Rabu, 03 April 2013

Saat SBY Menjadi Akar


Saat SBY Menjadi Akar
Jeffrie Geovanie  ;   Pendiri The Indonesian Institute
KORAN TEMPO, 03 April 2013

  
Ada pepatah yang sangat populer, "tak ada rotan akar pun jadi". Artinya kira-kira: kalau tak ada yang bagus, yang kurang bagus pun tak masalah. Kalau yang kurang bagus juga tak ada, yang jelek pun terpaksa dipakai juga.
Dalam konteks Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat yang berlangsung di Bali baru-baru ini, karena tidak ada calon ketua umum yang lebih baik dibanding mantan ketua umum Anas Urbaningrum, atau bahkan tidak ada juga yang setara dengan Anas Urbaningrum, maka Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun dipilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum "sementara" Partai Demokrat, minimal hingga Pemilu 2014 selesai dilaksanakan. Tak ada Anas, SBY pun jadi.
Banyak kalangan menilai terpilihnya SBY menjadi Ketua Umum Partai Demokrat, meskipun dikemas dengan berbagai argumentasi yang canggih, tetap merupakan puncak keunikan-untuk mengganti kata dagelan, blunder, atau yang semacamnya-dalam pentas perpolitikan nasional. Apa saja keunikannya? Mari kita simak.
Jalan Blunder
Meskipun dengan embel-embel "sementara", secara definitif SBY adalah ketua umum. Artinya, dalam berkas-berkas calon anggota legislator yang diajukan Partai Demokrat ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) nanti, semuanya harus ditandatangani oleh Ketua Umum SBY dan Sekretaris Jenderal Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas). Baru kali ini terjadi dalam sejarah politik di Tanah Air (mungkin juga di dunia?), ada bapak dan anak sekaligus tanda tangan dalam surat-surat resmi partai politik. Inilah keunikan pertama.
Kedua, karena SBY merangkap jabatan Ketua Umum DPP sekaligus Majelis Tinggi dan Dewan Pembina, pada saat Majelis Tinggi memberikan masukan (sesuai dengan tugasnya) kepada DPP mengenai siapa calon kepala daerah yang harus diajukan Partai Demokrat, tentu SBY akan berbicara kepada dirinya sendiri. Begitu pun pada saat Dewan Pembina menasihati DPP, SBY akan menasihati dirinya sendiri.
Ketiga, pada saat SBY sebagai presiden harus berkonsultasi dengan ketua umum partai-partai pendukung koalisi pemerintah dalam menghadapi masalah-masalah krusial-sebagaimana yang sudah ditempuh selama ini-maka SBY antara lain harus berkonsultasi dengan dirinya sendiri.
Dan, last but not least, biasanya SBY sebagai presiden akan mengucapkan selamat kepada partai politik yang baru saja berhasil memilih ketua umum yang baru, entah melalui kongres, muktamar, munas, dan yang sejenisnya. Kali ini, SBY pun (semestinya) mengucapkan selamat kepada dirinya sendiri yang baru saja terpilih menjadi Ketua Umum Partai Demokrat.
Semua keunikan ini tentu tidak akan terjadi jika SBY bukan presiden. Dan publik pun tidak akan mengkritik keras, atau bahkan tidak akan peduli terhadap terpilihnya SBY menjadi Ketua Umum Partai Demokrat jika SBY bukan presiden. Banyak kritik, sinisme, atau bahkan kecaman dialamatkan kepada SBY lantaran bersedia menjadi ketua umum partai, semata-mata karena SBY adalah presiden.
Sejak terpilih menjadi Presiden RI, SBY telah menjadi milik bangsa Indonesia, telah mengikat janji dengan seluruh rakyat Indonesia. Setelah menjadi pemimpin partai bermetamorfosis menjadi pemimpin bangsa dan negara adalah proses politik yang wajar. Tapi, jika yang terjadi adalah sebaliknya, tentu akan dianggap tidak wajar. Pada saat mengambil alih kewenangan Ketua Umum Partai Demokrat beberapa waktu lalu, SBY dianggap menempuh jalan mundur, pada saat SBY menjadi ketua umum rasanya tidak ada istilah yang lebih tepat kecuali menempuh jalan blunder.
Legacy yang Buruk
Keunikan-keunikan di atas tidak akan terjadi jika SBY benar-benar menyatakan diri tidak bersedia menjadi Ketua Umum Partai Demokrat. Atas alasan apa pun, SBY seharusnya bisa menolak semua kader partai yang meminta dirinya menjadi ketua umum. Sebab, SBY adalah presiden yang harus berfokus pada tugas-tugas kenegaraan dan pemerintahan yang sangat berat.
Kalau SBY tidak bersedia, semua kader Partai Demokrat akan mengerti dan segera mencari jalan keluar yang terbaik untuk memilih ketua umum selain SBY. Selama ini SBY dinilai menjadi presiden yang cukup baik pada saat dia menganjurkan kepada semua menteri-menterinya yang menjadi pemimpin partai untuk berfokus pada tugas-tugas pemerintahan. Anjuran demikian secara tersirat berarti SBY meminta menteri-menterinya tidak merangkap jabatan dengan ketua umum partai politik.
Ada sementara kalangan yang membandingkan atau menyamakan SBY dengan Megawati yang juga (pernah) merangkap jabatan presiden dengan Ketua Umum PDIP. Menurut saya, kasus yang dihadapi keduanya berbeda. Megawati sudah menjadi ketua umum PDIP sebelum menjadi presiden. Megawati telah melalui proses yang wajar, menjadi ketua umum partai dulu, baru menjadi presiden (bukan sebaliknya).
Jika SBY menolak jabatan ketua umum partai, walaupun banyak kalangan memaksanya, ia akan tercatat sebagai presiden yang hebat, yang bisa memberi teladan kepada generasi mendatang tentang pentingnya menjaga integritas kenegarawanan; tentang pentingnya menjaga loyalitas kepada bangsa dan negara yang tidak diganggu oleh kepentingan partisan. 
Legacy luhur itu telah dicatat dengan tinta emas dalam sejarah dunia, ditinggalkan oleh presiden pertama Filipina saat masih berada di bawah pendudukan Amerika, Manuel L. Quezon (1878-1944). Quezon menegaskan, "loyalty to my party ends when my loyalty to my country begins". Presiden Amerika, John F. Kennedy (1917-1963) mengulang penegasan Quezon itu dalam pidato politiknya.
Sayang sekali, bertolak belakang dengan penegasan Quezon, dengan bersedia menjadi ketua umum partai politik, sebagai presiden, SBY telah mengukir legacy yang buruk bagi bangsa ini. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar