Jumat, 19 April 2013

Memoderasi Pemikiran Islam


Memoderasi Pemikiran Islam
Biyanto ;  Dosen IAIN Sunan Ampel,
Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jatim
KORAN SINDO, 19 April 2013

  
Diakui atau tidak, wajah Islam Indonesia akhirakhir ini telah diwarnai dialektika pemikiran yang melibatkan kelompok liberal dan fundamental. 

Jika dilihat mundur, pergumulan kelompok Islam liberal dan Islam fundamental bahkan telah terjadi sejak 1970- an. Saat itu Nurcholish Madjid (Cak Nur), tokoh sentral pembaruan pemikiran Islam, terlibat perdebatan sengit dengan kelompok Islam fundamental. Beberapa gagasan Cak Nur pun menjadi perdebatan hangat seperti sekularisasi, Islam yes partai Islam no, kebebasan berpikir (intellectual freedom), ide tentang kemajuan (the idea of progress), dan pentingnya sikap terbuka (inklusivisme). 

Meski tidak menggunakan istilah Islam liberal dalam karya-karyanya, melihat substansi pemikiran yang dikembangkan, tampaknya Cak Nur layak dijadikan rujukan kelompok Islam liberal. Menurut Charles Kurzman dalam Liberal Islam: A Sourcebook (1998), umumnya tema yang diwacanakan kelompok Islam liberal meliputi menolak teokrasi, demokrasi, relasi agama dan negara, pluralisme, hak-hak perempuan, dan kebebasan berpikir.
Sementara kelompok Islam fundamental melalui beberapa tokoh dan jaringan institusinya juga tidak mau kalah. Mereka terus mengampanyekan penolakan terhadap gagasan kelompok Islam liberal. Meski bernaung dalam organisasi yang berbeda-beda, menurut Dekmejian dalam Islamic Revival (1988), kelompok ini umumnya mewacanakan pemikiran tentang; Islam sebagai totalitas ajaran yang meliputi agama dan negara (al-din wa aldawlah), anjuran kembali kepada Alquran dan Sunnah, puritanisme dan keadilan sosial (puritanism and social justice), kedaulatan hanya ada pada Allah dan kekuasaan tunduk pada syariah (Allah’s sovereignty and the rule syari’ah), serta jihad sebagai sarana perjuangan untuk mencapai tujuan. 

Kelompok Islam fundamental juga terus berusaha untuk menanamkan pengaruh baik melalui perjuangan politik maupun kultural. Dengan didorong keinginan untuk keluar dari apa yang mereka sebut sebagai krisis multidimensi di bidang sosial, ekonomi, politik, budaya, psikologi, spiritual, dan militer, kelompok ini terus berusaha bangkit. Seiring dengan meningkatnya peran kelompok Islam fundamental tampak sekali bahwa kelompok Islam liberal kurang dapat memberikan pengaruh. Kelompok Islam liberal bahkan tampak lebih sering menjadi korban ketimbang pemenang. 

Selanjutnya Dekmejian menjelaskan karakter kelompok Islam fundamental meliputi: merata (pervasiveness), memiliki banyak pusat (polycentrism), dan berjuang secara terus-menerus (persistence). Seperti dapat kita amati, gerakan Islam fundamental yang menonjolkan simbol-simbol keagamaan merupakan fenomena yang merata hampir seluruh kota besar di Tanah Air. Gerakan ini bahkan dapat dikatakan bersifat trans-nasional, menembus batas wilayah negara. Sementara karakter polycentrism berarti bahwa dalam rangka memperjuangkan ideologinya, kelompok Islam fundamental telah menggunakan banyak organisasi.

Setiap organisasi bertumpu pada seorang pemimpin kharismatik. Menariknya, meski yang diperjuangkan relatif sama, di antara mereka ternyata tidak saling berhubungan secara organisatoris. Berkaitan dengan karakter polycentrism ini peranan pemimpin lokal menjadi sangat menonjol dalam melakukan rekrutmen dan indoktrinasi terhadap anggota baru. Sementara karakter persistence tampak dalam perjuangan kelompok Islam fundamental yang tidak pernah mengenal lelah. 

Bahkan terkadang perjuangan itu dilakukan dengan cara-cara radikal seperti yang ditempuh anggota jaringan gerakan terorisme. Karena itu, dapat dipahami mengapa terorisme di Tanah Air terasa sulit dilumpuhkan meski banyak tokohnya yang telah dihukum dan bahkan ditembak mati. Harus diakui, memang tidak semua kelompok Islam fundamental menempuh perjuangan dengan kekerasan. 

Tetapi, protes dengan melibatkan massa dalam jumlah yang besar secara terus-menerus setidaknya telah menunjukkan betapa kelompok tersebut bersifat sangat reaksioner dalam merespons situasi yang berkembang. Jika melihat tren yang berkembang akhir-akhir ini, besar kemungkinan kelompok Islam fundamental akan tetap memberikan pengaruh yang signifikan. Apalagi jika melihat kecenderungan Islam fundamental yang kini sedang mengalami peningkatan syahwat politik. 

Karena itu, penting direnungkan hipotesis William Liddle, Indonesianis asal Amerika Serikat, yang menyatakan bahwa semakin demokratis sebuah negara, semakin besar kemungkinan munculnya gerakan fundamental. Sebaliknya, semakin otoriter suatu negara, semakin kecil pula kemungkinan munculnya gerakan fundamentalis. Agar dialektika pemikiran Islam tidak saling berhadapan, rasanya setiap kelompok perlu bergerak menuju ke tengah sehingga lebih moderat. 

Langkah ini penting karena setiap kelompok memiliki kelemahan mendasar. Kelompok Islam liberal, meminjam istilah Kuntowijoyo (2001), tampak mengalami gejala ”sawan kekanak-kanakan.” Fenomena kekanak-kanakan ditunjukkan melalui cara berpikir yang ”sok liberal” atau ”kekiri-kirian (sok radikal).” Wacana yang dikemukakan juga bukan sesuatu yang baru, bahkan terkadang kurang mendalam, parsial, dan terputus dari khazanah masa lampau. Sementara Islam fundamental yang kerap menampilkan wajah pemikiran radikal jelas kurang relevan jika dihadapkan pada persoalan-persoalan sosial keagamaan era kontemporer. 

Sebagai upaya untuk memoderasi pemikiran Islam, yang pertama harus dilakukan adalah menganggap pemikiran itu sebagai khazanah sehingga tidak perlu disakralkan. Langkah ini penting agar tidak terjadi penyakralan terhadap pemikiran keagamaan (taqdis al-afkar al-diniy). Dengan menempatkan produk pemikiran sebagai khazanah berarti akan menghilangkan sebagian ”beban” sejarah sehingga kita dapat lebih kritis memberikan koreksi.

Langkah kedua adalah menampilkan corak pemikiran Islam yang menggabungkan aspek modernitas dan tradisionalitas, yang dalam bahasa pesantren dikatakan; al-muhafadhah ’ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah (menjaga tradisi lama yang masih baik dan mengambil yang baru yang lebih baik). Sikap ini penting agar pembaruan pemikiran memiliki kesinambungan sejarah dan tidak tercerabut dari akar tradisinya. Langkah ketiga adalah dengan memperbanyak dialog pemikiran. 

Dialog pemikiran yang tulus dengan disertai kesediaan untuk menerima kritik mutlak dilakukan supaya tidak ada prasangka antarkelompok. Agar tidak terkesan formal, dialog juga dapat diwujudkan melalui kegiatan yang bersifat informal seperti pentas budaya, seni, musik, dan olahraga. Melalui dialog pemikiran dan perjumpaan-perjumpaan informal inilah, kita dapat keluar dari dua ekstremitas pemikiran; liberal dan fundamental. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar