Ekonomi Indonesia makin
pelit dalam menciptakan lapangan kerja. Pertama, dalam pemerintahan Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) kurun waktu 2004-2012, walaupun ekonomi secara
rata-rata mengalami pertumbuhan 5,9 persen setiap tahun, lapangan kerja
yang tercipta adalah untuk sekitar 17.086.098 orang.
Kedua, pergeseran pekerja
dari pertanian ke sektor lainnya tidak berjalan sesuai tuntutan yang ada.
Jumlah penduduk yang menggeluti sektor pertanian berkurang sekitar 1,7
juta, yaitu dari 40,6 juta tahun 2004 menjadi 38.9 pada Agustus 2012.
Ketidakmampuan pemerintah
menciptakan kegiatan ekonomi yang padat tenaga kerja selama beberapa
tahun belakangan ini akan menjadi masalah yang sangat serius dalam
beberapa tahun ke depan.
Di samping kegiatan ekonomi
yang tidak memihak golongan miskin dan para penganggur, masalah ekonomi
yang sangat menonjol dewasa ini adalah masalah daya saing Indonesia.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam dua tahun terakhir ini, daya
saing produk Indonesia terus mengalami penurunan. Di tengah terjadinya
penurunan daya saing, pemerintah (daerah) tanpa berkonsultasi secara
memadai dengan para pengusaha (khususnya yang tergolong pengusaha padat
karya) menyetujui kenaikan upah buruh yang terlalu besar.
Dengan kenaikan upah buruh
tersebut, diperkirakan akan berdampak serius, antara lain terjadi
berbagai hal. Pertama, pengusaha padat karya akan melakukan relokasi
pabriknya untuk menekan upah buruh. Misalnya, perpintahan dari Jakarta
atau Jawa Barat ke Jawa Tengah.
Kedua, pengusaha padat karya
akan menghentikan kegiatan produksinya dan selanjutnya menggeluti
perdagangan komoditas yang sama. Kecenderungan seperti ini relatif kuat
terutama karena komoditas buatan luar negeri sudah lebih murah. Ketiga,
pengusaha akan memindahkan pabriknya ke luar negeri.
Akibat yang muncul dari
kenaikan upah buruh yang jauh lebih tinggi dari kenaikan produktivitas
buruh itu akan menjadi masalah yang sulit diatasi pada tahun politik
dewasa ini. Naluri egalitarian diperkirakan mengalahkan pemikiran
rasional. Permasalahan yang ada cenderung akan dipolitisasikan sehingga
dapat memberikan kepuasan yang bersifat semu.
Selain permasalahan yang
berkaitan dengan konsistensi dalam pembangunan, perkembangan harga
seperti perubahan harga daging sapi belakangan ini sangat menyesakkan.
Dari kasus tersebut terlihat dengan jelas bahwa perencanaan amburadul.
Penanggung jawab utama, yaitu Menteri Pertanian, tidak memahami
permasalahan yang dihadapinya. Dengan ketidaktahuannya atas permasalahan
yang dihadapinya itu, menteri yang bersangkutan sudah seyogianya
mengambil tanggung jawab dengan mengundurkan diri. Tetapi, yang kita saksikan
adalah seolah-olah tidak terjadi sesuatu, termasuk masalah etika bagi
para pemegang jabatan.
Menyimak perkembangan yang
terjadi dalam beberapa tahun belakangan ini, terkesan seolah-olah masalah
yang dihadapi oleh (ekonomi) Indonesia tidak ada ataupun ringan saja dan
raihan yang dapat dicapai sangat indah dan sangat memuaskan. Para pembuat
kebijakan tampak seakan-akan terkesima dan terbelenggu oleh fatamorgana. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar