Ada
pepatah yang sangat populer, "tak
ada rotan akar pun jadi". Artinya kira-kira: kalau tak ada yang
bagus, yang kurang bagus pun tak masalah. Kalau yang kurang bagus juga
tak ada, yang jelek pun terpaksa dipakai juga.
Dalam
konteks Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat yang berlangsung di Bali
baru-baru ini, karena tidak ada calon ketua umum yang lebih baik
dibanding mantan ketua umum Anas Urbaningrum, atau bahkan tidak ada juga
yang setara dengan Anas Urbaningrum, maka Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
pun dipilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum "sementara"
Partai Demokrat, minimal hingga Pemilu 2014 selesai dilaksanakan. Tak ada
Anas, SBY pun jadi.
Banyak
kalangan menilai terpilihnya SBY menjadi Ketua Umum Partai Demokrat,
meskipun dikemas dengan berbagai argumentasi yang canggih, tetap
merupakan puncak keunikan-untuk mengganti kata dagelan, blunder, atau yang
semacamnya-dalam pentas perpolitikan nasional. Apa saja keunikannya? Mari
kita simak.
Jalan
Blunder
Meskipun
dengan embel-embel "sementara", secara definitif SBY adalah
ketua umum. Artinya, dalam berkas-berkas calon anggota legislator yang
diajukan Partai Demokrat ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) nanti, semuanya
harus ditandatangani oleh Ketua Umum SBY dan Sekretaris Jenderal Edhie
Baskoro Yudhoyono (Ibas). Baru kali ini terjadi dalam sejarah politik di
Tanah Air (mungkin juga di dunia?), ada bapak dan anak sekaligus tanda
tangan dalam surat-surat resmi partai politik. Inilah keunikan pertama.
Kedua,
karena SBY merangkap jabatan Ketua Umum DPP sekaligus Majelis Tinggi dan
Dewan Pembina, pada saat Majelis Tinggi memberikan masukan (sesuai dengan
tugasnya) kepada DPP mengenai siapa calon kepala daerah yang harus
diajukan Partai Demokrat, tentu SBY akan berbicara kepada dirinya
sendiri. Begitu pun pada saat Dewan Pembina menasihati DPP, SBY akan
menasihati dirinya sendiri.
Ketiga,
pada saat SBY sebagai presiden harus berkonsultasi dengan ketua umum
partai-partai pendukung koalisi pemerintah dalam menghadapi
masalah-masalah krusial-sebagaimana yang sudah ditempuh selama ini-maka
SBY antara lain harus berkonsultasi dengan dirinya sendiri.
Dan,
last but not least, biasanya SBY sebagai presiden akan mengucapkan
selamat kepada partai politik yang baru saja berhasil memilih ketua umum
yang baru, entah melalui kongres, muktamar, munas, dan yang sejenisnya.
Kali ini, SBY pun (semestinya) mengucapkan selamat kepada dirinya sendiri
yang baru saja terpilih menjadi Ketua Umum Partai Demokrat.
Semua
keunikan ini tentu tidak akan terjadi jika SBY bukan presiden. Dan publik
pun tidak akan mengkritik keras, atau bahkan tidak akan peduli terhadap
terpilihnya SBY menjadi Ketua Umum Partai Demokrat jika SBY bukan
presiden. Banyak kritik, sinisme, atau bahkan kecaman dialamatkan kepada
SBY lantaran bersedia menjadi ketua umum partai, semata-mata karena SBY
adalah presiden.
Sejak
terpilih menjadi Presiden RI, SBY telah menjadi milik bangsa Indonesia,
telah mengikat janji dengan seluruh rakyat Indonesia. Setelah menjadi
pemimpin partai bermetamorfosis menjadi pemimpin bangsa dan negara adalah
proses politik yang wajar. Tapi, jika yang terjadi adalah sebaliknya,
tentu akan dianggap tidak wajar. Pada saat mengambil alih kewenangan
Ketua Umum Partai Demokrat beberapa waktu lalu, SBY dianggap menempuh
jalan mundur, pada saat SBY menjadi ketua umum rasanya tidak ada istilah
yang lebih tepat kecuali menempuh jalan blunder.
Legacy
yang Buruk
Keunikan-keunikan
di atas tidak akan terjadi jika SBY benar-benar menyatakan diri tidak
bersedia menjadi Ketua Umum Partai Demokrat. Atas alasan apa pun, SBY seharusnya
bisa menolak semua kader partai yang meminta dirinya menjadi ketua umum.
Sebab, SBY adalah presiden yang harus berfokus pada tugas-tugas
kenegaraan dan pemerintahan yang sangat berat.
Kalau
SBY tidak bersedia, semua kader Partai Demokrat akan mengerti dan segera
mencari jalan keluar yang terbaik untuk memilih ketua umum selain SBY.
Selama ini SBY dinilai menjadi presiden yang cukup baik pada saat dia
menganjurkan kepada semua menteri-menterinya yang menjadi pemimpin partai
untuk berfokus pada tugas-tugas pemerintahan. Anjuran demikian secara
tersirat berarti SBY meminta menteri-menterinya tidak merangkap jabatan
dengan ketua umum partai politik.
Ada
sementara kalangan yang membandingkan atau menyamakan SBY dengan Megawati
yang juga (pernah) merangkap jabatan presiden dengan Ketua Umum PDIP.
Menurut saya, kasus yang dihadapi keduanya berbeda. Megawati sudah
menjadi ketua umum PDIP sebelum menjadi presiden. Megawati telah melalui
proses yang wajar, menjadi ketua umum partai dulu, baru menjadi presiden
(bukan sebaliknya).
Jika
SBY menolak jabatan ketua umum partai, walaupun banyak kalangan
memaksanya, ia akan tercatat sebagai presiden yang hebat, yang bisa
memberi teladan kepada generasi mendatang tentang pentingnya menjaga
integritas kenegarawanan; tentang pentingnya menjaga loyalitas kepada
bangsa dan negara yang tidak diganggu oleh kepentingan partisan.
Legacy
luhur itu telah dicatat dengan tinta emas dalam sejarah dunia,
ditinggalkan oleh presiden pertama Filipina saat masih berada di bawah
pendudukan Amerika, Manuel L. Quezon (1878-1944). Quezon menegaskan, "loyalty to my party ends when my
loyalty to my country begins". Presiden Amerika, John F. Kennedy
(1917-1963) mengulang penegasan Quezon itu dalam pidato politiknya.
Sayang sekali, bertolak belakang dengan penegasan Quezon, dengan
bersedia menjadi ketua umum partai politik, sebagai presiden, SBY telah
mengukir legacy yang buruk bagi
bangsa ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar