Rabu, 03 April 2013

Semangat (Baru) Antikorupsi


Semangat (Baru) Antikorupsi
Dinna Wisnu  ;   Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi,
Universitas Paramadina
KORAN SINDO, 03 April 2013

  
Siapa yang mendukung korupsi? Saya yakin kita semua mengecam korupsi. Tapi apakah kita menolak korupsi dalam hidup kita sehari-hari? Apakah gaya hidup dan cara pikir kita sudah terbebas dari pola-pola koruptif? 

Hampir 15 tahun lalu, ketika ramai-ramai mahasiswa dan massa di Indonesia turun ke jalan menolak sistem politik otoriter dari Rezim Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto, ada satu jargon yang terus bergema keras: Kami anti-KKN (korupsi, kolusi, nepotisme)! Demikian bencinya kita pada korupsi, sehingga jargon tersebut terus diulang-ulang dalam segala momen. Sejak saat itu, perjuangan demi perjuangan sebagai suatu bangsa yang ingin terbebas dari KKN telah kita lalui. 

Ini saatnya kita merefleksikan pencapaian kita sebagai suatu bangsa dalam hal memberantas korupsi. Sumber refleksi kali ini adalah pengalaman yang saya peroleh kemarin. Saya berkesempatan mengawal diskusi internasional di Jakarta di mana ada tiga narasumber dari Vietnam, Kamboja, dan Myanmar yang berbagi pengalaman tentang perjuangan negerinya dalam memberantas korupsi. 

Ketiga negara ini adalah “saudara- saudara muda” kita di ASEAN. Mereka adalah pendatang baru yang sedang bergulat dengan banyak persoalan domestik di tengah upaya ASEAN menjembatani kesenjangan antara mereka dengan negara anggota ASEAN 6 (Thailand, Filipina, Indonesia, Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam). 

Ada catatan menarik dari diskusi tersebut. Pertama, terkait kesadaran akan bentuk-bentuk korupsi. Bagi negara yang baru saja mengumandangkan antikorupsi, hambatan besar dalam pemberantasan korupsi adalah rendahnya kesadaran masyarakat akan ragam sikap dan kegiatan yang memupuk korupsi. Kelihatannya sepele, tapi “kesadaran” tadi sungguh modal besar bagi suatu negara menghapus praktik-praktik korupsi. 

Contohnya demikian. Korupsi tidak terbatas pada “praktik suap, mengambil uang rakyat, menyalahgunakan fasilitas publik yang dibayar dari pajak, tidak optimal bekerja atau memperjuangkan kebutuhan rakyat padahal digaji dari pajak rakyat”, tetapi juga termasuk: pengambilan keputusan yang menyangkut hajat hidup banyak orang secara semenamena, menggunakan anggaran belanja secara semena-mena tanpa melibatkan pemangku kepentingan, membayar supaya bisa menjadi pegawai (entah itu pegawai negeri atau swasta), memberikan ragam fasilitas supaya prosesnya dipercepat/ diistimewakan, menyalahi izin membangun rumah/ gedung, memberi hadiah pada dosen supaya lulus, dan lain sebagainya. 

Artinya, korupsi tidak terbatas pada penyalahgunaan dana publik atau jabatan publik, tetapi juga penyalahgunaan dana dan jabatan di segala tingkatan dan sektor. Korupsi dan antikorupsi menyangkut gaya hidup dan cara pikir dari warga masyarakat. Aturan dan regulasi hampir selalu tidak memadai, karena korupsi menyangkut “kebiasaan melanggar hukum”. 

Di Vietnam, Kamboja, dan Myanmar, aturan antikorupsi bisa dikatakan beragam. Bahkan mereka pun masing-masing punya komisi antikorupsi dan Myanmar punya Komisi Ombudsman tempat rakyat mengadu pada presiden. Kenyataannya itu semua tak cukup. Bahkan ketika aturannya sudah dibuat, individu yang koruptif akan selalu berusaha membodohi  aturan dan sistem. 

Artinya, antikorupsi menghendaki kesadaran akan etika, kemauan mencegah dan menjauhi korupsi, serta membantu negara untuk memperkecil kemungkinan korupsi di segala lini. Itu sebabnya para pengambil kebijakan perlu peka pada kebutuhan di lapangan dan mengusulkan rancangan undang- undang tertentu bukan karena suatu isu sedang ada sponsor (pendana)-nya, tetapi hendaknya karena RUU itu membantu memperkuat akuntabilitas pejabat publik di sektor X, Y, atau Z. Kedua, terkait kemauan masyarakat dan pemerintah untuk meninggalkan praktik-praktik koruptif.

Ketika masyarakatnya bertekad untuk secara kolektif menolak korupsi dan apa pun yang melanggengkan korupsi, maka pemerintah pun pasti mengekor. Pengalaman membuktikan politisi dan birokrat tidak selalu bisa diandalkan sebagai pemimpin antikorupsi yang bersih dan akuntabel. Indonesia punya pengalaman panjang soal ini, bukan? Vietnam, Kamboja, dan Myanmar juga sangat hati-hati pada pernyataanpolitisidanpejabat, apalagi mereka punya sejarah kelam tentang politik berdarah-darah di negerinya masing-masing. 

Semakin banyak masyarakat yang mendukung antikorupsi, apalagi orang-orang mudanya, maka semakin kuat pula gerakan antikorupsi. Cara-cara membangkitkan kemauan bersama ini perlu terus digalang. Pengalaman Indonesia dalam mengumpulkan koin untuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menguatkan peranan LSM (seperti Indonesia Corruption Watch), media massa, serta gerakan menggelar dukungan antikorupsi via Facebook dan Twitter dalam kasus cicak vs buaya adalah contoh-contoh yang dianggap inovatif dalam membangkitkan dukungan antikorupsi. 

Gerakan macam ini perlu diciptakan untuk berbagai rupa potensi korupsi di segala sektor, termasuk juga di sektor pendidikan, layanan kesehatan, dan bisnis. Ketiga, penguatan sistem. Korupsi muncul ketika sistem lemah atau tidak berfungsi dengan baik. Orang yang kesal dan putus asa menunggu lewat jalur sistem, kemudian memilih jalan-jalan pintas. Jadi, manajemen yang lebih baik di segala lini adalah kunci penguatan antikorupsi. 

Sistem juga perlu mengutamakan layanan pada pengguna. Ketika penjaga sistem abai pada pemberian layanan yang nyaman, apalagi dengan desakan hidup yang berat bagi kebanyakan orang (entah dari segi keterbatasan waktu, dana, kemampuan), maka lagi-lagi sulit muncul kesadaran untuk berjalan dalam sistem dan bukannya membodohi sistem. Contohnya soal pembuatan izin. 

Ketika informasi tentang proses, dokumen yang dibutuhkan dan harga tidak dipublikasikan dengan baik, maka muncul calo. Lain lagi soal halhal yang rutin, misalnya seperti yang harus dilalui oleh pebisnis, pencari kerja, pasien. Hal rutin sebenarnya sangat mudah ditemukan “best practice”-nya, alias mudah dicari model-model paling efektif dan cepat melayani mereka semua. 

Jika ada keluhan, wajib ada cara-cara cepat mendata masukan dari mereka. Jika semua dikerjakan secara manual, padahal besaran masalah dan jumlah penggunanya besar, otomatis yang terjadi adalah frustrasi yang berujung pada korupsi. Ayo bergegas beranjak pada sistem teknologi informasi yang bisa diakses di mana pun oleh siapa pun setiap waktu, apalagi karena mobilitas penduduk Indonesia akan terus meningkat. 

Berangkat dari tiga poin tadi, Indonesia perlu bersyukur karena relatif punya pencapaian dibandingkan saudara-saudara di Vietnam, Myanmar, dan Kamboja. Kita sudah punya sejumlah fondasi dan contoh-contoh baik untuk menggerakkan masyarakat Indonesia yang ternyata tidak berhati batu dalam memerangi korupsi. 

Di tingkat internasional, sudah ada dukungan dari PBB berupa Konvensi PBB Menentang Korupsi (United Nations Convention against Corruption) dan di ASEAN sudah terbentuk sejumlah inisiatif memperluas jaringan antikorupsi. Sekarang silakan lanjutkan dengan lebih semangat!  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar