Primary
Election sebagai Ide Cerdas
Moh Mahfud MD ;
Guru Besar Hukum Konstitusi
|
|
KORAN
SINDO, 13 April 2013
Apa
pun latar belakangnya, sikap politik yang dilontarkan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai pimpinan tertinggi Partai Demokrat (PD)
bahwa partainya akan melakukan primary
election untuk menjaring calon presiden adalah sangat bagus bagi masa
depan penataan politik kita sesuai dengan konstitusi.
Orang boleh
mengatakan bahwa itu dilakukan karena PD sedang terpuruk dan SBY sedang
mencari cara untuk menyelamatkan partai yang dipimpinnya. Tapi hal itu
merupakan pilihan cerdas yang tak mengurangi arti penting dan manfaat
yang bisa diraih bagi masa depan perpolitikan nasional kita. Gagasan primary election yang kemudian
dinyatakan sebagai sikap politik itu selain memang sangat sah dinyatakan
untuk melakukan penyelamatan politik sekaligus substansinya akan mengubah
fakta dan konfigurasi politik secara sehat, yakni bisa tersalurnya
aspirasi rakyat tanpa oligarki pengurus parpol untuk menentukan dan
memilih calon presidennya.
Sikap SBY itu
bisa dilihat sebagai penafsiran dinamis atas isi konstitusi yang selama
ini selalu menjadi persoalan. Seperti diketahui, berdasarkan Pasal 6A UUD
1945, pasangan calon presiden/wakil presiden “diajukan oleh parpol atau gabungan parpol” untuk kemudian
dipilih oleh rakyat dari pasangan-pasangan yang diajukan parpol/gabungan
parpol itu.
Dalam
praktiknya ketentuan yang seperti ini lebih memberi peluang kepada
tokohtokoh atau pimpinan parpol untuk tampil sebagai capres meskipun ada
orang-orang nonparpol yang kapasitasnya juga menjanjikan. Itulah sebabnya
UU Pilpres yang lahir sebagai turunan dari Pasal 6A UUD 1945 itu sering
diuji materi (judicial review)
ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar bisa membuka peluang bagi calon
perseorangan atau calon independen.
Akan tetapi
MK selalu menolaknya meski diwarnai dissenting
opinion karena memang begitulah maksud Pasal 6A UUD 1945 itu. SBY
dengan kecerdasan dan ketajaman feeling
politiknya mengajukan cara penafsiran yang dinamis yang bisa menampung
gagasan tampilnya calon berkualitas atau calon “aspirasi publik” tanpa
harus mengubah ketentuan Pasal 6A UUD 1945 itu sendiri, yakni menjaring
capres/cawapres melalui primary
election.
Di dalam
primary election, capres/cawapres diajukan masyarakat secara terbuka
untuk kemudian parpol penyelenggara menetapkan capres/cawapres sehingga
sesuai dengan kehendak publik. Peran parpol di sini tidak terlalu
menentukan karena parpol hanya mengatur mekanisme pemilihan dan menjadi
penyelenggara atau komite. Dengan demikian kehendak publiklah yang
diutamakan.
Cara yang
seperti itu, selain bisa menghentikan gugatangugatan terhadap ketentuan
Pasal 6A dan praktik politik yang lahir darinya, juga bisa objektif dan
bagus asalkan SBY dan PD bisa menjamin kebersihan atau fairness dari
primary electiontersebut. Maka itu, peran pengurus atau struktur partai
harus dibatasi agar tidak ada peluang berkolusi untuk meloloskan
orang-orang tertentu yang bisa menjadi capres/cawapres.
Di sini
pengurus dan struktur parpol memang harus diberdayakan hanya sebagai
pelayan atau instrumen bagi penyerapan aspirasi masyarakat, bukan sebagai
penentu yang dominan. Hal terpenting yang harus ditutup kemungkinan
terjadinya adalah transaksi politik atau money politics untuk memberi dukungan dari struktur parpol.
Tidak boleh ada kegiatan main mata dan main uang agar bagian-bagian dari
struktur parpol (misalnya, DPP, DPW, DPC) memungut uang dengan harga
gelap dari calon-calon yang akan bertarung.
Di sinilah
letak penting pemberian porsi utama bagi aspirasi rakyat yang tak boleh
dimanipulasi oleh pengurus parpol. Itu pulalah yang secara substantif
membedakan antara primary election dan konvensi dalam praktik kita di
masa lalu. Tergetar oleh gagasan primary
election, pertengahan pekan ini Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
menggagas diselenggarakannya ”konvensi
parpol” untuk menjaring capres/cawapres.
Itu pun
termasuk gagasan cerdas yang diumumkan pada waktu yang tepat. Bagi saya
konvensi parpol itu tidak sama dengan primary
election, sekurang-kurangnya dengan ide dan praktik masa lalu. Di
dalam konvensi parpol memang peluang dibuka kepada siapa pun yang ingin
diajukan sebagai capres/cawapres, tetapi penentu sepenuhnya adalah
pengurus atau struktur parpol melalui keputusan-keputusan secara
bertingkat, dari tingkat terendah (cabang dan wilayah) sampai tingkat
tertinggi (DPP).
Di dalam
konvensi ini lebih terbuka kemungkinan terjadinya kolusi dan politik
uang, mungkin antarpengurus atau antarorang yang punya uang dengan elite
parpol. Di dalam realitas politik bisa terjadi jual beli dukungan dengan
uang yang jumlahnya “gila-gilaan”
sehingga orang yang baik dan punya visi tapi tak punya gizi menjadi
tersingkir tanpa ampun.
Jangankan
konvensi nasional secara bertingkat untuk menentukan nama calon, untuk
level rakernas parpol saja masih sering terdengar isu di mana
cabang-cabang dan wilayah-wilayah dibeli suaranya atau diberi uang agar
menyebut nama tertentu untuk dijagokan. Tapi, apa pun, adanya gagasan
primary election dan konvensi telah memberi harapan baru bagi penyehatan
politik dan parpol di Indonesia menyongsong Pemilu 2014.
Parpol lain
pun, selain PD dan PPP, akan diapresiasi oleh publik jika melakukan hal
yang sama. Yang terpenting harus dijaga, publik tak tertipu dengan kolusi
dan politik uang antarelite dan pemilik uang. ●
|
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar