Jumat, 19 April 2013

Salah Paham tentang Korea Utara


Salah Paham tentang Korea Utara
Dion Maulana Prasetya  ;  Staf Pengajar Ilmu Hubungan Internasional
Universitas Muhammadiyah Malang
SUARA KARYA, 18 April 2013


Semenjak pertama kali muncul berita bahwa Korea Utara menyatakan perang dengan Korea Selatan, tidak pernah ditemukan alasan yang rasional di balik keputusan tersebut. Hampir tidak ada, untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali, alasan yang masuk akal bagi Kim Jong Un untuk bertindak agresif dan melakukan tindakan sesuka hatinya, termasuk menyatakan status perang secara sepihak. 

Dalam hal kekuatan militer, meskipun kerap kali disebut memiliki senjata nuklir, kemampuan Korea Utara tentunya masih jauh di bawah kekuatan militer Amerika Serikat, aktor di balik Korea Selatan.
Jika selama ini Korea Utara selalu mendapatkan dukungan dari China maupun Rusia, tindakan sesuka hati Korea Utara tentunya akan membuat kedua negara besar itu pergi menjauh. Sehingga, segila apa pun pemimpin suatu negara tidak akan menjerumuskan rakyatnya dalam peperangan yang hampir bisa dipastikan bagaimana hasilnya. 

Kebijakan Hitler selama Perang Dunia II masih bisa dipandang rasional, meskipun dampak yang ditimbulkannya hampir tidak bisa dipercaya. Sang Fuhrer berani melakukan ekspansi besar-besaran, baik ke Timur maupun ke Barat, karena ia sadar akan kekuatan militernya. Berbeda halnya dengan kasus Korea Utara. Di era nuklir saat ini, sulit untuk menerapkan analisa militer klasik, karena daya penghancur senjata nuklir akan mematikan serangan balasan bagi negara yang diserang terlebih dahulu. Dengan kata lain, sekali suatu negara diserang menggunakan senjata nuklir, maka tidak ada kesempatan bagi negara tersebut untuk membalas, karena telah hancur. Hitung-hitungan inilah yang mendasari kenapa tidak ditemukan jawaban atau alasan Korea Utara menyatakan perang dengan Korea Selatan (dan juga secara otomatis dengan AS).

Salah satu kerugian Korea Utara sebagai negara yang menutup diri (inward looking) adalah menjadi bahan praduga dan kesalahpahaman. Minimnya sumber dan tidak adanya keterbukaan dalam hal informasi akan memunculkan interpretasi yang dangkal oleh media internasional, terutama media Barat.

Baru-baru ini terungkap bahwa terjadi kesalahan penerjemahan oleh beberapa media Barat, seperti AFP, Huffington Post, maupun Reuters. Media online Rusia, Ria Novosti (30/03) memberitakan bahwa telah terjadi kesalahan penerjemahan oleh beberapa media Barat terkait pernyataan perang Korea Utara.

Sebagian besar media, termasuk Suara Karya (31/03, mengutip AFP), mengutip satu kalimat pernyataan perang dari kantor berita Korea Utara, KCNA, sebagai berikut: "Mulai saat ini, hubungan Utara-Selatan akan memasuki keadaan perang. Semua isu dan urusan antara kedua Korea akan ditangani secara patut sesuai protokol perang."

Meskipun tidak berubah banyak, tetapi kesalahan menerjemahkan satu kata saja bisa berakibat fatal. Pernyataan sebenarnya dari Korea Utara sangat menekankan pada kalimat, "negara akan bertindak, sesuai dengan hukum perang, jika diserang. Dan, mulai saat itu, hubungan Utara-Selatan akan memasuki status perang." Kesalahan penerjemahan ini akan mengantarkan kepada kesalah pahaman, atau kesalahan dalam mempersepsikan intensi atau niatan suatu negara.

Dalam, War and Misperception (1988), Robert Jervis telah memperingatkan bahwa peperangan kerap kali ditimbulkan oleh mispersepsi terhadap niatan suatu negara. Jervis menyuguhkan pengalaman Perang Dunia (PD) I dan II, sebagai penguat argumennya. Ekspektasi Jerman, pada PD I, bahwa Inggris akan tetap netral serta keyakinan yang besar dalam menjaga Perancis dan Rusia tetap berada di luar lingkaran peperangan, ternyata salah. Kesalahan juga terjadi pada Inggris, pada PD II, yang terlalu membesar-besarkan kerentanan perekonomian Jerman akibat Perang Dunia I. Akibatnya, baik itu karena memandang rendah (underestimate) ataupun memandang terlalu tinggi (overestimate), peperangan tidak terhindakan lagi.

Mispersepsi tersebut erat hubungannya dengan kepercayaan (belief) suatu negara terhadap negara lain yang didasarkan atas pengalaman-pengalaman masa lalu. Dalam konteks Korea Utara, image sebagai negara yang agresif muncul karena selalu mengacu pada peristiwa Perang Korea di tahun 1950. Serangan pihak Utara terhadap Selatan, menjadi general belief bahwa Korea Utara adalah negara yang agresif. Meskipun seringkali salah, alih-alih menggunakan rasionalitas, kepercayaan umum tadi seringkali menjadi rujukan para pemimpin dunia dalam mengambil keputusan.

Padahal, jika kita menilik pernyataan resmi pihak Korea Utara (dikutip dari KCNA), berkaitan dengan persiapan militer yang digelar akhir-akhir ini, semuanya dilakukan untuk niatan mempertahankan diri dari agresi musuh. Lebih lanjut, tindakan tersebut dilakukan bukan untuk mengancam negara lain, tetapi untuk melindungi martabat dan kedaulatan bangsa dan negara.

Kesalahan dalam mempersepsikan niatan Korea Utara tentu akan berdampak buruk bagi keamanan kawasan maupun dunia secara global. Dalam kasus ini, terlihat jelas bagaimana Amerika Serikat, Korea Selatan, maupun dunia secara umum, telah salah dalam mempersepsikan pernyataan Korea Utara.

Indonesia sebagai negara yang memiliki peran penting di kawasan harus bertindak pro-aktif dan cepat untuk menangani isu "panas" ini. Indonesia harus tetap memegang teguh prinsip dynamic equilibrium, dengan mencegah dominasi satu negara atau lebih di kawasan. Kurang bijak jika Indonesia, sebagai negara yang mempunyai hubungan diplomatik dengan Korea Utara, hanya mengecam sikap keras Korut, tetapi lunak ketika berhadapan dengan AS. Jika berani jujur, lebih banyak tindakan provokatif yang dilakukan oleh AS dan Korea Selatan, sehingga memunculkan tindakan "provokatif" balasan dari Korea Utara. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar