Ketika bendera dan lambang Aceh
disahkan pada 22 Maret lalu, ratusan kelompok yang menamakan diri Rakyat
Gayo Merdeka melakukan demonstrasi di depan kantor DPR Aceh.
Mereka menolak bendera bulan
bintang dan lambang singa-bouraq dijadikan identitas daerah yang baru.
Demonstran membawa bendera Kerajaan Linge, salah satu kerajaan pedalaman
di Aceh. Di pesisir barat dan selatan Aceh juga terjadi aksi penolakan
serupa. Uniknya, mereka menggerek Bendera Merah Putih, bukan lambang
Pancacita yang menjadi lambang Pemerintahan Aceh selama hampir 60 tahun.
Pemerintah Aceh saat ini
bergeming. Menurut mereka, proses legislasi telah memenuhi kehendak mayoritas
masyarakat. Ketika datang ke Aceh untuk meminta agar Qanun No 3 Tahun
2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh direvisi, Mendagri juga disambut
konvoi ribuan orang yang membawa bendera bulan sabit-bintang merah itu.
Historis dan Semiotis
Secara historis, referensi
publik tentang bendera dan lambang itu tak bisa dilepaskan dari kronologi
Aceh Merdeka (sebelum berubah menjadi Gerakan Aceh Merdeka pada tahun
1990-an) yang digagas Hasan Tiro pada tahun 1976. Bendera bulan
sabit-bintang dengan latar merah dan strip putih dan hitam itu bukanlah
bendera dan lambang kerajaan atau kelompok politik Aceh pada masa lalu.
Bendera Kerajaan Pasai adalah
pedang dengan latar kaligrafi Arab yang berisi kutipan ayat Al Quran.
Warna dasar bendera ini adalah merah kayu dengan kombinasi kuning. Kini,
salah satu bendera aslinya tersimpan di Rijksmuseum, Amsterdam.
Bendera kerajaan Aceh Darussalam
sejak sultan pertama, Alaidin Ali Mughayat Syah (1511-1530), adalah bulan
sabit-bintang dengan pedang di bawahnya. Warna aslinya adalah hijau.
Warna hijau juga digunakan Republik Islam Aceh, para mantan kombatan
Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Aceh pada tahun 1970-an
sebagai bendera (Al Chaidar, 1999). Warna hijau selalu dekat dengan
simbol Islam.
Menurut pandangan sejarawan,
warna merah baru digunakan sebagai warna dasar bendera ketika terjadi
konflik dan rencana ekspansi seperti ke Kerajaan Melayu Johor, Siak,
Panai, dan Asahan (Anthony Reid, 2005).
Adapun lambang Aceh yang selama
ini dipakai sejak menjadi daerah istimewa (1957) adalah Pancacita.
Lambang ini menggunakan gambar padi, kapas, kalam, cerobong pabrik, dan
kitab, di samping rencong yang membahasakan pesan keadilan, kepahlawanan,
kemakmuran, kerukunan, dan kesejahteraan.
Warna dasarnya adalah warna
hijau dan kuning, dua dari tiga warna yang lazim digunakan di tanah
Melayu, selain merah untuk sulaman dan riasan pengantin (Barbara Leigh,
Hands of Time: The Craft of Aceh, 1989).
Secara semiotis, lambang dan
bendera yang diciptakan Hasan Tiro memiliki strategi linguistik baru. Ia
ingin memberi muatan yang berbeda dengan sejarah Aceh sebelumnya. Pilihan
politik GAM adalah etno-nasionalisme sekuler, sedangkan DI/TII atau NII
berbasiskan politik agama (Hasan Saleh, 1992; Olle Tornquist, 2010).
Warna dasar merah pada bendera
GAM melambangkan perlawanan dan keberanian. Garis hitam melambangkan
kematian oleh perang (martyrdom), dan warna putih memberikan makna
denotatif: kesucian dan ketulusan. Namun, mengapa warna merah? Merah
adalah warna favorit setiap gerakan-gerakan separatisme atau tuntutan
kemerdekaan di dunia (Indra J Piliang, 2010).
Demikian pula Singa-Bouraq yang
ada di dalam lambang GAM. Singa melambangkan kekuatan dan keberanian,
sedangkan bouraq dianggap kendaraan Nabi Muhammad saat isra Mikraj,
melambangkan kelihaian dan kecepatan.
Bila setiap penanda (signifier) memerlukan petanda (signified) untuk memberikan makna
(signification), tanda-tanda
itu seperti lepas dari konteks Aceh. Mengapa singa? Singa bukan simbol
raja hutan di Asia Tenggara. Raja rimba tanah Melayu adalah harimau.
Demikian pula visualisasi
bouraq, yaitu kuda bersayap berkepala perempuan dan bermahkota dengan
rambut berjuntai-juntai. Beberapa kali saya dengar celotehan publik, ”kalau itu kendaraan Nabi untuk isra
Mikraj, tentu sudah batal wudu karena menunggangi binatang separuh
perempuan.”
Di tengah singa dan bouraq ada
gambar bendera dengan warna biru-kuning-hitam. Tak ada seorang pun yang
tahu pesan ini, kecuali Hasan Tiro sebagai pengarang (author). Namun, sebagai pembaca,
saya mencoba mencari referensi. Aha! Bukankah warna bendera Swedia,
negeri tempat eksil tokoh-tokoh GAM, adalah biru dan kuning? Bagaimana
dengan warna hitam? Bisa saja warna itu ditambahkan untuk memberikan
pengaburan (deception)?
Setelah hidup bertahun-tahun,
mereka pasti belajar dan terinspirasi dengan nilai-nilai filosofis negara
Skandinavia itu.
Bahkan, kata-kata dalam huruf
Jawi yang terdapat di bawah lambang, hudep
besaree, matee beusajan (hidup dan mati kita bersama), tidak
berangkat dari parole Aceh. Dalam peribahasa Aceh dikenal kalimat, hudep mulia, matee besyahed (hidup
dalam kemuliaan, dan mati dalam kesyahidan). Kesimpulannya, hampir
seluruh penanda bermuara pada relasi signifikansi yang sifatnya impor,
tidak antropologis lokal.
Jangan Eksklusif
Tentu saja, pesan visual itu tak
dapat dilepaskan dari sejarah GAM dan kini Partai Aceh (PA). Melalui
bendera dan lambang seperti itu, PA bisa menangguk deposit simbolis
paling besar, terutama berkaitan dengan momen elektoral 2014. Amanat
Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UU No 11 Tahun 2006 Pasal 246) jelas
menyebutkan, bendera dan lambang harus mencirikan keistimewaan dan
kekhususan serta simbol kedaulatan.
Kekhususan seharusnya juga
menimbang pelbagai etnis dan kultur kesejarahan Aceh yang tidak tunggal.
Hal ini penting agar tidak terjadi kristalisasi politik seperti gagasan
pendirian Provinsi Aceh Leuser Antara dan Aceh Barat Selatan semakin
membesar dan memberikan risiko bagi bangunan perdamaian.
Masyarakat di daerah itu merasa,
politik diskriminasi semakin berakar dengan bendera dan lambang baru itu.
Pemerintah pun harus jeli mendengar suara-suara minoritas yang tidak puas
dengan merancang proses deliberalisasi yang lebih meluas.
Pengalaman di Aceh bisa menjadi
pelajaran juga bagi daerah lain agar inisiasi dan legislasi bendera dan
lambang memberikan kepuasan batin dan bersifat inklusif, tidak menjadi
simbol eksklusif yang dinikmati sebagian kelompok. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar