Minggu, 21 April 2013

Reformasi Perempuan


Reformasi Perempuan
Rita Gani  Dosen Ilmu Jurnalistik Fikom Unisba,
Kandidat Doktor Ilmu Komunikasi Unpad 
KORAN SINDO, 20 April 2013

  
Bulan April adalah bulannya perempuan juga dimaknai sebagai bulan emansipasi, karena pada bulan inilah lebih seabad silam, gagasan emansipasi tersebut dimunculkan oleh seorang perempuan bernama RA Kartini, yang lahir di Kota Jepara, Jawa Tengah, pada 21 April 1879. 

Di eranya saat itu, kondisi para perempuan di negeri ini masih“terkekang”dan belum memperoleh kebebasan dalam berbagai hal. Jangankan untuk memperoleh jabatan seperti saat ini, untuk mendapatkan pendidikan yang baik saja tidak diizinkan, termasuk juga untuk menentukan jodoh (suami sendiri) dan lain sebagainya. 

Kartini, dengan caranya “mendobrak” kekangan yang ada, melakukan berbagai cara untuk mengangkat derajat kaum perempuan. Berkat perjuangannya, Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden RI No 108 Tahun 1964 tanggal 2 Mei 1964 yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini pada 21 April sebagai hari besar nasional yang dikenal dengan Hari Kartini. 

Sekian lama berlalu, apa yang diperjuangkan seorang Kartini menampakkan hasil yang bisa membuatnya tersenyum. Kini, perempuan Indonesia tak lagi berada dalam keterbatasan, mereka memenuhi ruang publik, berbagai posisi jabatan dan pekerjaan, bahkan menggantikan kekuasaan lelaki dalam beberapa kasus. 

Meskipun di beberapa hal, gerakan emansipasi ini masih belum bagus, kebablasan, dan bahkan berlebihan. Inilah yang menurut Kuper & Kuper (2000:350) sebagai sebuah kesenjangan yang cukup tajam antara teori dan praktik, meskipun di antara keduanya ada hubungan simbiotik. Hubungan itu agaknya paling tepat jika dilihat sebagai suatu praksis; kesatuan teori dan praktik merupakan tujuan jangka panjang yang terus dikejar guna memunculkan serangkaian revolusi kecil demi mencapai tujuan akhir yang hendak dituju, yakni status dan hak-hak yang lebih baik bagi kaum perempuan. 

Inilah kiranya hakekat dasar dari konsep emansipasi yang digagas Kartini dulu, perempuan Indonesia berhak mendapatkan status dan hak-hak yang lebih baik. Mengacu apa yang dikatakan Kuper & Kuper ini, maka makna emansipasi sejatinya bukanlah sebuah persamaan, karena makna lebih baik tersebut sudah mendeskripsikan sebuah persamaan yang layak bagi perempuan. 

Emansipasi tentunya bukanlah sebuah kata yang dimaknai menentang kodrat karena, manusia dengan jenis kelaminnya memiliki kodrat masing-masing sesuai Sunatullah dan tak bisa diubah. Kodrat ini menyebabkan perempuan tak bisa menghindari perannya sebagai seorang istri, ibu dan pekerjaan rumah tangga. 

Outhwaite (2008:338) menjelaskan, hal ini dengan pernyataan bahwa perempuan lebih sering mengerjakan pekerjaan rumah dan pengasuhan anak ketimbang lelaki terlepas dari apakah perempuan itu bekerja di luar rumah atau tidak. Maka sejatinya, sesukses apapun seorang perempuan di luar wilayah domestiknya (rumah tangga), dia tak bisa menghindari diri dari perannya sebagai seorang ibu rumah tangga. 

Perempuan dalam Relasi Emansipasi 

Dalam konteks emansipasi, penulis merasa relasi yang dibentuk oleh para perempuan Indonesia saat ini sangatlah terbuka. Perjuangan kaum perempuan untuk menaikkan derajatnya sebagaimana yang diinginkan Kartini dan mendapatkan simpati kaum lelaki yang luar biasa untuk memandang perempuan sebagai equal contender kian mengemuka. 

Perempuan bisa menjalin relasi dengan baik dalam berbagai hal, pekerjaan, rumah tangga, ekonomi, politik, dan negara bahkan dalam seksualitas. Kita bisa menemui para perempuan memegang peranan dan pengambil keputusan di berbagai bidang dan tetap menjalankan perannya sebagai manajer terbaik di rumah tangga. 

Marwah Daud Ibrahim dalam sebuah tulisannya (Ibrahim, 1997:111) menyimpulkan bahwa perempuan di masa depan tampaknya ada harapan untuk tidak melulu dilihat dan melihat dirinya sebagai expositionist; yang memperagakan lenggok tubuh dan senyum simpulnya saja dalam pergaulan masyarakat dunia. Sementara media massa pun tidak akan selamanya berisi laporan yang mendiskreditkan perempuan. 

Sebagai sebuah relasi emansipasi yang jauh lebih terbuka, reformasi terhadap kondisi perempuan di Indonesia, lebih jauh tersimpul dalam beberapa harapan sebagai berikut: Pertama, jumlah perempuan yang bergelut dalam media massa akan semakin meningkat. Ini lambat laun akan cepat mengubah cara pandang media terhadap perempuan. 

Bila selama ini chain activities di media massa banyak dipegang oleh kaum lelaki, maka seiring dengan era reformasi, perempuan pun mendapatkan tempat dalam pekerjaan media massa. Kita melihat para perempuan hebat yang tak hanya bertugas di depan layar sebagai host, presenter, reporter, dan sejenisnya, tetapi beberapa di antaranya juga menduduki posisi terbaik di belakang layar sebagai jurnalis, sutradara, dan produser. 

Kita mengenal sosok Rohana Kudus, seorang jurnalis dan juga pendiri surat kabar perempuan pertama di Indonesia. Lalu juga ada Sofia WD sebagai sutradara perempuan pertama di Indonesia pada era tahun 1960. Kiprahnya tak terhenti sampai pada masa itu, karena saat ini banyak sekali sutradara perempuan yang sukses di bidang perfilman. Ada sosok Mira Lesmana (juga sukses sebagai produser film) dan Nia Dinata yang karyanya sudah tak diragukan lagi. 

Dan yang terbaru, kiprah perempuan Indonesia di media massa kita temui dalam film Rectoverso. Film ini disutradarai oleh lima artis perempuan Indonesia yang notabene belum pernah sama sekali menjadi sutradara film layar lebar. Mereka adalah Marcella Zalianty, Cathy Sharon, Olga Lydia, Happy Salma, dan Rachel Maryam. Kedua, jumlah perempuan yang mempunyai karya dan berprestasi kian banyak. 

Sehingga diharapkan perempuan akan muncul dengan karya tulis, lukis, teknologi, ekonomi, kegiatan lingkungan, dan sebagainya. Simpulan Marwah Daud ini, rasanya kian nyata, ketika beberapa tahun terakhir banyak perempuan Indonesia yang berprestasi di bidangnya. Nama-nama seperti Sri Mulyani Indrawati, yang sejak 1 Juni 2010 menjadi orang Indonesia pertama yang menjabat Direktur Pelaksana Bank Dunia. 

Juga ada Jeanne Mandagi, perwira tinggi polisi perempuan Indonesia pertama, Betti Alisjahbana, seorang profesional yang juga menjabat Presiden Direktur IBM Indonesia. Ketiga, ada kecenderungan kerja sama kaum perempuan dan lelaki tidak melulu dalam bentuk persentuhan seksual, tapi melangkah lebih maju dalam bentuk karya-karya bermutu. Kerja sama tersebut juga bisa kita temui dalam berbagai posisi dan jabatan di ruang publik yang secara keseluruhan ditujukan untuk mengangkat harkat perempuan. 

Secara sederhana poin ini lebih dikenal dengan kesetaraan gender merupakan sebuah bentuk kerja sama antara lakilaki dan perempuan. Perjuangan Kartini meski sudah menampakkan hasilnya tetapi tentu saja belum berakhir. Karena persoalan perempuan di negeri ini selalu ada dalam bentuk yang beragam dan tetap harus menjadi perhatian bersama. Emansipasi seharusnya menjadi cikal bagi kehidupan perempuan ke arah lebih baik. 

Perempuan seyogianya bukan hanya sekadar menjadi penjaga dapur dan membesarkan anak-anak belaka. Tetapi juga harus menguasai teknologi dan menciptakan seni inovatif. Bahkan, perempuan maju untuk memimpin angkatan perang menjadi pemimpin negara yang berpengaruh, mengubah struktur sosial yang ada untuk memperbaiki kualitas kehidupan bagi semua umat manusia. 

Dan untuk mencapai semua itu, perempuan harus lebih dulu berjuang dan berupaya tanpa melupakan kodratnya sebagai seorang perempuan. Yang sehebat apapun dirinya tetap membutuhkan dukungan dari semua pihak, dari diri sendiri, keluarga, dan lingkungan, termasuk dukungan kaum laki-laki. Selamat Hari Perempuan, selamat Kartini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar