanya” Rp
27 triliun. Bahkan, Jembatan Selat Sunda yang menghebohkan itu pun
biayanya Rp 200 triliun. Dana sebesar itu pun tidak dibelanjakan
sekaligus dalam setahun. Pembangunan jembatan ini diperkirakan memakan
waktu 10 tahun. Artinya, jika diamortisasikan, ongkosnya ”hanya” Rp 20
triliun per tahun. Jika diasumsikan tidak ada sektor swasta yang
berminat, pemerintah sebenarnya bisa mengongkosinya sendiri dari APBN.
Syaratnya satu: subsidi BBM dipangkas.
Jembatan Selat Sunda berurgensi
tinggi, seperti halnya pemerintah juga harus memprioritaskan perluasan
kapasitas pelabuhan-pelabuhan laut yang kini menunjukkan tren antrean
yang kian panjang. Sebagaimana dilaporkan Bank Pembangunan Asia (ADB,
Asia’s Energy Challenge, Manila, April 2013), antrean rata-rata kargo di
Tanjung Priok kini mencapai 6,7 hari. Artinya, kargo harus menunggu
hampir 7 hari sebelum terangkut kapal ke luar pelabuhan. Waktu antrean
ini lebih buruk daripada di Thailand (5 hari); Malaysia, Amerika Serikat,
dan Inggris (4); Australia, Selandia Baru, dan Perancis (3); China dan Hongkong
(2). Yang terbaik adalah Singapura (1,1 hari).
Sosialisasi
Pemerintah sebaiknya
menyosialisasikan fakta-fakta tersebut kepada khalayak luas. Indonesia
saat ini memang masih bisa membukukan pertumbuhan ekonomi 6,23 persen.
Namun, ke depan, jika kita terlambat membangun infrastruktur, pertumbuhan
ekonomi kita bakal melorot tajam. India sudah mengalaminya. Pertumbuhan
ekonomi beberapa tahun terakhir selalu di atas 8 persen, tetapi mereka
lalai membangun infrastruktur. Akibatnya, mereka cuma bisa tumbuh 5,4
persen pada 2012. Penyebabnya adalah berkurangnya minat para investor
tatkala infrastrukturnya tidak kondusif bagi ekspansi investasi. Kita
tidak boleh mengulang kesalahan ini.
Sosialisasi lain yang diperlukan
adalah menyadarkan masyarakat bahwa Indonesia bukanlah negara produsen
minyak yang besar. Kita memang pernah memproduksi minyak 1,6 juta barrel
per hari, tetapi itu dulu tahun 1995. Sekarang, produksi kita sudah jauh
merosot menjadi tinggal separuh: 830.000 barrel per hari. Karena itu,
tidak boleh kita cemburu kepada negara-negara produsen minyak yang
menetapkan harga BBM rendah, seperti Venezuela (Rp 300 per liter), Arab
Saudi (Rp 2.000 per liter), dan Uni Emirat Arab (Rp 4.600 per liter).
Mereka masih layak melakukannya karena produksinya besar: Venezuela (2,9
juta barrel per hari), Arab Saudi (9,4 juta barrel per hari), dan UEA
(2,6 juta barrel per hari).
Di Brunei, harga minyak hampir
sama dengan di Indonesia (Rp 4.700 per liter), tetapi produksinya 300.000
barrel per hari. Padahal, penduduknya cuma 350.000 orang. Berarti, rasio
produksi minyak terhadap penduduk hampir sama dengan satu. Di Indonesia,
rasionya adalah 830.000 berbanding 245 juta, alias 1 berbanding 0,003.
Dengan kata lain, kondisi Indonesia sudah jauh berubah dibandingkan saat
masih menikmati bonanza minyak pada 1980-an dan 1990-an. Karena itu,
tidak layak jika harga BBM kita disamakan dengan harga BBM para produsen
besar tersebut.
Keadilan dan inflasi
Menjelang dipangkasnya subsidi
BBM, isu-isu sentral kita saat ini terutama adalah soal keadilan
(fairness) dan inflasi. Dalam hal keadilan, pemerintah tampaknya mulai
bisa menerima ide sederhana bahwa para pengendara sepeda motor layak dan
masuk akal untuk menerima subsidi terbesar. Harga BBM untuk mereka tetap
Rp 4.500 per liter, yang berarti menerima subsidi Rp 5.000 per liter.
Memang ada kekhawatiran adanya
kebocoran. Namun, setiap skema pemangkasan subsidi BBM akan senantiasa
rawan kebocoran. Bukan cuma subsidi kepada sepeda motor saja yang rawan,
subsidi kepada kendaraan angkutan umum juga berpotensi bocor. Meski
demikian, skema ini tetap layak diterapkan karena penumpang sepeda motor
dan kendaraan umum merepresentasikan lapisan masyarakat yang paling
rentan terimbas krisis harga BBM. Tugas pemerintah untuk menekan
kebocoran ini sekecil mungkin.
Mengenai inflasi, saat ini year
on year 5,9 persen. Jika distribusi diperbaiki dan larangan impor
dikoreksi, kemungkinan besar inflasi akan dijinakkan ke level 5 hingga
5,5 persen. Jika harga BBM bersubsidi untuk kendaraan pribadi dinaikkan menjadi Rp
6.500 atau Rp 7.000 per liter, akan timbul tambahan inflasi 1 hingga 1,5 persen,
sehingga inflasi 2013 akan mencapai 6,5 hingga 7 persen. Memang cukup
tinggi, tetapi belum setinggi India tahun lalu yang mengalami inflasi 9
hingga 10 persen karena mereka menaikkan harga BBM. Di India kini harga
BBM Rp 13.000 per liter.
Kenaikan harga BBM bersubsidi
adalah sebuah keterpaksaan yang wajib dieksekusi. Jika tidak dilakukan
sekarang, hal itu akan menjadi tumpukan beban APBN yang berkepanjangan.
Harga BBM dunia tak akan pernah turun karena konsumsinya terus meningkat
dan upaya penghematan tidak didukung oleh daya memaksa.
Sementara itu, saya masih yakin
bahwa Presiden tidak sedang berencana mewariskan masalah ini kepada
penggantinya kelak. Karena itu, meski pahit, keputusan harus segera
diambil. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar