Dalam
khasanah ilmui-lmu sosial, kebudayaan pernah menjadi arus utama (mainstreaming) di dalam
pembangunan, yaitu pada 1950-an dan 1960-an. Ketika itu, kebudayaan
dilihat sebagai salah satu variabel penentu pembangunan.
Dalam hal
sebagai arus utama, kebudayaan tidak hanya dilihat sebagai hasil karya
terlihat individu dan kelompok semata. Kebudayaan juga mencakup
nilai-nilai, norma-norma, dan perilaku-perilaku. Sejumlah ilmuwan sosial
berargumentasi bahwa ada budaya tertentu yang mampu menjadi daya dorong
dan daya ungkit kuat bagi modernisasi dan pada akhirnya bagi pertumbuhan
ekonomi untuk kemakmuran. Ada juga yang melihatnya sebagai penghalang (barriers).
Max Weber,
contohnya, terkenal dengan konsep spirit etika Protestan di dalam
perkembangan kapitalisme di Eropa dan negara-negara Barat lainnya. Dalam
pandangan dia, akumulasi kapital di Eropa tidak lepas dari spirit untuk
menumpuk harga yang didasari oleh pemahaman keagamaan yang dimiliki oleh
penganut Protestan.
Sementara
itu, David McCleland terkenal dengan konsep virus N-Ach-nya. Menurutnya, suatu masyarakat akan mengalami
perkembangan ekonomi yang cepat manakala individu anggotanya terjangkiti
virus kebutuhan berprestasi (need
for achievement). Virus ini, menurut hasil penelitiannya, di
antaranya lahir dari cerita-cerita yang mampu membangkitkan semangat
untuk mencapai sesuatu.
Perspektif
kebudayaan sebagai arus utama dalam pembangunan kemudian mengalami
pelemahan dan digantikan oleh dua arus utama lainnya, yaitu arus utama
pasar dan arus utama negara. Arus utama pasar berangkat dari pemikiran
yang bercorak individualisme dan liberalisme mengatakan bahwa
perekonomian suatu masyarakat akan tumbuh dan berkembang, serta
anggotanya akan menikmati kemakmuran manakala kekuatan pasar diberi
keleluasaan (market leads to
development) di dalam arena perekonomian.
Negara, dalam
perspektif ini, diharap seminimal mungkin terlibat di dalam pengelolaan
ekonomi. Sebaliknya, arus utama negara berpandangan bahwa mekanisme pasar
itu harus dikendalikan. Di samping untuk menghindari ketimpangan
antarpelaku ekonomi dan memberikan perlindungan terhadap
kelompok-kelompok yang tidak beruntung, adanya peran penting negara di
dalam perekonomian merupakan konsekuensi dari pemikiran bahwa negara
memiliki daya dorong dan kepemimpinan bagi adanya iklim ekonomi yang
tidak hanya memungkinkan tumbuh dan berkembang melainkan juga iklim
ekonomi yang adil.
Perspektif state leads to development seperti
itu pernah terkenal dan dipakai untuk menjelaskan kuatnya pertumbuhan
ekonomi, khususnya di negara-negara Asia Timur dan Asia Tenggara pada awal-awal
1990-an. Bank Dunia yang sebelumnya terkenal sebagai penganut arus utama
pasar, ketika itu mengakui peran penting negara di dalam mendorong dan
memacu pertumbuhan ekonomi.
Negara, dalam
perspektif demikian, tidak lagi dianggap sebagai penghambat laju
pertumbuhan ekonomi tetapi dipandang sebagai dirigen bagi pelaku ekonomi
untuk berlari kencang di bidang ekonomi. Negara, misalnya, memiliki
otoritas untuk mengarahkan kebijakan industri (industrial policies) yang dipandang lebih tepat.
Adanya
bandul arus utama pembangunan yang saling bergantian akibat titik lemah
masing-masing itu membuat adanya upaya kembali menengok arus utama
kebudayaan sebagai bandul yang lain (bring-in-the
culture back-in).
Bahwa, di
dalam memperkuat pertumbuhan ekonomi yang adil itu tidak harus didasarkan
pada argumentasi dari pemikiran yang pro pasar dan pro negara, melainkan
berbasis kebudayaan.
Tumbuhnya
pengungkit pertumbuhan berbasis gagasan-gagasan kreatif di berbagai
negara menunjukkan bahwa yang menjadi daya dorong dan daya ungkit
kegiatan perekonomian itu merupakan pola pikir yang dimiliki oleh
individu manusia, yaitu pola pikir yang memungkinkan adanya upaya untuk
melakukan pencarian, daya cipta, mengejar sesuatu yang baru demi
kebaikan- kebaikan secara terus menerus. Pola pikir ini merupakan produk
dan reproduksi kebudayaan.
Meskipun
demikian, argumentasi yang dibangun di dalam arus utama kebudayaan ini
memiliki sejumlah perbedaan dengan arus utama sebelumnya. Kalau
sebelumnya terdapat penilaian bahwa hanya budaya tertentu saja yang mampu
memberi daya ungkit bagi modernisasi, masuknya pemikiran postmodernisasi
berisi adanya penghargaan terhadap nilai-nilai yang sebelumnya dipandang
tradisional dan keberagaman. Indonesia ditakdirkan sebagai bangsa yang
beragam.
Karena itu,
Indonesia juga kaya nilainilai kearifan lokal yang bisa dipakai sebagai
titik tolak untuk kebaikan bersama, termasuk di dalam membangun kesejahteraan
yang berbasis pada sumber daya dan nilai-nilai lokal. Sayangnya, kekayaan
demikian menjadi kurang bermakna karena dalam kurun waktu yang cukup lama
kita merencanakan dan mengimplementasikan program-program pembangunan
yang bercorak sentralistik dan dominatif.
Setelah
adanya kebijakan otonomi daerah perspektif semacam itu, seharusnya
mengalami perubahan. Secara politik dan administratif, pemerintah daerah
memang telah memiliki otoritas yang jauh lebih kuat di dalam merencanakan
dan mengimplementasikan program-program pembangunan. Namun, cara pikir
yang dipakai masihlah bercorak sentralistik dan dominatif.
Lihatlah apa
yang terjadi di daerah-daerah yang memiliki sumber daya alam. Cara mereka
melakukan pengelolaan, dalam taraf tertentu, bahkan jauh lebih
eksploitatif daripada sebelumnya. Mereka mengundang banyak investor, baik
pada level nasional maupun dunia, tanpa banyak melibatkan komunitas-
komunitas.
Secara
ekonomi, pemerintah-pemerintah daerah itu memang memberikan kucuran dana
untuk komunitas (desa). Namun, kucuran ini ibarat pepermin yang
menikmatkan, tetapi kemudian membuat yang memakannya mengalami dahaga.
Apabila dibandingkan dengan yang dinikmati oleh para investor dan pemburu
rente, keuntungan yang dinikmati oleh masyarakat daerah jauh lebih kecil.
Yang tidak
kalah pentingnya adalah implikasi dari pembangunan yang bercorak
eksploitatif itu, yaitu adanya kerusakan alam dan kebudayaan. Dalam hal
terjadinya kerusakan alam, konsekuensinya telah kita rasakan secara
langsung dalam tahun-tahun terakhir ini, seperti adanya banjir di
mana-mana. Tetapi dalam hal terjadi kerusakan kebudayaan, implikasinya
akan jauh lebih dahsyat.
Masyarakat
mulai kehilangan nilai-nilai bagaimana membangun harmoni dengan alam,
menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang mereka hadapi sehari-hari,
termasuk konflik antarkelompok. Agar kerusakan bangunan kebudayaan
semacam itu tidak berlanjut dan semakin parah, mau tidak mau kita harus
menengok kembali posisi kebudayaan di dalam membangun negeri ini.
Memosisikan kebudayaan sebagai arus utama di dalam pembangunan merupakan
jawabannya. Semoga! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar