Perkembangan demokrasi Indonesia
memenuhi sisi negatif dari poliarki yang dibayangkan Aristoteles:
pemerintahan mediokritas yang didarahi praktik politik kotor di bawah
penguasaan uang. Bawaan negatif itu tak terhindarkan karena demokrasi
Indonesia dirayakan oleh kedangkalan, tanpa memberikan ruang bagi
kedalaman etika dan penalaran.
Demokrasi beradab berdiri di
atas sendi- sendi negara hukum (nomokrasi); adapun hukum yang sehat
berenang di kedalaman samudra etika. Bahwa hukum dan konstitusi hanya
bisa dijalankan sejauh ada penghayatan dan komitmen etis yang kuat. Tanpa
kedalaman etika, hukum berhenti sebagai formalitas prosedural, hampa
substansi keadilan; berbilang undang-undang dibuat sekadar memenuhi
prasyarat formal, tanpa keteguhan penegakan.
Dalam demokrasi tanpa kedalaman
nomokrasi, seperti dalam aliran sungai, hal-hal sepele mengambang di
permukaan, membiarkan hal-hal berbobot substantif tenggelam. Politik
sebagai ruang penampakan sekadar dihiasi oleh etiket; pola gerak tutur
sebagai teknis pengelolaan kesan. Substansi etika politik, sebagai
perkhidmatan kepada kebajikan hidup bersama, dikaramkan.
Contoh terbaik dari
inkonsistensi antara permukaan dan kedalaman ini adalah perangai Presiden
dan Wakil Presiden saat ini. Keduanya tampak lebih mengedepankan etiket
ketimbang etika; terkesan santun dalam gerak tuturnya, tetapi secara
dingin tega membunuh etika. Di balik kesantunan mereka, jejak pelanggaran
etika bisa dilacak setidaknya dalam megaskandal BLBI dan Bank Century
serta pelanggaran etika konstitusional dan fatsun politik dilakukan.
Penekanan pada permukaan
prosedur hukum dengan mengabaikan kedalaman substansi keadilan memudahkan
hukum tergelincir pada proses-proses transaksional. Hukum yang
ditransaksikan mengaburkan kepastian hukum, yang dapat membangkitkan
ketidakpercayaan pada negara hukum. Jika negara hukum tak bisa dipercaya,
orang akan mencari keadilan dengan caranya sendiri. Pihak-pihak yang
menguasai sarana kekerasan akan merajalela, membuat demokrasi berujung
pada anarki dan tirani. Kasus penyerbuan ke Lembaga Pemasyarakatan
Cebongan, Sleman, DI Yogyakarta, hanyalah riak permukaan dari suatu
krisis demokrasi-nomokrasi yang lebih mendalam.
Krisis kedalaman etika ini
diperburuk krisis kedalaman penalaran. Berbagai cacat yang tampak pada
amandemen konstitusi, produk perundang-undangan, dan desain institusi
demokrasi mencerminkan merosotnya kualitas nalar publik. Ke mana saja
kita berpaling, sulit menemukan politisi dan pekerja intelektual yang
tekun mengembangkan penalaran secara jernih dan mendalam.
Desain institusi demokrasi
memperburuk keadaan, ketika basis perekrutan kepemimpinan politik lebih
menekankan sumber daya alokatif (logistik) ketimbang sumber daya
otoritatif (kemampuan). Demokrasi tidak menjadi ajang penguatan
”meritokrasi” (pemerintahan oleh orang-orang yang mampu); sebaliknya,
menjadi katalis bagi ”mediokrasi” (pemerintahan oleh orang-orang
medioker).
Gelombang pasang mediokrasi ini
bersejalan dengan apa yang disebut Frank Furedi sebagai the cult of philistinism; pemujaan
terhadap budaya kedangkalan oleh perhatian yang berlebihan terhadap
interes-interes material dan praktis. Universitas dan lembaga pendidikan
sebagai benteng kedalaman ilmu luluh kegairahan intelektualnya, tergerus
dominasi etos manajerialisme dan instrumentalisme; etos menghargai seni,
budaya, dan pendidikan sejauh yang menyediakan instrumen untuk melayani
tujuan-tujuan praktis. Orang-orang yang membaca buku dan mengobarkan
kegairahan intelektual berisiko dicap sebagai ’’elitis”, ”tak membumi”,
dan ”marjinal”. Kedalaman ilmu dan wawasan kemanusiaan dihindari,
kedangkalan dirayakan.
Di dalam demokrasi tanpa kedalaman
etika dan penalaran, politik kehilangan perisai dari penetrasi kekuatan
uang. Tanpa kekuatan etika dan nalar publik, Benjamin Barber
memperlihatkan demokrasi tersungkur kekuatan uang. Peminggiran peran
warga negara dalam berdemokrasi dilakukan melalui empat cara.
Pertama, kekuatan kapitalis
mengerdilkan konsumen melalui pengedepanan hal-hal gampang daripada yang
susah, yang sederhana daripada yang rumit, yang segera daripada yang
perlahan. Kedua, memprivatkan warga negara sehingga ”aku” diprioritaskan
di atas ”kita”; menimbulkan semacam ”civic schizophrenia” yang menolak
segala yang ”civic” dan ”public”.
Ketiga, branding recognition menggantikan
kualitas dan identitas ideologis—orang diidentifikasi melalui merek
barang yang dikonsumsi ketimbang karena identitas religius atau afinitas
ideologisnya. Dengan kata lain, ”ketidakotentikan menjadi semacam
keotentikan rekaan”; ”makna” hakiki menjadi kehilangan makna.
Masyarakat demokratis akhirnya
dijajah kepentingan imperatif pasar, kehidupannya diseragamkan, ruang
publiknya dirampas dengan privatisasi, dan identitasnya digerus ke dalam
merek dan logo. Demokrasi sebagai sarana penguatan daulat rakyat
tergelincir menjadi instrumen daulat modal.
Demokrasi harus dipastikan tetap
di bawah kepemimpinan hikmat-kebijaksanaan. Dalam amanat proklamasi, 17
Agustus 1956, Bung Karno mengingatkan pentingnya bangsa ini merawat
kedalaman.
”Bangsa Indonesia harus mempunyai isi-hidup dan arah-hidup.
Kita harus mempunyai levensinhoud
dan levensrichting. Bangsa yang
tidak mempunyai isi-hidup dan arah-hidup adalah bangsa yang hidupnya
tidak dalam, bangsa yang dangkal, bangsa yang cetek, bangsa yang tidak
mempunyai levensdiepte sama sekali. Ia adalah bangsa penggemar
emas-sepuhan, dan bukan emasnya batin. Ia mengagumkan kekuasaan pentung,
bukan kekuasaan moril. Ia cinta kepada gebyarnya lahir, bukan kepada
nurnya kebenaran dan keadilan. Ia kadang-kadang kuat—tetapi kuatnya
adalah kuatnya kulit, padahal ia kosong-melompong di bagian dalamnya”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar