Jumat, 19 April 2013

Menuju Komunitas ASEAN 2015


Menuju Komunitas ASEAN 2015
Faturachman Alputra Sudirman  ;  Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu
Hubungan Internasional, UGM Yogyakarta
SUARA KARYA, 18 April 2013


Jika tidak ada hambatan, dua tahun lagi Indonesia beserta negara-negara ASEAN lainnya akan membentuk suatu komunitas yang diharapkan dapat membuat suatu perubahan yang progresif seperti pencapaian Uni Eropa. Dengan sisa waktu tersebut, bagaimana kesiapan Indonesia menuju Komunitas ASEAN 2015?

Sebagaimana diketahui, ASEAN sendiri telah sepakat mengembangkan suatu kawasan yang terintegrasi dengan membentuk suatu komunitas negara-negara Asia Tenggara yang terbuka, damai, stabil dan sejahtera, saling peduli, diikat bersama dalam kemitraan yang dinamis tahun 2020. Realisasi harapan tersebut telah dituangkan dalam Visi ASEAN 2020 di Kuala Lumpur tahun 1997 dan diperkuat dengan pengesahan Bali Concord II pada KTT Ke-9 ASEAN di Bali tahun 2003 yang menyetujui pembentukan Komunitas ASEAN (ASEAN Community).

Komunitas ASEAN terdiri-dari tiga pilar utama, yaitu Komunitas Keamanan ASEAN, Komunitas Ekonomi ASEAN, dan Komunitas Sosial Budaya ASEAN. Pencapaian Komunitas ASEAN dari tahun 2020 maju menjadi tahun 2015 terjadi atas persetujuan pemimpin ASEAN pada KTT Ke-12 ASEAN di Cebu, Filipina, 13 Januari 2007.

Pertama, Komunitas Keamanan ASEAN diharapkan dapat mewujudkan perdamaian kawasan.
Kedua, Komunitas Ekonomi ASEAN diharapkan dapat mentransformasikan ASEAN menjadi suatu pasar tunggal dan basis produksi, kawasan yang kompetitif dan terintegrasi dengan ekonomi global. Serta menjadikan ASEAN menjadi kawasan yang berdaya saing tinggi dengan tingkat pembangunan ekonomi yang merata serta kemiskinan dan kesenjangan sosial-ekonomi yang makin berkurang.
Ketiga, Komunitas Sosial Budaya ASEAN diharapkan dapat memperkokoh rasa ke-kita-an (sense of we-ness atau we feeling) dan solidaritas sesama warga ASEAN.

Blue print yang telah dirancang tersebut seolah-olah menjadi ekspektasi bagi bangsa kita menuju suatu kawasan yang kondusif dan progresif. Pertanyaan fundamentalnya, apa yang dirasakan masyarakat Asia Tenggara dengan terbentuknya ASEAN sebelum menuju Komunitas ASEAN 2015? Apakah publik mengetahui keberadaan ASEAN? Pertanyaan tersebut memang terdengar agak menggelitik tapi pernahkah kita menyadari bahkan menanyakan hal tersebut kepada publik?

Ironis memang! Di tengah keinginan menggapai komunitas ASEAN, namun hal-hal yang mendasar ternyata masih belum dilaksanakan secara maksimal. Misalnya, dalam upaya memperkokoh rasa ke-kita-an dan solidaritas warga ASEAN sesuai target komunitas sosial budaya ASEAN, faktanya masih banyak kalangan belum memahami komunitas ASEAN 2015. Selain itu kondisi dalam dan luar negeri terkait konflik intra dan inter negara di kawasan yang belum mampu dituntasi dengan tegas oleh masing-masing pemerintah.

Kasus terbaru adalah konflik bersenjata antara Pemerintah Malaysia dan Kesultanan Sulu atas klaim Sabah hingga menewaskan puluhan nyawa dari masing-masing pihak. Begitu juga dengan konflik di Myanmar antara kelompok mayoritas Budha dan minoritas Muslim. Dalam menyikapi kedua konflik tersebut, tidak terlihat adanya solidaritas di antara negara-negara tetangga untuk membantu menyelesaikan konflik tersebut. Negara-negara tetangga terhalang prinsip non-intervensi dan hanya bisa turut perihatin atas kejadian tersebut.

Kemudian, kasus kekerasan dalam negeri pun kian marak. Seperti dalam kasus pembunuhan terhadap 4 tahanan oleh 'orang-orang terlatih' di Lapas Sleman, DIY, belum lama ini. Kerusuhan etnis yang masih sering bergejolak di daerah-daerah di Indonesia seperti di Sumbawa, Papua, Poso, Maluku dan lain-lain pun semakin menegaskan apakah mungkin solidaritas sesama warga ASEAN dapat terbentuk.

Sementara solidaritas dalam negeri dan dalam kawasan sendiri masih jauh dari harapan dengan masih berlangsungnya konflik di dalam negeri dan kawasan. Ingin menciptakan perdamaian kawasan seperti yang diharapkan dalam komunitas keamanan ASEAN, namun pemerintah sendiri masih sulit menciptakan rasa aman bagi warganya. Hal tersebut menjadikan implementasi Komunitas ASEAN 2015 sebagai khayalan belaka (utopia) dan menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah untuk meyakinkan warga negaranya. Inilah yang membedakan terbentuknya suatu organisasi yang berawal dari harapan, kerja sama nonpolitis menuju ke integrasi atau lebih dikenal dengan fungsionalisme (David Mitrany; 1948) keberhasilan kerja sama di suatu bidang teknik tertentu, akan mengantarkan pada kerja sama lanjutan di bidang-bidang lain. Integrasi fungsional ini dapat dilihat seperti proses pembentukan Uni Eropa yang panjang.

Sedangkan ASEAN jika dilihat pembentukannya sebagai respon atas kasus 'perang dingin' untuk tidak memihak di antara dua blok pada waktu itu, yaitu komunis (Uni Soviet) dan liberal (AS). Jadi, keberadaan ASEAN bukan dibentuk berdasarkan kebutuhan bagi masyarakat di masing-masing negara tapi cuma pada tataran elite saja. Tidak heran, jika masyarakat belum mengetahui ASEAN dan belum merasakan hasil pembentukan ASEAN yang berimplikasi pada identitas sebagai warga ASEAN. Dibandingkan dengan masyarakat Uni Eropa yang bangga dengan identitas mereka karena dampak yang mereka rasakan langsung dari awal proses pembentukannya.

Hal paling penting agar masyarakat tidak apatis dengan Komunitas ASEAN, pemerintah harus memperkuat fungsi dan perannya di segala sektor, baik ekonomi, politik maupun keamanan. Untuk menyelesaikan berbagai masalah yang belum tertuntaskan, hindarkan sikap sengaja membiarkan masalah akibat tak berdaya untuk menyelesaikannya. Justru bagaimana mendapatkan kembali kepercayaan dan hilangnya stigma negatif dari publik perlu terus diupayakan agar Komunitas ASEAN 2015 benar-benar dapat diwujudkan. Karena, dalam komunitas tersebut bukan saja pemerintah yang ikut terlibat dan berperan aktif tapi juga masyarakat dari berbagai elemen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar