Sabtu, 13 April 2013

Penuaan Dini “PP” Rokok


Penuaan Dini “PP” Rokok
Ahmad Fadli Azami  ;  Peneliti Sosial dari Fisipol UGM Yogyakarta       
SUARA KARYA, 13 April 2013


Sungguh menarik menyimak kembali editorial Koran Tempo (14/01). Secara garis besar, tulisan yang bertajuk 'Aturan Keras Soal Rokok' itu merupakan suatu dukungan terhadap pasal Nomor 109 Tahun 2012 yang sudah diratifikasi pemerintah, baru-baru ini.

Kemunculan peraturan pemerintah (PP) ini memiliki dua pengertian. Di satu sudut, PP ini adalah penguatan Perda Anti Rokok seperti yang sudah berjalan di beberapa kota: Kota Padang Panjang (Perda Nomor 8 Tahun 2009), Kota Palembang (Perda Nomor 7 Tahun 2009), Kota Tangerang (Perda Nomor 5 Tahun 2010), Kota Bogor (Perda Nomor 12 Tahun 2009), Kota Bandung (Perda Nomor 11 Tahun 2005), Kota Surabaya (Perda Nomor 5 Tahun 2008). Namun di sisi lain, bisa pula bermakna untuk mengakhiri kontroversi rokok yang berkepanjangan.

Alasan mendasar yang jadi pokok persoalan di sini sebenarnya cukuplah sederhana. Yaitu, menjauhkan masyarakat dari bahaya merokok. Jika kita lihat fakta yang ada di Indonesia memang cukup memprihatinkan. Dari tahun ke tahun kurva jumlah perokok aktif semakin naik. Ironisnya lagi, para perokok pemula juga semakin muda (di kisaran usia 10 tahun). Kini, dua dari tiga pria di Indonesia adalah perokok pasif. Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), Indonesia berada di urutan ketiga setelah China dan India.

Padahal, dalam pengertian dunia medis, rokok memang berpotensi merusak kesehatan tubuh seseorang. Banyak sekali penyakit berbahaya yang ditimbulkan dari merokok. Misalnya, kanker, serangan jantung, impotensi, gangguan kehamilan dan janin.

Tak heran, di kancah internasional, kondisi Indonesia sering menuai kritik tajam. Indonesia dianggap tertinggal jauh dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia, Thailand dan Singapura. Tidak pula lebih baik dari Australia yang sudah menerapkan aturan ketat untuk peredaran rokok. Di sana, gambar dan peringatan bahaya merokok menempati 75% dari bungkus rokok. Batas minimal usia untuk mengkonsumsi rokok juga diatur secara ketat. Penjualan rokok pun tidak dilakukan secara bebas (eceran).

Secara personal penulis mengapresiasi itikad baik pemerintah dalam mengurangi pengguna rokok. Walau bagaimanapun anak-anak memang harus dijauhkan dari rokok. Akan tetapi, di sisi lain, persoalan yang kita hadapi di negara ini sesungguhnya sangatlah kompleks. Dan, kita harus membuka mata lebar-lebar untuk melihat semua permasalahan yang ada.

Kita harus mengakui bahwa Indonesia memiliki segudang pengalaman dan kultur tentang rokok yang jauh berbeda dengan Australia, Malaysia, Thailand dan Singapura - negara-negara yang tengah kita jadikan rujukan. Karena itu, menurut hemat penulis, ketidaksamaan langkah antara Indonesia dengan negara itu adalah wajar.

Selain menemukan kesulitan dalam mengorganisir penjualan rokok, ada beberapa hal lain yang sangat penting untuk disimak.

Pertama, kian menguatkan logika kultur. Di kalangan masyarakat dulu, khususnya Jawa, rokok dianggap sebagai obat. Kepercayaan itu memiliki tempat tersendiri dalam format sejarah. Konon, istilah 'tembakau' berasal dari kata 'tambaku' (obatku). Yaitu, daun yang pada awalnya dijadikan obat oleh Ki Ageng Makukuhan (murid Sunan Kudus) ketika sahabatnya sakit. Lalu, ditradisikan oleh masyarakat secara turun-temurun.

Berbagai riset ilmiah tentang rokok juga setidaknya mendukung nalar ini. Dalam Journal of The National Cancer Institute yang diterbitkan tahun 1998 ditemukan pula fakta bahwa pada wanita dengan mutasi gen tertentu, risiko kanker payudara justru berkurang jika mereka merokok. Selain itu, sifat anti pendarahan yang terkandung dalam nikotin juga turut membantu mengurangi risiko Parkinson.

Kedua, dari perspektif sosiologi hukum. Secara konstitusi perda dibuat untuk membantu otonomi daerah. Tugas utama perda di sini adalah mengatur kepentingan rakyat yang bersifat sektoral. Artinya, pembentukkan perda harus sesuai dengan konteks dan kultur setempat. Karena, keniscayaan bahwa di setiap daerah memiliki perbedaan baik corak sosiologis, sejarah, atau psikologinya maka perda juga harus dibuat berbeda sesuai karakter kedaerahan itu sendiri.

Akan tetapi, persoalannya, perda tidak berakar pada kebutuhan di daerah. Sebaliknya perda antirokok menjadi trend yang tengah berlangsung di daerah-daerah. Itu sangat bertentangan dengan spirit awal otonomi daerah yang memusatkan pada kebebasan daerah.

Ketiga, dasar hukum pembentukan perda antirokok juga masih rapuh. Materi Perda merupakan kristalisasi dari Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri Nomor 188/Menkes/PB/2011 Nomor 7 Tahun 2011.

Peraturan bersama dua kementerian tersebut dimaksudkan untuk mengantisipasi gugatan yang datang dari pihak kontra Perda Anti Rokok. Namun, di sisi lain, perundang-undangan pada tingkat menteri tidak dibenarkan. Berlandaskan pada Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undanga berarti perda antirokok tidak disahkan secara konstitusi.

Ditimbang dari tiga aspek di atas, usaha mensintesakan paradigma kesehatan dengan nuansa sosiologis masyarakat pedesaan jelas bukanlah perkara mudah. Serumit mengubah pandangan masyarakat yang sudah lama mengenal tembakau, menjadikannya obat, dan sumber kehidupan. Dibutuhkan tinjauan ulang dan pengkajian lebih mendalam terhadap PP. Semua ini agar tidak terjadi penuan dini pada PP.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar