Siapa
yang mendukung korupsi? Saya yakin kita semua mengecam korupsi. Tapi
apakah kita menolak korupsi dalam hidup kita sehari-hari? Apakah gaya
hidup dan cara pikir kita sudah terbebas dari pola-pola koruptif?
Hampir 15
tahun lalu, ketika ramai-ramai mahasiswa dan massa di Indonesia turun ke
jalan menolak sistem politik otoriter dari Rezim Orde Baru pimpinan
Presiden Soeharto, ada satu jargon yang terus bergema keras: Kami
anti-KKN (korupsi, kolusi, nepotisme)! Demikian bencinya kita pada
korupsi, sehingga jargon tersebut terus diulang-ulang dalam segala momen.
Sejak saat itu, perjuangan demi perjuangan sebagai suatu bangsa yang
ingin terbebas dari KKN telah kita lalui.
Ini saatnya
kita merefleksikan pencapaian kita sebagai suatu bangsa dalam hal
memberantas korupsi. Sumber refleksi kali ini adalah pengalaman yang saya
peroleh kemarin. Saya berkesempatan mengawal diskusi internasional di
Jakarta di mana ada tiga narasumber dari Vietnam, Kamboja, dan Myanmar
yang berbagi pengalaman tentang perjuangan negerinya dalam memberantas
korupsi.
Ketiga negara
ini adalah “saudara- saudara muda” kita di ASEAN. Mereka adalah pendatang
baru yang sedang bergulat dengan banyak persoalan domestik di tengah
upaya ASEAN menjembatani kesenjangan antara mereka dengan negara anggota
ASEAN 6 (Thailand, Filipina, Indonesia, Singapura, Malaysia, dan Brunei
Darussalam).
Ada catatan
menarik dari diskusi tersebut. Pertama, terkait kesadaran akan
bentuk-bentuk korupsi. Bagi negara yang baru saja mengumandangkan
antikorupsi, hambatan besar dalam pemberantasan korupsi adalah rendahnya
kesadaran masyarakat akan ragam sikap dan kegiatan yang memupuk korupsi.
Kelihatannya sepele, tapi “kesadaran” tadi sungguh modal besar bagi suatu
negara menghapus praktik-praktik korupsi.
Contohnya
demikian. Korupsi tidak terbatas pada “praktik suap, mengambil uang
rakyat, menyalahgunakan fasilitas publik yang dibayar dari pajak, tidak
optimal bekerja atau memperjuangkan kebutuhan rakyat padahal digaji dari
pajak rakyat”, tetapi juga termasuk: pengambilan keputusan yang
menyangkut hajat hidup banyak orang secara semenamena, menggunakan
anggaran belanja secara semena-mena tanpa melibatkan pemangku
kepentingan, membayar supaya bisa menjadi pegawai (entah itu pegawai
negeri atau swasta), memberikan ragam fasilitas supaya prosesnya
dipercepat/ diistimewakan, menyalahi izin membangun rumah/ gedung,
memberi hadiah pada dosen supaya lulus, dan lain sebagainya.
Artinya,
korupsi tidak terbatas pada penyalahgunaan dana publik atau jabatan
publik, tetapi juga penyalahgunaan dana dan jabatan di segala tingkatan
dan sektor. Korupsi dan antikorupsi menyangkut gaya hidup dan cara pikir
dari warga masyarakat. Aturan dan regulasi hampir selalu tidak memadai,
karena korupsi menyangkut “kebiasaan melanggar hukum”.
Di Vietnam,
Kamboja, dan Myanmar, aturan antikorupsi bisa dikatakan beragam. Bahkan
mereka pun masing-masing punya komisi antikorupsi dan Myanmar punya
Komisi Ombudsman tempat rakyat mengadu pada presiden. Kenyataannya itu
semua tak cukup. Bahkan ketika aturannya sudah dibuat, individu yang
koruptif akan selalu berusaha membodohi aturan dan sistem.
Artinya,
antikorupsi menghendaki kesadaran akan etika, kemauan mencegah dan
menjauhi korupsi, serta membantu negara untuk memperkecil kemungkinan
korupsi di segala lini. Itu sebabnya para pengambil kebijakan perlu peka
pada kebutuhan di lapangan dan mengusulkan rancangan undang- undang
tertentu bukan karena suatu isu sedang ada sponsor (pendana)-nya, tetapi
hendaknya karena RUU itu membantu memperkuat akuntabilitas pejabat publik
di sektor X, Y, atau Z. Kedua, terkait kemauan masyarakat dan pemerintah
untuk meninggalkan praktik-praktik koruptif.
Ketika
masyarakatnya bertekad untuk secara kolektif menolak korupsi dan apa pun
yang melanggengkan korupsi, maka pemerintah pun pasti mengekor.
Pengalaman membuktikan politisi dan birokrat tidak selalu bisa diandalkan
sebagai pemimpin antikorupsi yang bersih dan akuntabel. Indonesia punya
pengalaman panjang soal ini, bukan? Vietnam, Kamboja, dan Myanmar juga
sangat hati-hati pada pernyataanpolitisidanpejabat, apalagi mereka punya
sejarah kelam tentang politik berdarah-darah di negerinya masing-masing.
Semakin
banyak masyarakat yang mendukung antikorupsi, apalagi orang-orang
mudanya, maka semakin kuat pula gerakan antikorupsi. Cara-cara
membangkitkan kemauan bersama ini perlu terus digalang. Pengalaman
Indonesia dalam mengumpulkan koin untuk Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), menguatkan peranan LSM (seperti Indonesia Corruption Watch), media massa, serta gerakan
menggelar dukungan antikorupsi via Facebook dan Twitter dalam kasus cicak
vs buaya adalah contoh-contoh yang dianggap inovatif dalam membangkitkan
dukungan antikorupsi.
Gerakan macam
ini perlu diciptakan untuk berbagai rupa potensi korupsi di segala
sektor, termasuk juga di sektor pendidikan, layanan kesehatan, dan
bisnis. Ketiga, penguatan sistem. Korupsi muncul ketika sistem lemah atau
tidak berfungsi dengan baik. Orang yang kesal dan putus asa menunggu
lewat jalur sistem, kemudian memilih jalan-jalan pintas. Jadi, manajemen
yang lebih baik di segala lini adalah kunci penguatan antikorupsi.
Sistem juga
perlu mengutamakan layanan pada pengguna. Ketika penjaga sistem abai pada
pemberian layanan yang nyaman, apalagi dengan desakan hidup yang berat
bagi kebanyakan orang (entah dari segi keterbatasan waktu, dana,
kemampuan), maka lagi-lagi sulit muncul kesadaran untuk berjalan dalam
sistem dan bukannya membodohi sistem. Contohnya soal pembuatan izin.
Ketika
informasi tentang proses, dokumen yang dibutuhkan dan harga tidak
dipublikasikan dengan baik, maka muncul calo. Lain lagi soal halhal yang
rutin, misalnya seperti yang harus dilalui oleh pebisnis, pencari kerja,
pasien. Hal rutin sebenarnya sangat mudah ditemukan “best practice”-nya, alias mudah dicari model-model paling
efektif dan cepat melayani mereka semua.
Jika ada
keluhan, wajib ada cara-cara cepat mendata masukan dari mereka. Jika
semua dikerjakan secara manual, padahal besaran masalah dan jumlah
penggunanya besar, otomatis yang terjadi adalah frustrasi yang berujung
pada korupsi. Ayo bergegas beranjak pada sistem teknologi informasi yang
bisa diakses di mana pun oleh siapa pun setiap waktu, apalagi karena
mobilitas penduduk Indonesia akan terus meningkat.
Berangkat
dari tiga poin tadi, Indonesia perlu bersyukur karena relatif punya
pencapaian dibandingkan saudara-saudara di Vietnam, Myanmar, dan Kamboja.
Kita sudah punya sejumlah fondasi dan contoh-contoh baik untuk
menggerakkan masyarakat Indonesia yang ternyata tidak berhati batu dalam
memerangi korupsi.
Di tingkat
internasional, sudah ada dukungan dari PBB berupa Konvensi PBB Menentang
Korupsi (United Nations Convention
against Corruption) dan di ASEAN sudah terbentuk sejumlah inisiatif
memperluas jaringan antikorupsi. Sekarang silakan lanjutkan dengan lebih
semangat! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar