HALUAN politik subsidi BBM akan memasuki fase baru dengan dua
harga eceran (dual price) mulai Mei
mendatang. Yakni, tetap Rp 4.500 per liter untuk sepeda motor dan
angkutan umum serta Rp 6.500-Rp 7.000 per liter untuk kendaraan pribadi.
Targetnya, hemat anggaran Rp 30 triliun sampai akhir tahun. Asumsi
penghematan itu, 46 persen pengguna BBM adalah kendaraan pribadi dan 64
persen lainnya sepeda motor serta angkutan umum.
Ini unik. Sebab, satu barang berkualifikasi teknis sama
namun dijual dengan harga berbeda dengan disparitas yang cukup tinggi,
yakni sampai Rp 2.000 (44,44 persen) atau Rp 2.500 (55,56 persen)
terhadap harga BBM semula Rp 4.500 per liter. Gap itu
bisa menjadi godaan bagi operator SPBU untuk nakal demi keuntungan
sendiri.
Modusnya, tangki BBM dengan harga subsidi dikatakan
habis agar BBM dengan harga lebih mahal laku. Bahkan, bisa saja volume
jatah BBM untuk harga subsidi dimasukkan pula dalam tangki timbun SPBU
agar terjual lebih mahal. Ada dua keuntungan tambahan bagi SPBU. Pertama,
mendapat keuntungan dari menjual BBM bersubsidi namun dijual mahal.
Kedua, dari pemerintah, operator SPBU tersebut juga mendapat keuntungan
subsidi BBM menurut kuota volume jatahnya.
Siapa korbannya? Tentu pengguna sepeda motor dan
angkutan umum karena kini SPBU langganan mereka lebih sering pasang papan
''Habis''. Mau tak mau, mereka beralih membeli BBM yang Rp 7.000 per
liter. Itu bisa tak terhindarkan kalau tangki di kendaraan mereka nyaris
habis.
Opsi dual price dari rakor pengendalian BBM di kantor
Kemendagri (16/4/2013) itu tampak baik, sepintas, namun menyimpan potensi
konflik horizontal luar biasa di masyarakat. Trial and error sangatlah
berbahaya.
Masalah teknis tersebut, dari jumlah kuota BBM yang
diterima masing-masing operator SPBU, hanya pihak operator SPBU sendiri
yang mengetahui jenis tangki mana yang subsidi dan mana yang harga baru,
mana tangki timbun SPBU yang subsidi dan mana jenis satunya sampai
dispenser subsidi dan dispenser harga baru. Karena itu, SPBU memiliki
kesempatan lebih besar melakukan penyelewengan dalam melayani masyarakat.
Tidak menutup kemungkinan SPBU atau operator bekerja
sama untuk cepat-cepat menghabiskan volume kuota BBM jenis subsidi dengan
pihak lain untuk dijual di luar SPBU. Beda harga yang cukup tinggi tentu
menyuburkan pasar gelap BBM.
Akhirnya, pola dual price BBM Mei mendatang menjadi taktik menaikkan
harga BBM secara terselubung ke arah Rp 6.500-Rp 7.000 per liter. Kondisi
seperti itu malah semakin besar dipermainkan SPBU karena mendapat delivery order (DO)
dari Pertamina dengan term subsidi, namun dijual dengan harga 44,44
persen atau 55,56 persen lebih tinggi.
Bisnis yang mampu meraup keuntungan 44,44 persen atau
55,56 persen dalam jangka pendek dan likuid seperti halnya bisnis BBM ini
sangat langka. Yang lebih membahayakan, terjadi kekacauan di tingkat
penyaluran BBM bila kuota bisa dibeli dari jalan belakang.
Cara Jitu PLN
Yang pasti, politik subsidi BBM memang harus segera
diakhiri. Ingat, hampir 50 persen BBM kita kini tidak dihasilkan lagi
dari sumur-sumur minyak dalam negeri. Impor, baik berupa BBM yang sudah
jadi maupun minyak mentah, semakin meningkat geometrikal tiap tahun dan
otomatis menggunakan standar harga pasar internasional.
Subsidi dalam APBN tahun ini diperkirakan Rp 274,7
triliun dengan volume 46 juta kiloliter. Padahal, dengan pertumbuhan
kendaraan dan rusaknya infrastruktur sehingga membuat pembakaran mesin
tidak efisien yang mengakibatkan lebih banyak BBM yang terbakar,
diperkirakan subsidi BBM akan ''optimistis'' menembus angka Rp 300
triliun.
Ini sudah tidak fair. Sebab, proses kepemilikan yang mudah mendorong
jumlah kendaraan bermotor berlipat di luar batas kemampuan infrastruktur
jalan. Siapa yang paling mereguk keuntungan dari boomingkendaraan bermotor Indonesia? Tentu pabrikan Jepang.
Sementara itu, APBN RI justru terseok karena harus menyediakan anggaran
18,10 persen untuk membayar BBM pemilik motor dan mobil.
Ketimpangan perdagangan Indonesia-Jepang itu tidak
perlu diikuti kekonyolan lain yang kian merugikan. Kebijakan dua harga
ini nyata-nyata merupakan kebijakan parsial yang sangat tergesa-gesa,
meski dianggap terbaik di antara seluruh opsi yang pernah ada. Semula,
pemerintah meluncurkan rencana pembatasan BBM bersubsidi, rencana kartu
elektronik, kartu RFID yang ber-barcode, lima jurus hemat BBM, dan kini malah dual-price untuk
satu jenis produk.
Yang paling masuk akal seharusnya mudah. Buatlah
kenaikan berkala BBM seperti yang kini dilakukan PLN, yakni 4,3 persen
setiap triwulan. Penimbunan tetap bakal ada. Namun, paling banter tangki
yang mampu dibangun perseorangan berkisar satu mobil tangki, yakni
sekitar 18 ribu liter atau keuntungan Rp 9 juta per triwulan, jika
kenaikan berkala Rp 500 per liter.
Jika total harga baru yang diharapkan adalah Rp 7.000,
pada triwulan kelima, selesai sudah kenaikan berkala itu dan rakyat sudah
terbiasa dengan harga baru tersebut. Keuntungan broker tersebut mungkin
Rp 45 juta pada tahun depan. Namun, dalam jangka itu, mungkin polisi
mampu mengendusnya untuk dipenjarakan.
Cara yang paling masuk akal adalah tetap satu harga
namun dengan kenaikan berkala seperti yang kini dilakukan PLN. Pemerintah
seharusnya belajar dari PLN. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar