Diakui atau tidak, wajah Islam Indonesia akhirakhir
ini telah diwarnai dialektika pemikiran yang melibatkan kelompok liberal
dan fundamental.
Jika dilihat mundur, pergumulan kelompok Islam liberal dan Islam
fundamental bahkan telah terjadi sejak 1970- an. Saat itu Nurcholish
Madjid (Cak Nur), tokoh sentral pembaruan pemikiran Islam, terlibat
perdebatan sengit dengan kelompok Islam fundamental. Beberapa gagasan Cak
Nur pun menjadi perdebatan hangat seperti sekularisasi, Islam yes partai Islam no, kebebasan berpikir (intellectual freedom), ide tentang
kemajuan (the idea of progress),
dan pentingnya sikap terbuka (inklusivisme).
Meski tidak menggunakan istilah Islam liberal dalam karya-karyanya,
melihat substansi pemikiran yang dikembangkan, tampaknya Cak Nur layak
dijadikan rujukan kelompok Islam liberal. Menurut Charles Kurzman dalam Liberal Islam: A Sourcebook
(1998), umumnya tema yang diwacanakan kelompok Islam liberal meliputi
menolak teokrasi, demokrasi, relasi agama dan negara, pluralisme, hak-hak
perempuan, dan kebebasan berpikir.
Sementara kelompok Islam fundamental melalui beberapa
tokoh dan jaringan institusinya juga tidak mau kalah. Mereka terus
mengampanyekan penolakan terhadap gagasan kelompok Islam liberal. Meski bernaung dalam organisasi
yang berbeda-beda, menurut Dekmejian dalam Islamic Revival (1988), kelompok ini umumnya mewacanakan
pemikiran tentang; Islam sebagai totalitas ajaran yang meliputi agama dan
negara (al-din wa aldawlah),
anjuran kembali kepada Alquran dan Sunnah, puritanisme dan keadilan
sosial (puritanism and social
justice), kedaulatan hanya ada pada Allah dan kekuasaan tunduk pada
syariah (Allah’s sovereignty and the
rule syari’ah), serta jihad sebagai sarana perjuangan untuk mencapai
tujuan.
Kelompok Islam fundamental juga terus berusaha untuk menanamkan pengaruh
baik melalui perjuangan politik maupun kultural. Dengan didorong
keinginan untuk keluar dari apa yang mereka sebut sebagai krisis
multidimensi di bidang sosial, ekonomi, politik, budaya, psikologi,
spiritual, dan militer, kelompok ini terus berusaha bangkit. Seiring
dengan meningkatnya peran kelompok Islam fundamental tampak sekali bahwa
kelompok Islam liberal kurang dapat memberikan pengaruh. Kelompok Islam
liberal bahkan tampak lebih sering menjadi korban ketimbang pemenang.
Selanjutnya Dekmejian menjelaskan karakter kelompok Islam fundamental
meliputi: merata (pervasiveness),
memiliki banyak pusat (polycentrism),
dan berjuang secara terus-menerus (persistence).
Seperti dapat kita amati, gerakan Islam fundamental yang menonjolkan
simbol-simbol keagamaan merupakan fenomena yang merata hampir seluruh
kota besar di Tanah Air. Gerakan ini bahkan dapat dikatakan bersifat
trans-nasional, menembus batas wilayah negara. Sementara karakter polycentrism berarti bahwa dalam
rangka memperjuangkan ideologinya, kelompok Islam fundamental telah
menggunakan banyak organisasi.
Setiap organisasi bertumpu pada seorang pemimpin kharismatik. Menariknya,
meski yang diperjuangkan relatif sama, di antara mereka ternyata tidak
saling berhubungan secara organisatoris. Berkaitan dengan karakter polycentrism ini peranan pemimpin
lokal menjadi sangat menonjol dalam melakukan rekrutmen dan indoktrinasi
terhadap anggota baru. Sementara karakter persistence tampak dalam perjuangan kelompok Islam
fundamental yang tidak pernah mengenal lelah.
Bahkan terkadang perjuangan itu dilakukan dengan cara-cara radikal
seperti yang ditempuh anggota jaringan gerakan terorisme. Karena itu,
dapat dipahami mengapa terorisme di Tanah Air terasa sulit dilumpuhkan
meski banyak tokohnya yang telah dihukum dan bahkan ditembak mati. Harus
diakui, memang tidak semua kelompok Islam fundamental menempuh perjuangan
dengan kekerasan.
Tetapi, protes dengan melibatkan massa dalam jumlah yang besar secara
terus-menerus setidaknya telah menunjukkan betapa kelompok tersebut
bersifat sangat reaksioner dalam merespons situasi yang berkembang. Jika
melihat tren yang berkembang akhir-akhir ini, besar kemungkinan kelompok
Islam fundamental akan tetap memberikan pengaruh yang signifikan. Apalagi
jika melihat kecenderungan Islam fundamental yang kini sedang mengalami
peningkatan syahwat politik.
Karena itu, penting direnungkan hipotesis William Liddle, Indonesianis
asal Amerika Serikat, yang menyatakan bahwa semakin demokratis sebuah
negara, semakin besar kemungkinan munculnya gerakan fundamental.
Sebaliknya, semakin otoriter suatu negara, semakin kecil pula kemungkinan
munculnya gerakan fundamentalis. Agar dialektika pemikiran Islam tidak
saling berhadapan, rasanya setiap kelompok perlu bergerak menuju ke
tengah sehingga lebih moderat.
Langkah ini penting karena setiap kelompok memiliki kelemahan mendasar.
Kelompok Islam liberal, meminjam istilah Kuntowijoyo (2001), tampak
mengalami gejala ”sawan kekanak-kanakan.” Fenomena kekanak-kanakan
ditunjukkan melalui cara berpikir yang ”sok liberal” atau ”kekiri-kirian
(sok radikal).” Wacana yang dikemukakan juga bukan sesuatu yang baru,
bahkan terkadang kurang mendalam, parsial, dan terputus dari khazanah
masa lampau. Sementara Islam fundamental yang kerap menampilkan wajah
pemikiran radikal jelas kurang relevan jika dihadapkan pada
persoalan-persoalan sosial keagamaan era kontemporer.
Sebagai upaya untuk memoderasi pemikiran Islam, yang pertama harus
dilakukan adalah menganggap pemikiran itu sebagai khazanah sehingga tidak
perlu disakralkan. Langkah ini penting agar tidak terjadi penyakralan
terhadap pemikiran keagamaan (taqdis
al-afkar al-diniy). Dengan menempatkan produk pemikiran sebagai
khazanah berarti akan menghilangkan sebagian ”beban” sejarah sehingga
kita dapat lebih kritis memberikan koreksi.
Langkah kedua adalah menampilkan corak pemikiran Islam yang menggabungkan
aspek modernitas dan tradisionalitas, yang dalam bahasa pesantren
dikatakan; al-muhafadhah ’ala
al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah (menjaga tradisi lama yang masih baik
dan mengambil yang baru yang lebih baik). Sikap ini penting agar
pembaruan pemikiran memiliki kesinambungan sejarah dan tidak tercerabut
dari akar tradisinya. Langkah ketiga adalah dengan memperbanyak dialog
pemikiran.
Dialog pemikiran yang tulus dengan disertai kesediaan untuk menerima
kritik mutlak dilakukan supaya tidak ada prasangka antarkelompok. Agar
tidak terkesan formal, dialog juga dapat diwujudkan melalui kegiatan yang
bersifat informal seperti pentas budaya, seni, musik, dan olahraga.
Melalui dialog pemikiran dan perjumpaan-perjumpaan informal inilah, kita
dapat keluar dari dua ekstremitas pemikiran; liberal dan fundamental. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar