Sabtu, 20 April 2013

Bahaya BBM Dua Harga


Bahaya BBM Dua Harga
Effnu Subiyanto  Pendiri Forkep (Forum Pengamat Kebijakan Publik),
Mahasiswa Doktor Ilmu Ekonomi FEB Unair
JAWA POS, 20 April 2013
  

HALUAN politik subsidi BBM akan memasuki fase baru dengan dua harga eceran (dual price) mulai Mei mendatang. Yakni, tetap Rp 4.500 per liter untuk sepeda motor dan angkutan umum serta Rp 6.500-Rp 7.000 per liter untuk kendaraan pribadi. Targetnya, hemat anggaran Rp 30 triliun sampai akhir tahun. Asumsi penghematan itu, 46 persen pengguna BBM adalah kendaraan pribadi dan 64 persen lainnya sepeda motor serta angkutan umum.

Ini unik. Sebab, satu barang berkualifikasi teknis sama namun dijual dengan harga berbeda dengan disparitas yang cukup tinggi, yakni sampai Rp 2.000 (44,44 persen) atau Rp 2.500 (55,56 persen) terhadap harga BBM semula Rp 4.500 per liter. Gap itu bisa menjadi godaan bagi operator SPBU untuk nakal demi keuntungan sendiri.

Modusnya, tangki BBM dengan harga subsidi dikatakan habis agar BBM dengan harga lebih mahal laku. Bahkan, bisa saja volume jatah BBM untuk harga subsidi dimasukkan pula dalam tangki timbun SPBU agar terjual lebih mahal. Ada dua keuntungan tambahan bagi SPBU. Pertama, mendapat keuntungan dari menjual BBM bersubsidi namun dijual mahal. Kedua, dari pemerintah, operator SPBU tersebut juga mendapat keuntungan subsidi BBM menurut kuota volume jatahnya.

Siapa korbannya? Tentu pengguna sepeda motor dan angkutan umum karena kini SPBU langganan mereka lebih sering pasang papan ''Habis''. Mau tak mau, mereka beralih membeli BBM yang Rp 7.000 per liter. Itu bisa tak terhindarkan kalau tangki di kendaraan mereka nyaris habis.

Opsi dual price dari rakor pengendalian BBM di kantor Kemendagri (16/4/2013) itu tampak baik, sepintas, namun menyimpan potensi konflik horizontal luar biasa di masyarakat. Trial and error sangatlah berbahaya. 

Masalah teknis tersebut, dari jumlah kuota BBM yang diterima masing-masing operator SPBU, hanya pihak operator SPBU sendiri yang mengetahui jenis tangki mana yang subsidi dan mana yang harga baru, mana tangki timbun SPBU yang subsidi dan mana jenis satunya sampai dispenser subsidi dan dispenser harga baru. Karena itu, SPBU memiliki kesempatan lebih besar melakukan penyelewengan dalam melayani masyarakat.

Tidak menutup kemungkinan SPBU atau operator bekerja sama untuk cepat-cepat menghabiskan volume kuota BBM jenis subsidi dengan pihak lain untuk dijual di luar SPBU. Beda harga yang cukup tinggi tentu menyuburkan pasar gelap BBM.

Akhirnya, pola dual price BBM Mei mendatang menjadi taktik menaikkan harga BBM secara terselubung ke arah Rp 6.500-Rp 7.000 per liter. Kondisi seperti itu malah semakin besar dipermainkan SPBU karena mendapat delivery order (DO) dari Pertamina dengan term subsidi, namun dijual dengan harga 44,44 persen atau 55,56 persen lebih tinggi.

Bisnis yang mampu meraup keuntungan 44,44 persen atau 55,56 persen dalam jangka pendek dan likuid seperti halnya bisnis BBM ini sangat langka. Yang lebih membahayakan, terjadi kekacauan di tingkat penyaluran BBM bila kuota bisa dibeli dari jalan belakang.

Cara Jitu PLN 

Yang pasti, politik subsidi BBM memang harus segera diakhiri. Ingat, hampir 50 persen BBM kita kini tidak dihasilkan lagi dari sumur-sumur minyak dalam negeri. Impor, baik berupa BBM yang sudah jadi maupun minyak mentah, semakin meningkat geometrikal tiap tahun dan otomatis menggunakan standar harga pasar internasional. 

Subsidi dalam APBN tahun ini diperkirakan Rp 274,7 triliun dengan volume 46 juta kiloliter. Padahal, dengan pertumbuhan kendaraan dan rusaknya infrastruktur sehingga membuat pembakaran mesin tidak efisien yang mengakibatkan lebih banyak BBM yang terbakar, diperkirakan subsidi BBM akan ''optimistis'' menembus angka Rp 300 triliun.

Ini sudah tidak fair. Sebab, proses kepemilikan yang mudah mendorong jumlah kendaraan bermotor berlipat di luar batas kemampuan infrastruktur jalan. Siapa yang paling mereguk keuntungan dari boomingkendaraan bermotor Indonesia? Tentu pabrikan Jepang. Sementara itu, APBN RI justru terseok karena harus menyediakan anggaran 18,10 persen untuk membayar BBM pemilik motor dan mobil.

Ketimpangan perdagangan Indonesia-Jepang itu tidak perlu diikuti kekonyolan lain yang kian merugikan. Kebijakan dua harga ini nyata-nyata merupakan kebijakan parsial yang sangat tergesa-gesa, meski dianggap terbaik di antara seluruh opsi yang pernah ada. Semula, pemerintah meluncurkan rencana pembatasan BBM bersubsidi, rencana kartu elektronik, kartu RFID yang ber-barcode, lima jurus hemat BBM, dan kini malah dual-price untuk satu jenis produk.

Yang paling masuk akal seharusnya mudah. Buatlah kenaikan berkala BBM seperti yang kini dilakukan PLN, yakni 4,3 persen setiap triwulan. Penimbunan tetap bakal ada. Namun, paling banter tangki yang mampu dibangun perseorangan berkisar satu mobil tangki, yakni sekitar 18 ribu liter atau keuntungan Rp 9 juta per triwulan, jika kenaikan berkala Rp 500 per liter.

Jika total harga baru yang diharapkan adalah Rp 7.000, pada triwulan kelima, selesai sudah kenaikan berkala itu dan rakyat sudah terbiasa dengan harga baru tersebut. Keuntungan broker tersebut mungkin Rp 45 juta pada tahun depan. Namun, dalam jangka itu, mungkin polisi mampu mengendusnya untuk dipenjarakan.

Cara yang paling masuk akal adalah tetap satu harga namun dengan kenaikan berkala seperti yang kini dilakukan PLN. Pemerintah seharusnya belajar dari PLN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar