Jika tidak ada hambatan, dua
tahun lagi Indonesia beserta negara-negara ASEAN lainnya akan membentuk
suatu komunitas yang diharapkan dapat membuat suatu perubahan yang
progresif seperti pencapaian Uni Eropa. Dengan sisa waktu tersebut,
bagaimana kesiapan Indonesia menuju Komunitas ASEAN 2015?
Sebagaimana diketahui, ASEAN
sendiri telah sepakat mengembangkan suatu kawasan yang terintegrasi
dengan membentuk suatu komunitas negara-negara Asia Tenggara yang
terbuka, damai, stabil dan sejahtera, saling peduli, diikat bersama dalam
kemitraan yang dinamis tahun 2020. Realisasi harapan tersebut telah
dituangkan dalam Visi ASEAN 2020 di Kuala Lumpur tahun 1997 dan diperkuat
dengan pengesahan Bali Concord II
pada KTT Ke-9 ASEAN di Bali tahun 2003 yang menyetujui pembentukan
Komunitas ASEAN (ASEAN Community).
Komunitas ASEAN terdiri-dari
tiga pilar utama, yaitu Komunitas Keamanan ASEAN, Komunitas Ekonomi
ASEAN, dan Komunitas Sosial Budaya ASEAN. Pencapaian Komunitas ASEAN dari
tahun 2020 maju menjadi tahun 2015 terjadi atas persetujuan pemimpin ASEAN
pada KTT Ke-12 ASEAN di Cebu, Filipina, 13 Januari 2007.
Pertama, Komunitas Keamanan
ASEAN diharapkan dapat mewujudkan perdamaian kawasan.
Kedua, Komunitas Ekonomi
ASEAN diharapkan dapat mentransformasikan ASEAN menjadi suatu pasar
tunggal dan basis produksi, kawasan yang kompetitif dan terintegrasi
dengan ekonomi global. Serta menjadikan ASEAN menjadi kawasan yang
berdaya saing tinggi dengan tingkat pembangunan ekonomi yang merata serta
kemiskinan dan kesenjangan sosial-ekonomi yang makin berkurang.
Ketiga, Komunitas Sosial
Budaya ASEAN diharapkan dapat memperkokoh rasa ke-kita-an (sense of we-ness atau we feeling) dan solidaritas sesama
warga ASEAN.
Blue print yang
telah dirancang tersebut seolah-olah menjadi ekspektasi bagi bangsa kita
menuju suatu kawasan yang kondusif dan progresif. Pertanyaan
fundamentalnya, apa yang dirasakan masyarakat Asia Tenggara dengan
terbentuknya ASEAN sebelum menuju Komunitas ASEAN 2015? Apakah publik
mengetahui keberadaan ASEAN? Pertanyaan tersebut memang terdengar agak menggelitik
tapi pernahkah kita menyadari bahkan menanyakan hal tersebut kepada
publik?
Ironis memang! Di tengah
keinginan menggapai komunitas ASEAN, namun hal-hal yang mendasar ternyata
masih belum dilaksanakan secara maksimal. Misalnya, dalam upaya memperkokoh
rasa ke-kita-an dan solidaritas warga ASEAN sesuai target komunitas
sosial budaya ASEAN, faktanya masih banyak kalangan belum memahami
komunitas ASEAN 2015. Selain itu kondisi dalam dan luar negeri terkait
konflik intra dan inter negara di kawasan yang belum mampu dituntasi
dengan tegas oleh masing-masing pemerintah.
Kasus terbaru adalah konflik
bersenjata antara Pemerintah Malaysia dan Kesultanan Sulu atas klaim
Sabah hingga menewaskan puluhan nyawa dari masing-masing pihak. Begitu
juga dengan konflik di Myanmar antara kelompok mayoritas Budha dan
minoritas Muslim. Dalam menyikapi kedua konflik tersebut, tidak terlihat
adanya solidaritas di antara negara-negara tetangga untuk membantu
menyelesaikan konflik tersebut. Negara-negara tetangga terhalang prinsip
non-intervensi dan hanya bisa turut perihatin atas kejadian tersebut.
Kemudian, kasus kekerasan
dalam negeri pun kian marak. Seperti dalam kasus pembunuhan terhadap 4
tahanan oleh 'orang-orang terlatih' di Lapas Sleman, DIY, belum lama ini.
Kerusuhan etnis yang masih sering bergejolak di daerah-daerah di
Indonesia seperti di Sumbawa, Papua, Poso, Maluku dan lain-lain pun
semakin menegaskan apakah mungkin solidaritas sesama warga ASEAN dapat
terbentuk.
Sementara solidaritas dalam
negeri dan dalam kawasan sendiri masih jauh dari harapan dengan masih
berlangsungnya konflik di dalam negeri dan kawasan. Ingin menciptakan
perdamaian kawasan seperti yang diharapkan dalam komunitas keamanan
ASEAN, namun pemerintah sendiri masih sulit menciptakan rasa aman bagi warganya.
Hal tersebut menjadikan implementasi Komunitas ASEAN 2015 sebagai
khayalan belaka (utopia) dan menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah
untuk meyakinkan warga negaranya. Inilah yang membedakan terbentuknya
suatu organisasi yang berawal dari harapan, kerja sama nonpolitis menuju
ke integrasi atau lebih dikenal dengan fungsionalisme (David Mitrany;
1948) keberhasilan kerja sama di suatu bidang teknik tertentu, akan
mengantarkan pada kerja sama lanjutan di bidang-bidang lain. Integrasi
fungsional ini dapat dilihat seperti proses pembentukan Uni Eropa yang
panjang.
Sedangkan ASEAN jika dilihat
pembentukannya sebagai respon atas kasus 'perang dingin' untuk tidak
memihak di antara dua blok pada waktu itu, yaitu komunis (Uni Soviet) dan
liberal (AS). Jadi, keberadaan ASEAN bukan dibentuk berdasarkan kebutuhan
bagi masyarakat di masing-masing negara tapi cuma pada tataran elite
saja. Tidak heran, jika masyarakat belum mengetahui ASEAN dan belum
merasakan hasil pembentukan ASEAN yang berimplikasi pada identitas
sebagai warga ASEAN. Dibandingkan dengan masyarakat Uni Eropa yang bangga
dengan identitas mereka karena dampak yang mereka rasakan langsung dari
awal proses pembentukannya.
Hal paling penting agar
masyarakat tidak apatis dengan Komunitas ASEAN, pemerintah harus
memperkuat fungsi dan perannya di segala sektor, baik ekonomi, politik
maupun keamanan. Untuk menyelesaikan berbagai masalah yang belum
tertuntaskan, hindarkan sikap sengaja membiarkan masalah akibat tak
berdaya untuk menyelesaikannya. Justru bagaimana mendapatkan kembali
kepercayaan dan hilangnya stigma negatif dari publik perlu terus
diupayakan agar Komunitas ASEAN 2015 benar-benar dapat diwujudkan.
Karena, dalam komunitas tersebut bukan saja pemerintah yang ikut terlibat
dan berperan aktif tapi juga masyarakat dari berbagai elemen. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar