Selasa, 16 April 2013

Demokrasi Tanpa Kedalaman


Demokrasi Tanpa Kedalaman
Yudi Latif  Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan
KOMPAS, 16 April 2013


Perkembangan demokrasi Indonesia memenuhi sisi negatif dari poliarki yang dibayangkan Aristoteles: pemerintahan mediokritas yang didarahi praktik politik kotor di bawah penguasaan uang. Bawaan negatif itu tak terhindarkan karena demokrasi Indonesia dirayakan oleh kedangkalan, tanpa memberikan ruang bagi kedalaman etika dan penalaran.
Demokrasi beradab berdiri di atas sendi- sendi negara hukum (nomokrasi); adapun hukum yang sehat berenang di kedalaman samudra etika. Bahwa hukum dan konstitusi hanya bisa dijalankan sejauh ada penghayatan dan komitmen etis yang kuat. Tanpa kedalaman etika, hukum berhenti sebagai formalitas prosedural, hampa substansi keadilan; berbilang undang-undang dibuat sekadar memenuhi prasyarat formal, tanpa keteguhan penegakan.
Dalam demokrasi tanpa kedalaman nomokrasi, seperti dalam aliran sungai, hal-hal sepele mengambang di permukaan, membiarkan hal-hal berbobot substantif tenggelam. Politik sebagai ruang penampakan sekadar dihiasi oleh etiket; pola gerak tutur sebagai teknis pengelolaan kesan. Substansi etika politik, sebagai perkhidmatan kepada kebajikan hidup bersama, dikaramkan.
Contoh terbaik dari inkonsistensi antara permukaan dan kedalaman ini adalah perangai Presiden dan Wakil Presiden saat ini. Keduanya tampak lebih mengedepankan etiket ketimbang etika; terkesan santun dalam gerak tuturnya, tetapi secara dingin tega membunuh etika. Di balik kesantunan mereka, jejak pelanggaran etika bisa dilacak setidaknya dalam megaskandal BLBI dan Bank Century serta pelanggaran etika konstitusional dan fatsun politik dilakukan.
Penekanan pada permukaan prosedur hukum dengan mengabaikan kedalaman substansi keadilan memudahkan hukum tergelincir pada proses-proses transaksional. Hukum yang ditransaksikan mengaburkan kepastian hukum, yang dapat membangkitkan ketidakpercayaan pada negara hukum. Jika negara hukum tak bisa dipercaya, orang akan mencari keadilan dengan caranya sendiri. Pihak-pihak yang menguasai sarana kekerasan akan merajalela, membuat demokrasi berujung pada anarki dan tirani. Kasus penyerbuan ke Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Sleman, DI Yogyakarta, hanyalah riak permukaan dari suatu krisis demokrasi-nomokrasi yang lebih mendalam.
Krisis kedalaman etika ini diperburuk krisis kedalaman penalaran. Berbagai cacat yang tampak pada amandemen konstitusi, produk perundang-undangan, dan desain institusi demokrasi mencerminkan merosotnya kualitas nalar publik. Ke mana saja kita berpaling, sulit menemukan politisi dan pekerja intelektual yang tekun mengembangkan penalaran secara jernih dan mendalam.
Desain institusi demokrasi memperburuk keadaan, ketika basis perekrutan kepemimpinan politik lebih menekankan sumber daya alokatif (logistik) ketimbang sumber daya otoritatif (kemampuan). Demokrasi tidak menjadi ajang penguatan ”meritokrasi” (pemerintahan oleh orang-orang yang mampu); sebaliknya, menjadi katalis bagi ”mediokrasi” (pemerintahan oleh orang-orang medioker).
Gelombang pasang mediokrasi ini bersejalan dengan apa yang disebut Frank Furedi sebagai the cult of philistinism; pemujaan terhadap budaya kedangkalan oleh perhatian yang berlebihan terhadap interes-interes material dan praktis. Universitas dan lembaga pendidikan sebagai benteng kedalaman ilmu luluh kegairahan intelektualnya, tergerus dominasi etos manajerialisme dan instrumentalisme; etos menghargai seni, budaya, dan pendidikan sejauh yang menyediakan instrumen untuk melayani tujuan-tujuan praktis. Orang-orang yang membaca buku dan mengobarkan kegairahan intelektual berisiko dicap sebagai ’’elitis”, ”tak membumi”, dan ”marjinal”. Kedalaman ilmu dan wawasan kemanusiaan dihindari, kedangkalan dirayakan.
Di dalam demokrasi tanpa kedalaman etika dan penalaran, politik kehilangan perisai dari penetrasi kekuatan uang. Tanpa kekuatan etika dan nalar publik, Benjamin Barber memperlihatkan demokrasi tersungkur kekuatan uang. Peminggiran peran warga negara dalam berdemokrasi dilakukan melalui empat cara.
Pertama, kekuatan kapitalis mengerdilkan konsumen melalui pengedepanan hal-hal gampang daripada yang susah, yang sederhana daripada yang rumit, yang segera daripada yang perlahan. Kedua, memprivatkan warga negara sehingga ”aku” diprioritaskan di atas ”kita”; menimbulkan semacam ”civic schizophrenia” yang menolak segala yang ”civic” dan ”public”.
Ketiga, branding recognition menggantikan kualitas dan identitas ideologis—orang diidentifikasi melalui merek barang yang dikonsumsi ketimbang karena identitas religius atau afinitas ideologisnya. Dengan kata lain, ”ketidakotentikan menjadi semacam keotentikan rekaan”; ”makna” hakiki menjadi kehilangan makna.
Masyarakat demokratis akhirnya dijajah kepentingan imperatif pasar, kehidupannya diseragamkan, ruang publiknya dirampas dengan privatisasi, dan identitasnya digerus ke dalam merek dan logo. Demokrasi sebagai sarana penguatan daulat rakyat tergelincir menjadi instrumen daulat modal.
Demokrasi harus dipastikan tetap di bawah kepemimpinan hikmat-kebijaksanaan. Dalam amanat proklamasi, 17 Agustus 1956, Bung Karno mengingatkan pentingnya bangsa ini merawat kedalaman.
Bangsa Indonesia harus mempunyai isi-hidup dan arah-hidup. Kita harus mempunyai levensinhoud dan levensrichting. Bangsa yang tidak mempunyai isi-hidup dan arah-hidup adalah bangsa yang hidupnya tidak dalam, bangsa yang dangkal, bangsa yang cetek, bangsa yang tidak mempunyai levensdiepte sama sekali. Ia adalah bangsa penggemar emas-sepuhan, dan bukan emasnya batin. Ia mengagumkan kekuasaan pentung, bukan kekuasaan moril. Ia cinta kepada gebyarnya lahir, bukan kepada nurnya kebenaran dan keadilan. Ia kadang-kadang kuat—tetapi kuatnya adalah kuatnya kulit, padahal ia kosong-melompong di bagian dalamnya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar