Tak Jera
Ancaman Penjara
Marwan Mas ; Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45,
Makassar
|
|
KORAN SINDO, 19 April 2013
Penyelenggara negara dan pegawai negeri sipil (PNS)
tidak merasa takut dengan ancaman penjara. Mereka kehilangan rasa malu
dan akal sehat, padahal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kepolisian,
dan kejaksaan hampir tiap pekan menangkap para terduga korupsi.
Para calon koruptor juga sudah tahu bahwa KPK punya senjata pamungkas
berupa penyadapan telepon. KPK selalu memonitor percakapan penyelenggara
negara yang dicurigai sedang menangani proyek negara sehingga transaksi
suap dan gratifikasi bisa ditangkap tangan. Tetapi, itu pun tidak punya
pengaruh apa-apa. Penjara tidak mampu membuat koruptor jera atau
menimbulkan rasa takut bagi calon koruptor untuk mewujudkan niatnya
mencuri uang rakyat.
Buktinya, KPK kembali menangkap tangan politikus Partai Demokrat yang
juga Ketua DPRD Kabupaten Bogor (17/4) Iyus Djuher lantaran menerima
suap. Penangkapan itu kelanjutan dari operasi tangkap tangan KPK pada
Selasa (16/4) malam terhadap tujuh staf Pemerintah Kabupaten Bogor dan
calo tanah. Dalam penangkapan itu, KPK berhasil menyita uang sogok
sekitar Rp800 juta serta dua mobil. Mereka diduga terlibat kasus
pembebasan tanah di Tanjungsari, Bogor, untuk lokasi permakaman mewah
(SINDO, 18/4).
Lagi-lagi Politisi
Penangkapan Ketua DPRD Kabupaten Bogor yang juga politisi tentu saja
menambah daftar panjang pejabat negara yang tersandung korupsi. Lagilagi
politisi karena memang punya kewenangan untuk menentukan proyek negara
dengan cara berselingkuh dengan eksekutif dan pengusaha. APBN/APBD
dijadikan ATM untuk memperkaya dan menguntungkan diri sendiri atau
golongannya.
Rakyat sudah sangat muak, bahkan prihatin lantaran ancaman penjara,
denda, dan pembayaran uang pengganti tidak berdampak positif dalam
memberantas korupsi. Malah penyelenggara negara dan PNS semakin liar,
berani melakukan perlawanan dengan berlomba menyiasati peraturan untuk
membobol uang rakyat. Mereka berani melakukan transaksi ilegal untuk
mengeruk uang rakyat. Karena ancaman sanksi berat sepertinya tidakmempan,
usaha pencegahan selain upaya memiskinkanharussegera diintensifkan.
Seharusnya pemerintah dan DPR lebih kreatif melakukan pencegahan dengan
membuat peraturan yang lebih progresif.
Para politisi bermental korup harus diawasi, diintai, dan diinsyafkan
bahwa jabatan adalah amanah, bukan mencari keuntungan secara tidak halal.
Tetapi, bisakah hal itu dilakukan di tengah banyaknya dana yang
dikeluarkan untuk duduk di kursi legislatif? Betapa tidak, saat ini
partai politik (parpol) sedang sibuk menyusun dan mendaftarkan calon
legislatifnya di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dari berbagai pemberitaan,
sejumlah parpol mewajibkan calegnya menyetor sejumlah uang sebagai uang
mahar yang besarannya bisa membuat rakyat bawah tercengang.
Itu belum termasuk dana buat tim sukses dan politik uang. Jika semua
ketentuan sudah ditabrak demi mengembalikan modal saat pencalonan, negeri
ini dipastikan mendekati kebangkrutan. Peraturan seberat apa pun ancaman
sanksinya, jika moralitas politisi dan aparat pemerintah tidak dibenahi,
uang negara akan terus terancam. Padahal, peraturan dibuat untuk mengatur
bagaimana penyelenggara negara mengatur dan menggunakan uang negara untuk
sebesarbesarnya kesejahteraan rakyat. Tetapi, kita juga berharap KPK
tidak hanya berfokus memberantas korupsi di Jawa dan Sumatera.
Di luar dua pulau itu, korupsi dengan pola suap dan gratifikasi juga jauh
lebih marak. Pola transaksi gelap harus terus disadap di tengah
kemiskinan rakyat, sembari menuntaskan kasus besar. Menyadap pejabat
daerah yang gemar menyiasati uang rakyat merupakan keniscayaan
Eksperimentasi Hukum
Kita mendukung berbagai peraturan untuk memiskinkan koruptor. Tetapi
ternyata belum membawa hasil lantaran hakim tidak berani melakukan aksi
progresif dengan melakukan “eksperimentasi hukum” yaitu memberdayakan
hukum sebagai sarana terapi kejut sekaligus preventif. Hukum harus
diberdayakan untuk membungkam kekuatan koruptor yang sistematis dan
terstruktur.
Sebetulnya pembuat UU Nomor 31/1999 yang diubah dengan UU Nomor 20/2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mendesain pemiskinan
koruptor. Terdakwa bisa dijatuhi pidana denda sekaligus pidana tambahan
berupa “pembayaran uang pengganti” sebesar dana yang dikorupsi (Pasal 18
ayat 1 huruf-b UU Nomor 31/1999). Jika terpidana tidak membayar uang
pengganti dalam jangka waktu satu bulan sesudah putusan hakim berkekuatan
hukum tetap, harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk
menutupi uang pengganti tersebut.
Penjatuhan pidana denda dan pembayaran uang pengganti bisa memiskinkan
karena jumlah kerugian negara yang dikorupsi harus diganti, kemudian
ditambah denda sehingga terpidana akan terkuras hartanya selain dari
harta yang dikorupsi. Namun, Pasal 18 ayat (3) UU Nomor 31/1999 memberi
toleransi bahwa jika tidak mempunyai harta yang mencukupi untuk membayar
uang pengganti, bisa diganti dengan pidana penjara yang kadang sangat
ringan. Penjara pengganti itu harus ditentukan dalam putusan hakim. Kita
berharap hakim melakukan eksperimentasi hukum dengan tidak menerapkan
pidana pengganti jika terpidana tidak membayar uang pengganti.
Boleh jadi harta hasil korupsi disembunyikan sedemikian rapi. Lebih dari
itu, penyidik perlu menerapkan UU Nomor 8/2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang untuk menelusuri harta hasil
korupsi yang disembunyikan seperti yang dilakukan KPK belakangan ini.
Pikiran progresif dalam memerangi korupsi harus dipakai sebagai koreksi
atas pandangan dan penghayatan pragmatis. ●
|
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar