Sabtu, 13 April 2013

Arus Utama Kebudayaan


Arus Utama Kebudayaan
Kacung Marijan  ;  Plt Direktur Jenderal Kebudayaan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan      
KORAN SINDO, 13 April 2013

  
Dalam khasanah ilmui-lmu sosial, kebudayaan pernah menjadi arus utama (mainstreaming) di dalam pembangunan, yaitu pada 1950-an dan 1960-an. Ketika itu, kebudayaan dilihat sebagai salah satu variabel penentu pembangunan. 

Dalam hal sebagai arus utama, kebudayaan tidak hanya dilihat sebagai hasil karya terlihat individu dan kelompok semata. Kebudayaan juga mencakup nilai-nilai, norma-norma, dan perilaku-perilaku. Sejumlah ilmuwan sosial berargumentasi bahwa ada budaya tertentu yang mampu menjadi daya dorong dan daya ungkit kuat bagi modernisasi dan pada akhirnya bagi pertumbuhan ekonomi untuk kemakmuran. Ada juga yang melihatnya sebagai penghalang (barriers). 

Max Weber, contohnya, terkenal dengan konsep spirit etika Protestan di dalam perkembangan kapitalisme di Eropa dan negara-negara Barat lainnya. Dalam pandangan dia, akumulasi kapital di Eropa tidak lepas dari spirit untuk menumpuk harga yang didasari oleh pemahaman keagamaan yang dimiliki oleh penganut Protestan. 

Sementara itu, David McCleland terkenal dengan konsep virus N-Ach-nya. Menurutnya, suatu masyarakat akan mengalami perkembangan ekonomi yang cepat manakala individu anggotanya terjangkiti virus kebutuhan berprestasi (need for achievement). Virus ini, menurut hasil penelitiannya, di antaranya lahir dari cerita-cerita yang mampu membangkitkan semangat untuk mencapai sesuatu. 

Perspektif kebudayaan sebagai arus utama dalam pembangunan kemudian mengalami pelemahan dan digantikan oleh dua arus utama lainnya, yaitu arus utama pasar dan arus utama negara. Arus utama pasar berangkat dari pemikiran yang bercorak individualisme dan liberalisme mengatakan bahwa perekonomian suatu masyarakat akan tumbuh dan berkembang, serta anggotanya akan menikmati kemakmuran manakala kekuatan pasar diberi keleluasaan (market leads to development) di dalam arena perekonomian. 

Negara, dalam perspektif ini, diharap seminimal mungkin terlibat di dalam pengelolaan ekonomi. Sebaliknya, arus utama negara berpandangan bahwa mekanisme pasar itu harus dikendalikan. Di samping untuk menghindari ketimpangan antarpelaku ekonomi dan memberikan perlindungan terhadap kelompok-kelompok yang tidak beruntung, adanya peran penting negara di dalam perekonomian merupakan konsekuensi dari pemikiran bahwa negara memiliki daya dorong dan kepemimpinan bagi adanya iklim ekonomi yang tidak hanya memungkinkan tumbuh dan berkembang melainkan juga iklim ekonomi yang adil. 

Perspektif state leads to development seperti itu pernah terkenal dan dipakai untuk menjelaskan kuatnya pertumbuhan ekonomi, khususnya di negara-negara Asia Timur dan Asia Tenggara pada awal-awal 1990-an. Bank Dunia yang sebelumnya terkenal sebagai penganut arus utama pasar, ketika itu mengakui peran penting negara di dalam mendorong dan memacu pertumbuhan ekonomi. 

Negara, dalam perspektif demikian, tidak lagi dianggap sebagai penghambat laju pertumbuhan ekonomi tetapi dipandang sebagai dirigen bagi pelaku ekonomi untuk berlari kencang di bidang ekonomi. Negara, misalnya, memiliki otoritas untuk mengarahkan kebijakan industri (industrial policies) yang dipandang lebih tepat.  
Adanya bandul arus utama pembangunan yang saling bergantian akibat titik lemah masing-masing itu membuat adanya upaya kembali menengok arus utama kebudayaan sebagai bandul yang lain (bring-in-the culture back-in). 
Bahwa, di dalam memperkuat pertumbuhan ekonomi yang adil itu tidak harus didasarkan pada argumentasi dari pemikiran yang pro pasar dan pro negara, melainkan berbasis kebudayaan.
Tumbuhnya pengungkit pertumbuhan berbasis gagasan-gagasan kreatif di berbagai negara menunjukkan bahwa yang menjadi daya dorong dan daya ungkit kegiatan perekonomian itu merupakan pola pikir yang dimiliki oleh individu manusia, yaitu pola pikir yang memungkinkan adanya upaya untuk melakukan pencarian, daya cipta, mengejar sesuatu yang baru demi kebaikan- kebaikan secara terus menerus. Pola pikir ini merupakan produk dan reproduksi kebudayaan. 

Meskipun demikian, argumentasi yang dibangun di dalam arus utama kebudayaan ini memiliki sejumlah perbedaan dengan arus utama sebelumnya. Kalau sebelumnya terdapat penilaian bahwa hanya budaya tertentu saja yang mampu memberi daya ungkit bagi modernisasi, masuknya pemikiran postmodernisasi berisi adanya penghargaan terhadap nilai-nilai yang sebelumnya dipandang tradisional dan keberagaman. Indonesia ditakdirkan sebagai bangsa yang beragam. 

Karena itu, Indonesia juga kaya nilainilai kearifan lokal yang bisa dipakai sebagai titik tolak untuk kebaikan bersama, termasuk di dalam membangun kesejahteraan yang berbasis pada sumber daya dan nilai-nilai lokal. Sayangnya, kekayaan demikian menjadi kurang bermakna karena dalam kurun waktu yang cukup lama kita merencanakan dan mengimplementasikan program-program pembangunan yang bercorak sentralistik dan dominatif. 

Setelah adanya kebijakan otonomi daerah perspektif semacam itu, seharusnya mengalami perubahan. Secara politik dan administratif, pemerintah daerah memang telah memiliki otoritas yang jauh lebih kuat di dalam merencanakan dan mengimplementasikan program-program pembangunan. Namun, cara pikir yang dipakai masihlah bercorak sentralistik dan dominatif. 

Lihatlah apa yang terjadi di daerah-daerah yang memiliki sumber daya alam. Cara mereka melakukan pengelolaan, dalam taraf tertentu, bahkan jauh lebih eksploitatif daripada sebelumnya. Mereka mengundang banyak investor, baik pada level nasional maupun dunia, tanpa banyak melibatkan komunitas- komunitas. 

Secara ekonomi, pemerintah-pemerintah daerah itu memang memberikan kucuran dana untuk komunitas (desa). Namun, kucuran ini ibarat pepermin yang menikmatkan, tetapi kemudian membuat yang memakannya mengalami dahaga. Apabila dibandingkan dengan yang dinikmati oleh para investor dan pemburu rente, keuntungan yang dinikmati oleh masyarakat daerah jauh lebih kecil. 

Yang tidak kalah pentingnya adalah implikasi dari pembangunan yang bercorak eksploitatif itu, yaitu adanya kerusakan alam dan kebudayaan. Dalam hal terjadinya kerusakan alam, konsekuensinya telah kita rasakan secara langsung dalam tahun-tahun terakhir ini, seperti adanya banjir di mana-mana. Tetapi dalam hal terjadi kerusakan kebudayaan, implikasinya akan jauh lebih dahsyat. 

Masyarakat mulai kehilangan nilai-nilai bagaimana membangun harmoni dengan alam, menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang mereka hadapi sehari-hari, termasuk konflik antarkelompok. Agar kerusakan bangunan kebudayaan semacam itu tidak berlanjut dan semakin parah, mau tidak mau kita harus menengok kembali posisi kebudayaan di dalam membangun negeri ini. Memosisikan kebudayaan sebagai arus utama di dalam pembangunan merupakan jawabannya. Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar