Semenjak pertama kali muncul
berita bahwa Korea Utara menyatakan perang dengan Korea Selatan, tidak
pernah ditemukan alasan yang rasional di balik keputusan tersebut. Hampir
tidak ada, untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali, alasan yang
masuk akal bagi Kim Jong Un untuk bertindak agresif dan melakukan
tindakan sesuka hatinya, termasuk menyatakan status perang secara
sepihak.
Dalam hal kekuatan militer, meskipun kerap kali disebut memiliki
senjata nuklir, kemampuan Korea Utara tentunya masih jauh di bawah
kekuatan militer Amerika Serikat, aktor di balik Korea Selatan.
Jika selama ini Korea Utara
selalu mendapatkan dukungan dari China maupun Rusia, tindakan sesuka hati
Korea Utara tentunya akan membuat kedua negara besar itu pergi menjauh.
Sehingga, segila apa pun pemimpin suatu negara tidak akan menjerumuskan
rakyatnya dalam peperangan yang hampir bisa dipastikan bagaimana
hasilnya.
Kebijakan Hitler selama Perang Dunia II masih bisa dipandang
rasional, meskipun dampak yang ditimbulkannya hampir tidak bisa
dipercaya. Sang Fuhrer berani melakukan ekspansi besar-besaran, baik ke
Timur maupun ke Barat, karena ia sadar akan kekuatan militernya. Berbeda
halnya dengan kasus Korea Utara. Di era nuklir saat ini, sulit untuk
menerapkan analisa militer klasik, karena daya penghancur senjata nuklir
akan mematikan serangan balasan bagi negara yang diserang terlebih
dahulu. Dengan kata lain, sekali suatu negara diserang menggunakan
senjata nuklir, maka tidak ada kesempatan bagi negara tersebut untuk
membalas, karena telah hancur. Hitung-hitungan inilah yang mendasari
kenapa tidak ditemukan jawaban atau alasan Korea Utara menyatakan perang
dengan Korea Selatan (dan juga secara otomatis dengan AS).
Salah satu kerugian Korea
Utara sebagai negara yang menutup diri (inward looking) adalah menjadi bahan praduga dan
kesalahpahaman. Minimnya sumber dan tidak adanya keterbukaan dalam hal
informasi akan memunculkan interpretasi yang dangkal oleh media
internasional, terutama media Barat.
Baru-baru ini terungkap
bahwa terjadi kesalahan penerjemahan oleh beberapa media Barat, seperti
AFP, Huffington Post, maupun Reuters. Media online Rusia, Ria Novosti
(30/03) memberitakan bahwa telah terjadi kesalahan penerjemahan oleh
beberapa media Barat terkait pernyataan perang Korea Utara.
Sebagian besar media, termasuk Suara
Karya (31/03, mengutip AFP), mengutip satu kalimat pernyataan
perang dari kantor berita Korea Utara, KCNA, sebagai berikut: "Mulai saat ini, hubungan
Utara-Selatan akan memasuki keadaan perang. Semua isu dan urusan antara
kedua Korea akan ditangani secara patut sesuai protokol perang."
Meskipun tidak berubah
banyak, tetapi kesalahan menerjemahkan satu kata saja bisa berakibat
fatal. Pernyataan sebenarnya dari Korea Utara sangat menekankan pada
kalimat, "negara akan
bertindak, sesuai dengan hukum perang, jika diserang. Dan, mulai saat
itu, hubungan Utara-Selatan akan memasuki status perang."
Kesalahan penerjemahan ini akan mengantarkan kepada kesalah pahaman, atau
kesalahan dalam mempersepsikan intensi atau niatan suatu negara.
Dalam, War and Misperception (1988), Robert Jervis telah
memperingatkan bahwa peperangan kerap kali ditimbulkan oleh mispersepsi
terhadap niatan suatu negara. Jervis menyuguhkan pengalaman Perang Dunia
(PD) I dan II, sebagai penguat argumennya. Ekspektasi Jerman, pada PD I,
bahwa Inggris akan tetap netral serta keyakinan yang besar dalam menjaga
Perancis dan Rusia tetap berada di luar lingkaran peperangan, ternyata
salah. Kesalahan juga terjadi pada Inggris, pada PD II, yang terlalu
membesar-besarkan kerentanan perekonomian Jerman akibat Perang Dunia I.
Akibatnya, baik itu karena memandang rendah (underestimate) ataupun memandang terlalu tinggi (overestimate), peperangan tidak
terhindakan lagi.
Mispersepsi tersebut erat
hubungannya dengan kepercayaan (belief) suatu negara terhadap negara lain
yang didasarkan atas pengalaman-pengalaman masa lalu. Dalam konteks Korea
Utara, image sebagai negara yang agresif muncul karena selalu mengacu
pada peristiwa Perang Korea di tahun 1950. Serangan pihak Utara terhadap
Selatan, menjadi general belief bahwa Korea Utara adalah negara yang
agresif. Meskipun seringkali salah, alih-alih menggunakan rasionalitas,
kepercayaan umum tadi seringkali menjadi rujukan para pemimpin dunia
dalam mengambil keputusan.
Padahal, jika kita menilik
pernyataan resmi pihak Korea Utara (dikutip dari KCNA), berkaitan dengan
persiapan militer yang digelar akhir-akhir ini, semuanya dilakukan untuk
niatan mempertahankan diri dari agresi musuh. Lebih lanjut, tindakan
tersebut dilakukan bukan untuk mengancam negara lain, tetapi untuk
melindungi martabat dan kedaulatan bangsa dan negara.
Kesalahan dalam
mempersepsikan niatan Korea Utara tentu akan berdampak buruk bagi
keamanan kawasan maupun dunia secara global. Dalam kasus ini, terlihat
jelas bagaimana Amerika Serikat, Korea Selatan, maupun dunia secara umum,
telah salah dalam mempersepsikan pernyataan Korea Utara.
Indonesia sebagai negara
yang memiliki peran penting di kawasan harus bertindak pro-aktif dan
cepat untuk menangani isu "panas" ini. Indonesia harus tetap
memegang teguh prinsip dynamic equilibrium, dengan mencegah dominasi satu
negara atau lebih di kawasan. Kurang bijak jika Indonesia, sebagai negara
yang mempunyai hubungan diplomatik dengan Korea Utara, hanya mengecam
sikap keras Korut, tetapi lunak ketika berhadapan dengan AS. Jika berani
jujur, lebih banyak tindakan provokatif yang dilakukan oleh AS dan Korea
Selatan, sehingga memunculkan tindakan "provokatif" balasan
dari Korea Utara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar