Sungguh menarik menyimak
kembali editorial Koran Tempo (14/01). Secara garis besar, tulisan yang
bertajuk 'Aturan Keras Soal Rokok' itu merupakan suatu dukungan terhadap
pasal Nomor 109 Tahun 2012 yang sudah diratifikasi pemerintah, baru-baru
ini.
Kemunculan peraturan
pemerintah (PP) ini memiliki dua pengertian. Di satu sudut, PP ini adalah
penguatan Perda Anti Rokok seperti yang sudah berjalan di beberapa kota:
Kota Padang Panjang (Perda Nomor 8 Tahun 2009), Kota Palembang (Perda
Nomor 7 Tahun 2009), Kota Tangerang (Perda Nomor 5 Tahun 2010), Kota
Bogor (Perda Nomor 12 Tahun 2009), Kota Bandung (Perda Nomor 11 Tahun
2005), Kota Surabaya (Perda Nomor 5 Tahun 2008). Namun di sisi lain, bisa
pula bermakna untuk mengakhiri kontroversi rokok yang berkepanjangan.
Alasan mendasar yang jadi
pokok persoalan di sini sebenarnya cukuplah sederhana. Yaitu, menjauhkan
masyarakat dari bahaya merokok. Jika kita lihat fakta yang ada di
Indonesia memang cukup memprihatinkan. Dari tahun ke tahun kurva jumlah
perokok aktif semakin naik. Ironisnya lagi, para perokok pemula juga
semakin muda (di kisaran usia 10 tahun). Kini, dua dari tiga pria di
Indonesia adalah perokok pasif. Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO),
Indonesia berada di urutan ketiga setelah China dan India.
Padahal, dalam pengertian
dunia medis, rokok memang berpotensi merusak kesehatan tubuh seseorang.
Banyak sekali penyakit berbahaya yang ditimbulkan dari merokok. Misalnya,
kanker, serangan jantung, impotensi, gangguan kehamilan dan janin.
Tak heran, di kancah
internasional, kondisi Indonesia sering menuai kritik tajam. Indonesia
dianggap tertinggal jauh dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia,
Thailand dan Singapura. Tidak pula lebih baik dari Australia yang sudah
menerapkan aturan ketat untuk peredaran rokok. Di sana, gambar dan
peringatan bahaya merokok menempati 75% dari bungkus rokok. Batas minimal
usia untuk mengkonsumsi rokok juga diatur secara ketat. Penjualan rokok
pun tidak dilakukan secara bebas (eceran).
Secara personal penulis
mengapresiasi itikad baik pemerintah dalam mengurangi pengguna rokok.
Walau bagaimanapun anak-anak memang harus dijauhkan dari rokok. Akan
tetapi, di sisi lain, persoalan yang kita hadapi di negara ini
sesungguhnya sangatlah kompleks. Dan, kita harus membuka mata lebar-lebar
untuk melihat semua permasalahan yang ada.
Kita harus mengakui bahwa
Indonesia memiliki segudang pengalaman dan kultur tentang rokok yang jauh
berbeda dengan Australia, Malaysia, Thailand dan Singapura - negara-negara
yang tengah kita jadikan rujukan. Karena itu, menurut hemat penulis,
ketidaksamaan langkah antara Indonesia dengan negara itu adalah wajar.
Selain menemukan kesulitan
dalam mengorganisir penjualan rokok, ada beberapa hal lain yang sangat
penting untuk disimak.
Pertama, kian menguatkan
logika kultur. Di kalangan masyarakat dulu, khususnya Jawa, rokok
dianggap sebagai obat. Kepercayaan itu memiliki tempat tersendiri dalam
format sejarah. Konon, istilah 'tembakau' berasal dari kata 'tambaku'
(obatku). Yaitu, daun yang pada awalnya dijadikan obat oleh Ki Ageng
Makukuhan (murid Sunan Kudus) ketika sahabatnya sakit. Lalu, ditradisikan
oleh masyarakat secara turun-temurun.
Berbagai riset ilmiah
tentang rokok juga setidaknya mendukung nalar ini. Dalam Journal of The National Cancer
Institute yang diterbitkan tahun 1998 ditemukan pula fakta bahwa pada
wanita dengan mutasi gen tertentu, risiko kanker payudara justru
berkurang jika mereka merokok. Selain itu, sifat anti pendarahan yang
terkandung dalam nikotin juga turut membantu mengurangi risiko Parkinson.
Kedua, dari perspektif
sosiologi hukum. Secara konstitusi perda dibuat untuk membantu otonomi
daerah. Tugas utama perda di sini adalah mengatur kepentingan rakyat yang
bersifat sektoral. Artinya, pembentukkan perda harus sesuai dengan
konteks dan kultur setempat. Karena, keniscayaan bahwa di setiap daerah
memiliki perbedaan baik corak sosiologis, sejarah, atau psikologinya maka
perda juga harus dibuat berbeda sesuai karakter kedaerahan itu sendiri.
Akan tetapi, persoalannya,
perda tidak berakar pada kebutuhan di daerah. Sebaliknya perda antirokok
menjadi trend yang tengah berlangsung di daerah-daerah. Itu sangat
bertentangan dengan spirit awal otonomi daerah yang memusatkan pada
kebebasan daerah.
Ketiga, dasar hukum pembentukan
perda antirokok juga masih rapuh. Materi Perda merupakan kristalisasi
dari Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri Nomor
188/Menkes/PB/2011 Nomor 7 Tahun 2011.
Peraturan bersama dua
kementerian tersebut dimaksudkan untuk mengantisipasi gugatan yang datang
dari pihak kontra Perda Anti Rokok. Namun, di sisi lain,
perundang-undangan pada tingkat menteri tidak dibenarkan. Berlandaskan
pada Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undanga berarti perda antirokok tidak disahkan secara
konstitusi.
Ditimbang dari tiga aspek di
atas, usaha mensintesakan paradigma kesehatan dengan nuansa sosiologis
masyarakat pedesaan jelas bukanlah perkara mudah. Serumit mengubah
pandangan masyarakat yang sudah lama mengenal tembakau, menjadikannya
obat, dan sumber kehidupan. Dibutuhkan tinjauan ulang dan pengkajian
lebih mendalam terhadap PP. Semua ini agar tidak terjadi penuan dini pada
PP. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar